MISI

***************** A MAN WHO WANT TO CREATE AN EDEN IN THE WORLD *****************

Minggu, 11 Oktober 2015

SATU MUHARRAM, QUO VADIS KEBANGKITAN ISLAM

Menjelang tahun baru Islam 1437 H, artinya sudah 37 tahun yang lalu, namun masih TERASA SEGAR GEMA TEKAD ABAD XV HIJRI SEBAGAI ABAD KEBANGKITAN ISLAM yang benar benar mampu membangkitkan SPIRIT KEISLAMAN UMAT terutama di kampus kampus dan lebih khusus lagi di UGM dan kampus 2 besar di tanah air. Dimotori Jama'ah Shalahuddin UGM pada ahirnya terbentuk Forum LDK SEJAWA (1985) dan kemudian Nasional.
Masalah sentral umat waktu itu adalah kemunduran dan perpecahan umat Islam, yang berpangkal pada realitas kaum muslimin yang telah meninggalkan 2 (dua) pegangan umat Alquran dan Sunah Rasul. Sintesa dari kondisi itu adalah tekad untuk Ruju Ilaa Quran Wa sunnah, yang kemudian menjadi adagium Abad kebangkitan Islam, yang pada ahirnya diwujudkan dengan ghiroh memahami keduanya dengan semaraknya berbagai kegiatan keagamaan di berbagai kampus.
Aisyah Ainda kita adalah lagu Qosidah Modern yang dinyanyikan Bimbo, adalah catatan sejarah kebangkitan Islam di kampus-kampus dengan gambaran seorang gadis yang menunjukan jaditiri kemuslihannya dengan berjilbab. Bimbo mengungkapkan : Aisyah adinda kita Yang sopan dan jelita angka SMP-SMA sembilan rata rata Pandai mengarang dan organisasi bulan Muharram 1401 memakai jibab menutup rambutnya busana muslimah amat pantasnya Aisyah adinda kita yang sopan dan jelita indek prestasi tertingga tiga tahun lamanya Calon insyinyur dan bintang di kampus bulan Muharram 1404 tetap berjilbab menutup rambutnya Busana Muslimah amat pantasnya Ada seribu Aisyah berbusana muslimah Ada sejuta Aisyah Berbusana muslimah
Tentang ghiroh (spirit) menunjukan jati diri islam juga diungkapkan oleh budayawan M. H Ainun Najib melalui puisi teaterikalnya : Lautan Jilbab. Sementara itu keberanian menunjukan jatidiri sebagai muslim dalam isyahadu bianna muslimun ditunjukan oleh para aktivis HMI yang kemudian memproklamirkan diri sebagai HMI MPO dengan perubahan fondamental pada khittoh perjuangannya, yang dikenal kemudian dengan khittoh Ulul Albab'.
Komitmen keintelektualan dan tanggung jawab sosial banyak mewarnai ceramah-ceramah dan kajian keagamaan di kampus. Komitmen itu diwujudkan dengan membentuk Formu LDK di tahun 1985 dimotori Jama'ah Shalahuddin UGM. Silaturhami LDK sejawa di selenggarakan di UGM dan PP. Budi Mulia. Forum LDK se Jawa ini kemudian meluas menjadi LDK Nasional di tahun 90 an, bersamaan dengan itu dikalangan Intelektualnya membentuk Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang tokoh-tokoh pendirinya juag penggerak kebangkitan Islam di Kampus.
Puisi introspektif berjudul "Adakah kita Bangkit ?" yang dipubikasikan harian Pelita Jakarta Pertengahan Februari 1985 ditulis saat penulis mengikuti Bakti Sosial (BIna Desa) Jama'ah Shalahuddin UGM di Desa Dono Mulyo, Nanggiulan KUlon Progo dalam rangka Idul Adha 1405 H. Pada saat itu Jama'ah Shalahudiin memiliki 2 desa bina, satunya adalah Playen, Wanasari. Melalui puisi pendek itu kami mempertanyakan tentang kebangkitan kita, berikut puisinya :: Kita yang latah menyenandungkan mars kebangkitan dengan nada sumbang yang dimerdukan, terkulai lumpuh dengan hadirnya kursi kursi reot yang kita bergegas menuju ke sana. Kita yang hafal sejuta dalil dan aksioma, mandul, bisu dikebiri oleh berhala yang kita ukir dengan otak kita sendiri. Adakah kita bangkit ? Kebangkitan yang terlepas dari simpul iman adalah bergegas menuju kehancuran, kebangkitan yang terjaga mimpi semalam adalah bergegas menuju kehancuran berulang.
Apa yang penulis gambarkan dalam puisi itu adalah realitas yang terjadi ditengah gegap gempitanya "senandung Kebangkitan Umat" terutama terkait dengan peristiwa di PP. Budi Mulia saat diselenggarakan Training Asistensi Mata Kuliah Agama se UGM dalam memanfaatkan co-kurikuler. Saat itu, terjadi perdebatan panjang hanya karena ada Ibu dosen yang memberikan materi training dengan ber4 make-up. Peristiwa itu sempat penulis uraikan dalam bentuk esai "Typology Dai Muda Kita" yang dipublikasikan oleh harian Masa Kini Yogykarata. dengan tujuan agar berbagai "perbedaan" benar-0benar dapat dipahami secara dewasa dan dijadikan sebagai rahmah bagi terbentuknya uhuwah Islamiah. Tidak selayaknya berbagai perbedaan justru memperosokkan umat ke jurang perpecahan dan permusuhan.
Dan kondisi yang tidak penulis inginkan, Justru akhir akhir ini terjadi. Saat ini kita melihat umat kembali dikoyak koyak, diadu domba justru oleh domba domba dajjal. oleh karena itu menongsong 37 tahun kebangkitan Islam sangat relevan menanyakan kembali Quo Vadis Kebangkitan Islam. Sudah barang tentu jawaban pertanyaan retoris tersebut terpulang pada kita semua, terutama para "penyenandung Abad kebangkitan Islam" sendiri.
Para Prenyenandung kebangkitan Islam yang kini rata-rata sudah mencapai usia emas, apakah akan kembali mempertegas "Ruju Ilaa Quran wa Sunnah", La Syarkiyyah walaa Ghorbiyyah wa laakin Islamiyah, atau kembali terpuruk dicabik-cabik oleh berbagai kepentingan yang selamanya tidak puas sebelum kita mengikuti milah mereka.
Dalam kondisi apapun, kita harus menyuarakan : Adakah Kita Bangkit ?