MEMBANGUN PEMIKIRAN KEAGAMAAN DENGAN PARADIGMA KERAHMATAN UNTUK HIDUP BERDAMPINGAN DALAM HARMONI
MISI
Sabtu, 26 November 2011
HARI GURU 2011
Alkisah, begitu terjadi tragedi Hiroshima dan Nagasaki, maka pertanyaan yang muncul dari Sang Kaisar adalah : Berapa guru yang masih selamat ? . Rupanya, kaisar betul-betul memposisikan guru pada posisi yang sangat berarti bagi pulihnya Jepang Pasca tragedi kemanusiaan paling mengerikan sepanjang sejarah tersebut.
Dan dunia saat ini menyaksikan, penghargaan dan penghormatan Jepang terhadap guru-gurunya telah melahirkan buah begitu manis dan lezat, Jepang meski dengan segala keterbatasan sumberdaya alamnya, telah tampil sebagai salah satu kekuatan dunia yang disegani. Hanya mereka yang menghormati guru-gurunya lah yang akan menguasai peradaban.
Sebaliknya, kalau kita sempat berkunjung ke sekolah-sekolah di jepang, maka kita dapat melihat, bagaimana guru-guru Jepang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsanya, Guru benar-benar merupakan Saka Guru bagi lestarinya nilai-nilai luhur Bangs Jepang.
Sebagai bangsa yang berketuhanan yang maha esa sebagai salah satu nilai luhur dalam dasar falsafah negara, sudah selayaknya guru-guru di Indonesia menjadi Saka Guru tegaknya "Ketuhanan Yang Maha Esa" dengan segala implikasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga Bangsa Indonesia, melalui guru-gurunya, akan berjalan ke depan sesuai haluan dan janji Proklamasi 1945.
Sebagai salah satu gerakan moral, pada hari guru 2011 ini, mari kita renungkan puisi Munajad Guru yang penulis bacakan di depan peserta Apel hari Guru Perguruan Diponegoro Jakarta berikut ini :
Munajad Guru :
TUHAN, AJARI KAMI BAHASA CINTA-MU
Ilahi,
Engkaulah ilah yang satu tanpa sekutu
Al Ma’bud dimana kami bersujud dalam tahjjaud
Mengharap berkah hidup
Selama jantung kami berdegup
Yaa Robbii,
Engkau pusat tarbiyah kami
Dimana kami rentangkan sajadah,
Mengajari kami mendidik penuh gairah
Dalam tarbiyah untuk tegiuhkan Firmanmu Ya Allah.
Engkau bimbing kami
Hingga mumpuni pemahaman kami
Tentang tasbih bintang gemintang
Tentang takbir matahari dan tahlil bahari
Hingga kepatuhan sujud elektron,
Yang bergerak serentak di lintasannya
Seakan mengumandangkan firman-Mu
Wa kullu fii falakin yasbahuun.
Yaa Rahman,
Ajari kami bahasa cinta-Mu
Hingga kami tepat mencintai
Hamba-hamba yang mencintai-Mu
Ajari kami bahasa cinta-Mu
Agar kami dapat mendidik penuh cinta
Hingga terbina siswa yang mencintai-Mu
Sebab, hanya mereka yang mencintai-Mu
Dapat mencintai guru- guru.
Jakarta, 25 November 2011
Realitas Guru
Kita dapat merasakan langsung sikap kearifan, kedisiplinan, kejujuran, ketulusan, kesopanan serta sebagai sosok panutan menjadikan profesi guru berbeda dengan yang lain. Lantaran tanggung jawab dari profesi guru tidak berhenti pada selesai ia mengajar, melainkan keberhasilan siswa dalam menangkap, memahami, mempraktekkan serta mengamalkan ilmu yang diterima dalam kehidupan sehari-hari baik langsung maupun tak langsung. Hal ini membuat citra seorang guru di mata masyarakat selalu berada di tempat yang lebih baik dan mulia.
Guru dalam kaitaannya dengan kelembagaan, sebagaimana yang dikemukakan Djamin (1999), bahwa citra guru mempunyai arti sebagai suatu penilaian yang baik dan terhormat terhadap keseluruhan penampilan yang merupakan sosok pengembang profesi ideal dalam lingkup fungsi, peran dan kinerja. Citra guru ini tercermin melalui keunggulan mengajar, memiliki hubungan yang harmonis dengan peserta didik, serta memiliki hubungan yang harmonis pula terhadap sesama teman seprofesi dan pihak lain baik dalam sikap maupun kemampuan profesional. Dari sudut pandang peserta didik, citra guru ideal adalah seseorang yang senantiasa memberi motivasi belajar yang mempunyai sifat-sifat keteladanan, penuh kasih sayang, serta mampu mengajar di dalam suasana yang menyenangkan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa citra guru berkaitan erat dengan profesionalitas guru yang berhubungan dengan tugas dan kewajibannya sebagai diri pribadi, pendidik, dan hubungan sosial-kemasyarakatan.
Pola perilaku guru berhubungan dengan profesinya sebagaimana yang dikemukakan oleh Soetjipto dan Raflis Kosasi (2007:43) adalah berhubungan dengan bagaimana pola tingkah laku guru dalam memahami, menghayati, serta mengamalkan sikap kemampuan dan sikap profesionalnya yakni, sikap profesional keguruan terhadap: peraturan perundang-undangan, organisasi profesi, teman sejawat, anak didik, tempat kerja, pemimpin, dan pekerjaan.
Citra guru yang ideal seperti itu, saat ini, jika kita amati langsung dalam realitas kehidupan guru, tetrutama bagaimana guru di kelas dan berinteraksi dengan sejawatnya di sekolah-sekolah, semua itu sudah mengalami pergeseran. Peningkatan kesejahteraan guru melalaui berbagai skema kebijakan, tidak semena-mena meningkatkan citra dan profesionalisme guru. Bahkan sebaliknya, aliran uang yang cukup menggiurkan dengan beban kerja mengajar 18 Jam Pelajran, tidak digunakan untuk meningkatkan kinerjanya, tetapi untuk berbagai hal yang kadang bersifat laghwun dalam wacana agama. Ngobrol tentang gaya hidup, ghibah, atau bahkan menikmati semua itu untuk hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan peningkatan citra guru.
Dalam konteks hubungan antar guru, interaksi antar guru dengan teman sejawat, perlu diakui bahwa gambaran ideal itu amat sangat sulit ditemukan. Like and dislike dari atasan dalam pembagian kelezatan kue proyek sering melahirkan budaya pergaulan yang tak sehat, cari muka, menjilat, menelikung teman sendiri, sangat tidak sulit untuk ditemukan. Grouping, firqoh, dalam berbagai bentuknya seperti brigade 13, brigade 5, brigade elit dan sejenisnya mudah sekali kita temui dalam interaksi pengajar-pengajar saat ini. Bahkan kadang manipulasi-manipulasi yang sangat mendzalimi sejawat yang tidak disukai dilakukan oleh atasan hanya untuk memperjuangkan kroni-kroni yang disukai. Bisakah guru-guru dengan karakter demikian mengemban amanah membangun karakter bangsa ?
Memudarnya Citra Guru
Sudjana dalam Mustafa (2005) menjelaskan rendahnya pengakuan masyarakat terhadap profesi guru yang mengakibatkan rendahnya citra guru disebabkan oleh faktor berikut: (1) adanya pandangan sebagian masyarakat, bahwa siapapun dapat menjadi guru asalkan ia berpengetahuan; (2) kekurangan guru di daerah terpencil, memberikan peluang untuk mengangkat seseorang yang tidak mempunyai keahlian untuk menjadi guru; (3) banyak guru yang belum menghargai profesinya, apalagi berusaha mengembangkan profesinya itu. Perasaan rendah diri karena menjadi guru, penyalahgunaan profesi untuk kepuasan dan kepentingan pribadinya. Syah (2000) menyorot rendahnya tingkat kompetensi profesionalisme guru, penguasaan guru terhadap materi dan metode pengajaran yang masih berada di bawah standar, sebagai penyebab rendahnya mutu guru yang bermuara pada rendahnya citra guru.
Secara rinci dari aspek guru rendahnya mutu guru menurut Sudarminta dalam Mujiran (2005) antara lain tampak dari gejala-gejala berikut: (1) lemahnya penguasaan bahan yang diajarkan; (2) ketidaksesuaian antara bidang studi yang dipelajari guru dan yang dalam kenyataan lapangan yang diajarkan; (3) kurang efektifnya cara pengajaran; (4) kurangnya wibawa guru di hadapan murid; (4) lemahnya motivasi dan dedikasi untuk menjadi pendidik yang sungguh-sungguh; semakin banyak yang kebetulan menjadi guru dan tidak betul-betul menjadi guru; (6) kurangnya kematangan emosional, kemandirian berpikir, dan keteguhan sikap dalam cukup banyak guru sehingga dari kepribadian mereka sebenarnya tidak siap sebagai pendidik; kebanyakan guru dalam hubungan dengan murid masih hanya berfungsi sebagai pengajar dan belum sebagai pendidik; (7) relatif rendahnya tingkat intelektual para mahasiswa calon guru yang masuk LPTK (Lembaga Pengadaan Tenaga Kependidikan) dibandingkan dengan yang masuk Universitas.
Sementara itu Nana Sudjana (2000) menjelaskan rendahnya pengakuan masyarakat terhadap profesi guru disebabkan oleh faktor berikut: (1) adanya pandangan sebagian masyarakat, bahwa siapapun dapat menjadi guru asalkan ia berpengetahuan; (2) kekurangan guru di daerah terpencil, memberikan peluang untuk mengangkat seseorang yang tidak mempunyai keahlian untuk menjadi guru; (3) banyak guru yang belum menghargai profesinya, apalagi berusaha mengembangkan profesinya itu. Perasaan rendah diri karena menjadi guru, penyalahgunaan profesi untuk kepuasan dan kepentingan pribadinya, sehingga wibawa guru semakin merosot. Sedang Muhibbin Syah (2000) menyorot rendahnya tingkat kompetensi profesionalisme guru. Penguasaan guru terhadap materi dan metode pengajaran masih berada di bawah standar.
Guru Guru Yang Kita Butuhkan
Pada era dimana Indinesia semakin kehilangan jati dirinya, maka Guru memiliki peran strategis dalam Pembangunan Karakter Manusia Indonesia Seutuhnya (Insan Kamil Indonesia). Manusia Indonesia yang Utuh, yang sempurna dalam kemanusiaannya.
Membangun karakter demikian tentu tidaklah mudah. Ini memerlukan keseriusan (jihad) dan kesinambungan dan meliu yang mendukung. Jika diumpamakan karakter mulia itu adalah mutiara yang bercahaya, yang indah mempesona, maka hal itu hanya ada di dasar laut. Kita harus berani berlayar, naik perahu (safinah), bersiap menghadapi berbagai gelombang dan badai (jihad) dan mau menyelam (slulup) ke dasar laut bahkan ke palung palungnya.
Proses demikian tentu sangat butuh pengerahan berbagai sumber daya, keseriusan, political will, dan dukungan dari seluruh masyarakat. Berlian hanya dapat dihasilkan dari proses yang matang, dan treatmen yang tepat. Coba renungkan puisi berikut :
MUTIARA CINTA
Sunset senandungkan serenada senja.
Pada terang yang menghilang
terpancang gelap menghadang.
Bumi nan temaram,
meremang didekap kegelapan
bagai hatiku yg lupa akan ada-Mu.
Kau rebahkan keangkuhanku di atas lembut raut rumput
saat agin laut larut dalam derai rambut.
Sambil bisikan indah mutiara di palungnya,
yang tetap tembus cahaya purnama.
Mendung menggelantung,
melarung jantung mengurung untung,
belatung dan entung terapung di atas lembayung,
yang terusung menghampiri saung demi saung nan murung.
Kau teguhkan sunset di pantai murung.
Dimana perahu perahu nelayan urung memburu ikan.
Kau sibakan palung memancarkan cahaya mutiara,
yang hanya dapat diambil para penyelamnya.
Pertanyaan mendasar dan introspekti bagi guru-guru Indonesia saat ini adalah : apakah kita layak disebut guru dangan apa yang kita lakukan ? Kalau ya, konstribusi apa yang telah atau paling tidak akan kita lakukan dalam waktu sesegera mungkin ?
Berkaitan dengan perayaan hari guru yang berdekatan dengan Tahun baru Hijriah 1433 H, The Holistic Leadership center mengucapkan : Selamat Berhijrah Guru Guru Indonesia ! Semoga kita dapat mentauladani Guru Agung Kita Muhammad SAW.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar