MEMBANGUN PEMIKIRAN KEAGAMAAN DENGAN PARADIGMA KERAHMATAN UNTUK HIDUP BERDAMPINGAN DALAM HARMONI
MISI
Minggu, 28 Agustus 2011
TERMINAL CARNIVAL SPIRITUAL
Hilal Tanggal Syawwal
Hilal tanggal tunggal syahrul Syawwal tentu bukan sinyal terminal Carnival Spiritual Ramadhan dimana pada saat itu berganti jadwal Carnival nafsu yang binal. Sehingga 1 Syawwal memang bermakna Bada (Bubaran) atau mempertegas kehadiran Lebaran. Yakni bubaran dari prosesi mencari posisi takwa yang hakiki.
Dipotret dari lanskap sosial, lanskap sosial yang indah di bulan Ramadhan, dimana sesama anak bangsa saling peduli, saling berbagi dan saling menghormati, apakah 1 Syawal adalah titik balik untuk kembali saling mengekploitasi, menghianati, mengkorupsi, bahkan saling menyakiti ? Sehingga lanskap sosial itu potrait gombal sosial ?
Dengan kata lain ada pertanyaan besar menyongsong fajar hari fitri : Adakah jejak kemuliaan Ramadan dalam sebelas bulan ke depan dalam konteks individual dan sosial ? Bisakah apa riyadloh, deposit pahala, dan sejenisnya dari masyarakat muslim Indonesia dapat memberikan konstribusi riil kepada terciptanya Indonesia yang Baldatun Thoyyibatun wa robbun ghofur ?
Gentlement Agreement
Para Founding Fathers dari kalangan mujahid mujahid Islam secara ksatria telah Penuh menerima konsep NKRI dengan UUD 45 dan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa sejak awal kemerdekaan dalam frame NKRI sebagai baldatun Thoyyibatun wa robbun ghofur dengan kesepakatan bersama dari berbagai komponen bangsa yang berbineka sebagai langkah mencontoh apa yang dilakukan Rasulullah dengan Negara Madinahnya.
Amanah NKRI sebagai baldatun thoyyibatun warobbun Ghofur ini tercermin riil dalam dasar negara Pancasila, dimana tercermin adanya keterkaitan Hubungan dengan al khaliq (Ketuhanan, habluminallah) dan dengan sesama anak bangsa (prikemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial, habluminannas), dan komitmen bersama yang tertuang dalam konstitusi dasar kita (UUD 45). Sayangnya manah ini pada kemudian hari dan saat ini menjadi hancur lebur akibat kita, para pemimpin, penyelenggara negara, lebih asik masuk dengan hasil pengembaraan intelektual yang terkooptasi, terkontaminasi, bahkan tersubtitusi akhibat cuci otak dari nilai nilai yang tidak amanah dengan nilai-nilai keindonesiaan.
Sehingga penghianatan intelektual, ideologis dan berbagai sistem atas system yang semistinya ditegakkan di Indonesia dengan NKRI nya, telah merubah wajah Cantik Ibu Pertiwi, yang bagai mutu manikam, gemah ripah lohjinawi tata tentrem kartaraharja, menjadi negara dengan potret ibu tiri yang kejam. Negeri ini telah menjadi negeri Ghorimin (terbelit hutang), kemiskinan makin dahsyat, korupsi makin menjadi-jadi dan saling melindungi. Ibu Tiri yang bernama Indonesia kini, telah mengekpolitasi keringat anak-anak negiri untuk dijadikan budak di negeri orang untuk diambil devisanya, juag membiarkan sebagian anak-anak negeri kelaparan, berduyun duyun meminta zakat dan shodaqoh, diusir dari sekolah, dibiarkan terlantar dan tidak memiliki akses aakses kesejahteraan sosial.
Lantas kalau begitu, dimana makna gegap gempita seruan takwa selama ini ?
Dimana makna sholat kita
Dalam al Quran dinyatakan yang artinya : “Dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar, dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah lain), dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Qs. Al-Ankabuut:45)
Sementara itu, Rasulullah SAW bersabda : "Sholat adalah tiang agama, barang siapa menegakkannya, maka ia telah menegakkan agama, dan barang siapa merobohkannya, maka ia telah merobohkan agama." (HR. Imam Baihaqi).
Dari ayat di atas mengisyaratkan bahwa salah satu pencapaian yang dituju oleh adanya kewajiban shalat adalah bahwa pelakunya menjadi tercegah dari kemungkinan berbuat jahat dan keji. Ini mengindikasikan bahwa shalat merupakan salah satu rukun Islam yang mendasaar dan pijakan utama dalam mewujudkan sistem sosial Islam.
Sementara itu hadits Rasul mengindikasikan bahwa kekokohan sendi-sendi soasial masyarakat muslim akan sangat tergantung kepada sejauh mana mereka menegakkan shalat yang sebenar-benarnya. Apabila hal ini tidak menjadi prioritas utamanya, maka kekeroposan sendi-sendi sosial kemasyarakatan akan menghinggapinya, yang berlanjut kepada kehancuran umat Islam itu sendiri. Karena suatu bangunan itu kuat, ketika tiangnya kokoh.
Wujud dari tercapainya tujuan sholat adalah kebaikan totalitas dalam berkehidupan pribadi, keluarga, masyarakat maupun bernegara.Seorang penyelenggara negara atau pemerintahan yang sholatnya tegak, tentu tidak mudah tergoda untuk melakukan penghianatan-penghianatan. Dia akan amanah , menegakkan ke adilan dan menmbangun kesejahteraan. Mengurangi jurang-jurang pemisah, dan membongkar skat-skat klas sosial yang cenderung saling bertentangan dan mengekploitasi.
Orang yang salatnya baik justru sudah barang tentu lebih banyak kiprahnya dalam kehidupan sosial. Keliru besar jika mereka yang shalat, hanya mengelompok, menyendiri dan mengexklusifkan diri seolah hidup dalam ruang hampa sosial, dan menafikan dan terkesan merendahkan pihak lain. Sungguh Allah membenci dan tidak menyukai orang-orang yang membanggakan dirinya, angkuh, sombong dan merasa paling baik, paling suci dibanding dengan yang lain.
Puasa Kita
Sayyed Hosen Nasr, seorang intelektual Muslim terkemuka mengungkapkan bahwa agama adalah kebersamaan, kepedulian, toleransi, dan upaya pengkayaan spiritualitas pribadinya. Dan tak mungkin spiritualitas itu dikatakan berkembang jika masih belum punya kepedulian kepada sesama.
Ramadan sering dikatakan sebai bulan imunisasi dan bulan deposit pahala. Bulan immunisasi dikarenakan dengan amaliah Ramadhan terutama jika mendapat malam Kemuliaan (Lailatul Qodar) dalam kebaikan, maka paling tidak 83 tahun atau seumur hidupnya dalam kebaikan terhindar dari hama dan penyakit kehidupan, dikatakan bulan deposit pahala karena di bulan Ramadhan berbagai "mega bunus" pahala dikucurkan, yang akan merupakan tabungan/deposit yang menguntungkan. Sementara itu puasa Ramadhan adalah sebuah arena pematangan emosi, intelektual, sosial dan spiritual. Yang paling penting di bulan Ramadan adalah mengaksentualisasikan nilai-nilai kemanusiaan dengan merenungkan gejala sosial yang muncul di sekitar kita. Kontribusi puasa dengan demikian diharapakan mampu mendorong kita untuk lebih matang berkomunikasi secara sosial, yang pada akhirnya dapat melahirkan insan kamil, manusia yang sempurna dengan berbagai dimensi kecerdasan yang sempurna pula (holistik).
Hidup sebagai insan kamil (Holistic person) tentu indah dan bermakna karena ia adalah individual-individual yang tingkat kaselahan sosialnya sangat sempurna dalam dimensi manusiawinya. Nyatalah kemudian bahwa kita berpuasa mengejawantahkan bukan semata linear urusan vertikal transendental, namun juga horisontal sosial. Dalam ibadah puasa, ada tiga aspek yang fundamental, yaitu pendekatan diri kepada Allah, penyucian diri, dan membangun kesalehan sosial.
Hanya Capai, Lapar dan Dahaga
Dalam berbagai kesempatan,sering diungkapkan bahwa banyak orang yang sholat bisa saja hanya mendapat kecapaian, sementara itu banyak orang yang berpuasa hanya akan mendapatkan lapar dan dahaga. Dan ironisnya orang-orang semacam ini biasanya merasa paling baik, paling shaleh dan paling takwa. Mereka digambarkan dalam al Quran sebagai orang yang merugi dengan amalnya dan salah menyangka.
Betapa gempitanya dan hebohnya penyelenggara negeri ini, para pejabat, eksekutif, legislatif yudikatif negeri ini "mempertontontkan" ritual-ritual spiritual yang wah !
Namun jejak ibadah komponen bangsa ini tidak terlihat dari perjalan dan nasib bangsa ini, bahkan fakta menunjukan realitas sebaliknya.
Jika Indonesia itu kian ghorimin, kemungkaran makin merajalela, korupsi terjadi begitu teristematis dan saling melindungi, tidak ada kata lain, kecuali kita akan menyatakan, jangan-jangan sholat kita, puasa kita, hanya menghasilkan kecapaian, lapar dan dahaga, sementara Qiyamul lail kita hanya mengubah kita menjadi penjaga malam (ronda) saja sebagaimana disnyalir Rasulullah.
Anda keberatan dengan pernyataan ini ? mau tidak mau anda harus dapat membuktikannya dengan karya sosial yang riil, selepas bulan ramadhan nanti.
Semoga kita dapat membuktikannya bahwa kita tidak hanya berbubaran, tapi kita bersyawwalan, syawwal dalam kualitas pribadi, kualitas sosial dan kualitas Nasional. KIta kembali fitrah. kita ber Eid Mubarok, kembali diberkahi karena hidup kita mengejawantahkan nilai-nilai rahmatalili alamin, penebar kasih bagi seluruh alam.
Insya Allah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar