MEMBANGUN PEMIKIRAN KEAGAMAAN DENGAN PARADIGMA KERAHMATAN UNTUK HIDUP BERDAMPINGAN DALAM HARMONI
MISI
Selasa, 10 Agustus 2010
WE ARE NOT TERORIST, WE NEED JUST A JUSTICE
LELAKI DENGAN SAJADAH KUMAL
Lelaki tua di tebing pantai nan terjal
menatap ngungun bahtera yang berlayar meninggalkannya
mengarungi riak, alun, dan puncak-puncak ombak bergantian
Entah menuju kemana
Yang pasti sauh telah dicabut,
dan angin buritan membawanya ke tengah samudra
Tak mungkin ditahan lelaki tua
di tebing pantai nan terjal,
yang hanya berbekal sajadah kumal
Lelaki tua yang ngungun akhirnya tersungkur,
di tebing pantai yang terjal, hanya bisa membelai
satu satunya yang ia bawa,
sebuah sajadah kumal
Dingin menohok lelaki di atas sajadah kumal
di tebing pantai yang terjal
Dia mengigau tentang kidung samudra raya
dalam guru lagu macapat Maskumambang
memanggil pendar cahaya
untuk menyalakan pelita di hatinya
Tapi malam terlalu kelam
dan badai daratan yang kejam,
menghempaskan dirinya bagai kapas
terjerembab di kegelapan lautan ,
Lelaki tua berteriak ketakutan :
Ely ... Ely..... Lammaa Sabachtani
dan tidur meninabobokan kengerian
Lelaki tua bersajadah kumal
terdampar di buritan sebuah kapal
berbendera hijau bertuliskan :
"Kami Bukan Teroris, Kami Sekedar Menuntut Keadilan"
"WE ARE NOT TERORRIST, WE NEED JUST A JUSTICE"
نضع يست إرهابية ، ونحن في حاجة الى العدالة
Tersadar masih punya harapan,
Lelaki tua menangis syujud syukur,
di atas sajadah kumal
Yang ia bawa sebagai kesaksian.
Kepada semua anak kapal,
Lelaki tua bersajadah kumal,
bercerita tentang makna beda kadar garam lautan
bagi elan vital kehidupan
Lalu menatap satu persatu awak kapal
dengan senyum ramah dia tanyakan berulang :
"Maka nikmat Tuhan Kamu yang Manakah yang kamu dustakan ?"
"Fabiayyi aalaa irobikuma tukadziban ?"
"Where is God Blessing that you have been Lie ?"
"Maka nikmat tuhan Kamu yang manakah yang kamu dustakan ?"
Lalu gemuruh badai menggoncang perjalanan kapal
Mereka larut teriakan teriakan Takbir : Allahu Akbar !
Lelaki tua bersajadah kumal,
Tetap khusyu dalam doa Nuh menyongsong perjalan ke puncak kebaruan
"Bismillahi Majreha Wamursaha, Inna Robbi Laghofuururrahiim"
Dan dia selamat di puncak bukit Juddi, Puncak kebaruan kehidupan"
Dalam cahaya seribu bulan
Jakarta, 2 Ramadhan 1430 H
Ramadan Fasting Reflection on second day, 23th August 2009.
WHEN "THE GENITALS CATERPILLAR" WAS AGONY (A POEM)
SAAT ULAT ULAT AURAT SEKARAT
Ketika tangan tengadah,
mata terkatup basah,
mengalir samudra alfa dan dosa
Serentak terhenyak,
belatung-belatung di jantung terhentak,
Codot-codot di dodot mencolot,
ulat-ulat aurat sekarat,
menggeliat, berontak lalu bersorak
menjelma kupu-kupu bersayap aneka corak
Gelegar ular-ular yang membelit, terlempar !
terkapar menjelma ladang hijau terhampar
menyenandungkan lagu akbar :
Nas alukal jannata wana'udzubika minannar !
Keangkuhan egopun merebah
kuncup-kuncup nurani merekah
menaburkan kesturi jannah
di atas panjang sajadah
mengeja satu-satu bulir risalah
untuk menyemai amanah rahmah
di atas bumi yang kian terjarah.
Ketika tangan tengadah,
mata terkatup basah,
ulat ulat aurat sekarat,
ular-ular terlempar
ego yang rebah,
kemuliaan yang merekah
menabur subur amanah risalah
di atas panjang sajadah
membentang hijau daunan sejarah
bumi yang kembali basah
Oleh keharuman berkah rahmah
Yang dirajut pada malam penentuan
Indah bertabur cahaya seribu bulan.
Jakarta, Ramadan Contemplation 22,1430 Hijri
Waiting For A Glory Night (Laitatul Qodr)
KHAIRUL MAKIRIN
Robbiii,
Kenapa setiap ada petaka , kami yang dicerca
Mata kami dihujam bazoka
Hati kami dicincang ,
Jiwa kami yang terluka dioplos garam dan cuka
Seakan kami tak berhak menyalakan cahaya
Padahal,
Dalam keterhimpitan kami tetap beri senyuman,
Dalam ketertindasan kami tetap sebarkan salam
Bagi terbentuknya bumi darussalam
Yaa Khairul Makirin,
Dengan mengamputasi kami punya nyali
Mereka merajut rencana syaitani
Untuk menjerat kami,
Untuk menggali kubur bagi sibghoh kami
Balut jiwa kami dalam istiqomah dan haqul yakin
Kaulah Khairul Makirin
Jakarta, 28 Oktober 2002
TAHANUT
Dalam kesunyian,
Kurasakan dekapan Kasih semesta cinta
Yang sebenarnya ada setiap kala
Dalam kesendirian,
Kurasakan gairah cahaya
Yang menyala di atas Tursina
Untuk mengitsbatkan : hanya satu Yang Rahman
Dalam kerinduan
Kutemukan peraduan cita
Muara segala rintihan jiwa
Samudra putih tanpa dermaga
PERJALANAN ALIF DUA
Kutempuh perjalanan alifku
Untuk menyalakan matahari
Diantara interupsi fusi-fisi,
Kuronce kefanaan
Untuk meneguhkan keabadian
Cahaya di atas Cahaya
Lampion Seribu Bulan
Bersorai di atas sajadah terhampar
Menabur kekudusan Fajar Fitri
Bagi perjalanan alif
Yang mi’raj bulan ini
MANDIKAN AKU DENGAN CAHYAMU
Di depan cermin semesta raya
Kutatap wajah murka rupa
Raut kesumat, juling angkara, ringai taring kucuran darah
Kau siapa ?
Tuhan,
Haruskah kusambut hari-hari agungMu
Dalam rona Dasamuka ?
Dan jiwa Sang Dorna ?
Kumohon padaMu Yaa Rahman,
Mandikan ragaku dengan cahyaMu
Sucikan jiwaku dengan Nur hidayahMu
Agar fasih dapat kuucapkan:
Marhaban Ya Ramadhan,
Marhaban Yaa Syahrul Mubarok.
BUKU HARIAN SEORANG KORUPTOR
Hari ini akan kutandatangani semua kesepakatan
Biarpun embun mengalirkan kegetirannya
Dan melati tercampak keputihannya
Meronta kesakitan
Aku tak peduli
Kan kutunggu dan kuraup
Durian yang berserakan di taman ini
Meski merah terluka dengan merahnya
Dan lebah tak dapat lagi mengucurkan madunya
Aku tak kan pernah peduli
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar