MEMBANGUN PEMIKIRAN KEAGAMAAN DENGAN PARADIGMA KERAHMATAN UNTUK HIDUP BERDAMPINGAN DALAM HARMONI
MISI
Senin, 01 Februari 2010
MEMOAR OF EX CAMPUS ACTIVIST
“Alhamdulillah, lahir dan dibesarkan di kalangan marginal (lapisan bawah) saya dikarunia kemudahan mendapatkan pendidikan umum dan agama yang seimbang. Seiring belajar di pendidikan formal terbaik dari SD sampai Universitas, saya mendapat pendidikan agama setara tingkat SD hingga SMA dan dipermudah Masuk Pondok Pesantren Mahasiswa hingga lulus dari UGM Yogyakarta”. Sungguh karunia yang luar biasa, yang tidak semua orang mendapatkannya. Semoga Allah Tetap membimbing Hamba”
Spirit Kebangkitan Islam
Kemenangan Revolusi Islam Iran atas dominasi Amerika Serikat di ahir dekade 70 an, membangkitkan spirit dunia Islam, sehingga Dunia Islam menyambut abad 15 Hijriah dengan moment kebangkitan Dunia Islam. Spirit ini diwarnai dengan “ruju ila Qur an wassunnah” kembali kepada Qur an dan Sunnah. Spirit ini menegaskan selagi kita berpegang pada Qur an dan Sunnah, maka dia adalah Saudara kita seiman, apapun madzab dan alirannya.
Gema kebangkitan Islam benar-nenar menggaung terutama di kampus-kampus ternama di Indonesia. Masjid-masjid kampus ternama, seperti Salman di ITB, Al Ghifari di IPB, Shalahuddin di UGM semakin meningkatkan eksistensinya dengan program-program dakwah sepanjang tahun. Mahasiswa yang disupport Cendikiawan Muslim kampus seperti Amien Rais, Syefullah Mahyudin, Kuntowidjoyo, M Syahirul Alim, Ikhlasul Amal, Syafii Maarif, Yahya Muhaimin, Ahmad Baiquni dll (Yogya), Miftah farid, Kang Djalal (Bandung), A. M Syaefuddin, Hidayat Nataatmadja (Bogor), Fuad Amsyari (Surabaya), bahu membahu dalam menghijaukan kampus.
Silaturrahmi antar masjid kampus begitu intens, sehingga di pertengahan dekade 80, aktivis masjid kampus berkumpul di Jamah Shalahuddin UGM, yang dibantu oleh pondok Pesantren Shalahuddin secara mufakat membentuk Lembaga Dakwah Kampus se Jawa, yang pada kemudian hari berkembang menjadi Lembaga Dakwah Kampus seluruh Indonesia. Lembaga ini sejak awal merupakan lembaga Dakwah masjid kampus, tidak underbow orpol atau ormas manapun.
Ulul Albab sebagai main Stream
Ulul albab yakni orang yang senantiasa “mengingat Allah” dalam situasi apapun (berdiri, duduk dan berbaring) dan “memikirkan “ penciptaan langit dan bumi, sehingga sadar akan kemanfaatnnya dan berkembang kecerdasan spiritualnya. (Q.S Ali Imran 189 -190).
Bagian akhir dari Q.S Ali Imran itu seakan menjadi “ayat wajib” di sholat-sholat jamah di masjid-masjid kampus. Spirit keseimbangan “Dzikir dan Fikir” menjadi semangat kolektif jamaah jamah masjid kampus. Aktivis masjid kampus dari latar belakang disiplin ilmu apapun, serusaha mensibghoh leilmuannya dengan nilai-nilai Islam. Kajian-kajian Ekonomi Islam, Politik Islam, psikologi Islam, kepemimpinan Islam, Seni Budaya Islam, menjadi kajian-kajian yang menggairahkan di forum-forum kampus. Kaum cendikiawan Islam semakin sadar akan tugas kecendikiannya. Buku Ali Shariati (Iran) yang berjudul “Tugas Cendikiawan Muslim” , Buku-Buku M Abduh, Sayid Qutb, Said Hawwa, Maurice Bucaile samapai puisi-puisi M Iqbal (Pakistan) menjadi referensi dalam diskusi-diskusi itu.
Polaritas Kepentingan
Di Tengah semangat kesatuan itu, muncul arus perbedaan perbedaan yang memprihatinkan penulis. Melalui koran Masa Kini (Yogyakarta), penulis memaparkan fakta perbedaan-perbedaan itu, terutama berkaitan dengan Typology Dai Muda (aktivis kampus) saat itu. Warning akan sejarah aktivis islam berulang dan konsekuensinya, juga diketengahkan. Hal ini berkaitan dengan fakta di lapangan yang penulis alami. Dalam sebuah training pembinaan, karena adanya perbedaan, memporak-porandakan proses pembinaan.
Polaritas Kepentingan mantan aktyivis Islam kampus ini, saat ini semakin terdedah. Mantan Aktivis-aktivis mahasiswa Islam yang saat ini rata-rata umur 40 an dan menjadi tokoh-tokoh partai politik pun mengulang sejarah. Kembali trepuruk pada nilai-nilai pragmatisme dengan meninggalkan nilai-nilai Ideal. Kritik kepada para seniornya yang terkooptasi oleh kekuasaan, saat ini justru dilakukan dengan penuh kesadaran oleh mereka.
Jargon-jargon berpihak pada kaum duafa, menabur nilai-nilai rahmatalill alamin, hanyalah berhenti sebatas jargon. Dan dengan kepandaian argumentasinya, membungkus kebusukan jiwanya dengan mengatasnamakan Strategy.
Barangkali, bait akhir dari puisi “Adakah Kita Bangkit” yang ditulis pada 1 Muharram 1400 bisa dikedepankan disini untuk menjadi kesaksian sejarah :
“kebangkitan yang terbangun dari mimpi semalam tanpa sadar hari kemarin, adalah bergegas menuju kebinasaan yang berulang”
Naudzu Billah, tsumma Naudzu Billah.
Coba renungkan puisi berikut :
MAKAM MATAHARI
Jika kekuasaan jadi berhala,
maka segala alasan bisa jadi arca-arca.
Idealisme hanyalah sebatas kata
sedang pragmatisme adalah mantra senja kala,
dimana mentari akan terlelap mimpi dalam pelukan banaspati.
Dan esok kita harus takziah mentari.
Jika Tahta adalah dewa,
maka dusta menjadi mahkota.
Fitnah adalah kembang setaman
yang kita tabur di atas kuburan kebenaran.
Lalu di atas makam matahari,
kita beri batu nisan brtuliskan : Pak Amin Juga Manusia.
Catatan tambahan :
TANGGUNG JAWAB PEMIMPIN
Pertengahan tahun 80 an, Rezim Pak De, demikian kami aktivist biasa memanggil Soeharto, sedang Represif-represifnya. Salah satu Peristiwa paling menyakitkan hati umat adalah pembantaian jamaah pengajian di Tanjung Priuk.
Kami, di Kom Fak HMI FKH UGM sepakat untuk "Meminta kejelasan Pemerintah" dan melalui "Rapat darurat" sepakat mengedarkan "Lembaran Putih dari Petisi 50". Sebagai koordinator Komunikasi dan Penerbitan, ini adalah bagian dari tugas saya. Namun karena Rapat darurat selesai tengah malam, penggandaan selebaran putih dihandle oleh Ketua Komisariat.
Eeeeeh tertangkap cecunguk Pak De. dalam Perhitungan kami, semua pengurus komisariat akan terseret, paling tidak sebagai penyumbang dana karena dana penggandaan Lembaran Putih adalah dana bantingan semua pengurus yang hadir di rapat darurat.
Masya Allah, ternyata segala hal "berhenti" di tangan Ketua Komisariat dan temen Sekretaris. Mereka berdua akhirnya mendapat hadiah "kuliah di luar kampus', di Penjara SATU TAHUN, tanpa menyeret dan mengusik pengurus komisariat HMI FKH UGM lainnya, Dia bertanggung Jawab ! Pemimpin Yang Bertanggung jawab.
Saat ini saya melihat, pemimpin justru lebih memilih menjadikan bawahan sebagai pengambil tanggung jawab, bahkan bawahan dijadikan kambing hitam, yang enak dikorbankan.
Semestinya, tugas dan wewenang bisa dilimpahkan, tetapi tanggung jawab ada di pundak pimpinan.
Bravo Uda !
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar