MISI

***************** A MAN WHO WANT TO CREATE AN EDEN IN THE WORLD *****************

Senin, 06 September 2010

BADA, IDUL FITHRI DAN IDUL MUBAROK


Pada masyarakat pantura, Tegal, Brebes, dan sekitarnya, Lebaran biasa disebut sebagai Bada. Bada yang berasal dari kata Arab Ba’da, bermakna setelah, selesai. Badaan adalah perayaan besar yang dilakukan oleh masyarakat pantura (yang sejak dulu memang mayoritas muslim) setelah selesai melakukan ibadah puasa (Bada Syawal) atau seteleh jama’ah haji selesai melakukan ibadahnya (Bada aji). Padanan kata dalam bahasa Jawa tegalan bagi kata Bada adalah Bar (bubaran), Lubaran yang kemudian menjadi lebaran.

Pengertian ini bias kita lihat pada aktivitas masyarakat sebelum melakukan hari Lebaran (Dina Bada). Sebelum hari lebaran ada dua moment yang sangat penting yakni Prepegan Cilik dua hari sebelum lebaran dan Prepegan Gede yang dilakukan satu hari menjelang lebaran.

Pada dua hari Prepegan ini, pusat-pusat perbelanjaan, khususnya pasar, mengalami peningkatan pengunjung yang luar baiasa, bahkan sampai berdesak-desakan (Sel-selan). Aktivitas prepegan pergi ke pasar pada sebagain kelompok masyarakat adalah seperti sebuah keharusan, karena diyakini untuk menghilangkan kesebalan. Pada Prepegan Gede bahkan pasar atau took-toko buka hingga dini hari, apalagi jika terjadi Bada Mbrojoli (dating lebih cepat karena Hilal terlihat).

Pengertian yang semacam ini tentu sejalan dengan Pengertian Idul Fitri yang berarti kembali makan pagi. Atau kembali berbuka/sarapan. “Idul Fitri. Dalam kamus “Lisânul ‘Arab” dikatakan bahwa îd secara bahasa artinya “setiap hari yang di dalamnya ada perkumpulan.” Îd terambil dari kata “‘âda–ya’ûdu” artinya “kembali; karena seakan-akan mereka selalu kembali padanya.” Tapi ada sebagian orang yang berpendapat bahwa îd diambil dari kata: “Adat atau kebiasaan, karena mereka menjadikannya sebagai kebiasaan. Bentuk jamaknya adalah “‘ayâda”. Bila dakatakan “Îd Muslimun”, maknanya: mereka menyaksikan hari raya (îd) mereka. Ibnul A’rabi mengatakan: “îd dinamakan dengan nama tersebut karena setiap tahun ia selalu kembali dengan kegembiraan yang baru.”

Sedangkan lafadz “fithru” (îd al-fithri atau îdul fithri) menurut bahasa: “berbuka” atau “ifthâr”. Jadi, secara bahasa makna dari hari raya “idul fitri” adalah “hari berbuka puasa”. Yakni umat Islam diperbolehkan makan dan minum setelah satu bulan lamanya mereka berpuasa. Selain itu, di akhir bulan puasa umat Islam memakai pakian yang bagus guna merayakan keberhasilan mereka menunaikan ibahah puasa sebulan penuh. Meskipun demikian, memakai pakaian yang serba baru bukanlah kewajiban, tapi merupakan “kebiasaan masyhur” dan tidak ditentang oleh Rasulullah Saw.

Definisi idul fitri sebagai hari berbuka puasa sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa nabi Muhammad Saw. bersabda, “puasa itu ialah pada hari kamu berpuasa, dan (Idul) Fithri itu ialah pada hari kamu berbuka. Dan (Idul) Adlha (yakni hari raya menyembelih hewan-hewan kurban) itu ialah pada hari kamu menyembelih hewan,” (HR Tirmidzi). (lihat, almanhaj.or.id-Berjalan di atas Manhaj As-Salafush Shalih) Hadits di atas menunjukkan bahwa definisi idul fitri adalah hari berbukanya kaum muslimin atau diperbolehkannya umat Islam makan dan minum disiang hari.



Secara umum di Indonesia, Hari Raya ini telah menjelma menjadi sebuah momentum dengan akar yang sangat kuat dan diliputi oleh tradisi dan kebiasaan yang telah menjadi pemandangan umum di masyarakat walaupun dari sisi syar'i hal itu perlu ditimbang dan ditelaah kembali. Karena kita dapat terjebak pada beberapahal sebagi berikut :

1- Dengan berakhirnya Ramadhan berakhir pula ibadah.
2- Dengan Idul Fitri manusia kembali kepada fitrah.
3- Membatasi silaturrahim dan bermaaf-maafan hanya pada Idul Fitri
4- Mengadakan acara halal bi halal. Yang tidak ada hijab antara lelaki dan wanita, yang melakukan persentuhan kulit (bersalaman) antara lelaki dasn wanita bukan muhrim
5- - Membuat makanan tertentu karena diyakini membawa berkah yang bias terjebak pada kesyirikan



Secara Rinci, beberapa kemungkaran yang dapat menyertai Hari berbuka atau lebaran adalah sebagai berikut :

1. Tasyabbuh (meniru-niru) orang-orang kafir dalam pakaian dan mendengarkan musik/nyanyian (kecuali rebana yang dimainkan oleh wanita yang masih kecil). Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang meniru-niru suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.” (HR. Ahmad, sanadnya hasan) dan sabda Nabi yang lain, “Akan datang sekelompok orang dari umatku yang menghalalkan (padahal hukumnya haram) perzinaan, pakaian sutra bagi laki-laki, khomr (sesuatu yang memabukkan), dan alat musik…” (HR. Al Bukhori secara mu’allaq dan Imam Nawawi berkata bahwa hadits ini shohih dan bersambung sesuai syarat shohih). Dan Ibnu Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu mengatakan bahwa yang dimaksud ‘Lahwal Hadits’ (perkataan yang tidak bermanfaat) dalam surat Luqman ayat 6 adalah Al Ghinaa‘ (nyanyian).




2. Tabarruj-nya (memamerkan kecantikan) wanita, dan keluarnya mereka dari rumahnya tanpa keperluan yang dibenarkan syariat agama. Hal tersebut diharamkan di dalam syari’at ini, di mana Alloh berfirman, “Dan hendaklah kamu (wanita muslimah) tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyyah yang dahulu, dan dirikanlah sholat serta tunaikanlah…” (QS. Al Ahzab: 33). Dalam suatu hadits disebutkan bahwa ada dua golongan dari ahli neraka yang tidak pernah dilihat oleh Nabi: “….salah satu di antaranya adalah wanita-wanita yang berpakaian namun telanjang (tidak menutup seluruh tubuhnya, atau berpakaian namun tipis, atau berpakaian ketat) yang melenggak-lenggokkan kepala. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium bau surga.” (HR. Muslim)

3. Berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahrom. Fenomena ini merupakan musibah yang sudah sangat merata. Tidak ada yang selamat dari musibah ini kecuali yang dirohmati Alloh. Padahal perbuatan ini adalah haram berdasarkan sabda Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam, “Sungguh, seandainya kepala kalian ditusuk dengan jarum dari besi, lebih baik daripada dia menyentuh wanita yang tidak halal dia sentuh.” (lihat Silsilah Al Ahadits As Shohihah 226) (Ahkamul Iedain, Syaikh Ali bin Hasan).



4. Mengkhususkan ziarah kubur pada hari raya ‘Ied. Tidak terdapat satu dalil pun yang menunjukkan perintah Alloh ataupun tuntunan Nabi untuk ziarah ke kubur pada saat ‘Iedul Fitri. Ziarah kubur memang termasuk ibadah yang disyariatkan, namun, pengkhususan waktu untuk ziarah saat ‘Iedul Fitri membutuhkan dalil. Jika tidak terdapat dalil, perbuatan tersebut bukan tuntunan Nabi dan tidak boleh dilaksanakan. Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang beramal suatu amalan (untuk tujuan ibadah) di mana tidak termasuk dalam urusan kami, maka amalnya tersebut tertolak (tidak akan diterima).” (HR. Muslim)



5. Begadang saat malam ‘Iedul Fitri. Banyak di antara kaum muslimin yang menghidupkan malam ‘Ied dengan takbir via mikrofon. Hal ini sangat mengganggu kaum muslimin yang hendak beristirahat. Hukum mengganggu orang lain adalah haram. Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam bersabda, “Muslim (yang baik) adalah yang tidak mengganggu muslim lainnya dengan lisan dan tangannya.” (HR. Muslim). Sehingga jika memang hendak bertakbir, hendaknya tidak dengan suara yang keras. Ada lagi di antara kaum muslimin yang menjadikan malam ‘Ied untuk begadang dengan bermain catur, kartu atau sekedar ngobrol tanpa tujuan. Akibatnya, tatkala pagi datang, kebanyakan dari mereka sulit menjalankan sholat subuh secara berjamaah. Bahkan ada yang sampai ogah-ogahan menjalankan sholat ‘Ied.



“Idul Mubarok

Happy Ied Mubarak, adalah ucapan yang wajar secara international digunakan untuk mengucapkan selamat Idul Fitri. Merujuk penguraian kata seperti di atas, maka “Idul Mubarok, bermakna “kembali diberkahi”. Kalimat ini terasa lebih mendekati pada cita-cita puasa sendiri yang menuju Taqwa. Dan dengan Iman dan taqwa, maka terbukalah pintu barokah, sebagaimana kita yakini, bahawa jika penduduk sebuah kota beriman dan bertakwa, maka akan dibukakan keberkahan, akan hidup diberkahi. Orang yang beriman dan melakukan proses-proses Ramadhan yang ideal termasuk “mendapatkan” Cahaya Lailatul Qodar, maka pasca Ramadhan dia mendapat keberkahan, Hidup yang diberkahi, sebuah hidup yang ideal yang diimpikan setiap insan.

Penggunaan istilah Id Mubarok, Id Yang Diberkahi, lebih terasa lugas dan menghindari kesalah semantic, seperti pada penggunaan istilah Idul Fitri, yang sesungguhnya bermakna kembali iftor menjadi kembali fitri.

Dengan demikian penggunaan Selamat Id Mubarok, merupakan sebuah upaya untuk membiasakan diri pada cara-cara yang tidak bias, pada cara-cara yang benar, karena hanya dengan membiasakan dengan cara-cara yang benar kita dapat tumbuh dan menerima kebenaran. Sementara itu, excuse-excuse pada hal-hal yang kita tahu adalah keliru, akan menumbuhkan kekeliruan lebih besar, yang pada akhirnya akan berdampak kurang pas bagi masyarakat.

SENANDUNG FITRI

Dalam kesederhanaan cinta berkata :
Kasih taburlah kenhngatan cahaya
Gairahkan daunan kehidupan
hembuskan elan sari keagungan,
bagi tiap hati yang fitri.

Untuk menyambut matahari
nyalakan bintang di setiap dada
bagi terbentang bumi asri
tempat senandung bait-bait keabadian
dan sujud panjang pada Yang Rahmana



Insya Allah.


Selamat Idul Mubarok 1431 H, Taqobalallahu minna wa minkum.

Tidak ada komentar: