MISI

***************** A MAN WHO WANT TO CREATE AN EDEN IN THE WORLD *****************

Rabu, 20 Mei 2009

NEOLIBERALISM

Apa Neoliberalisme Itu?
Kwik Kian Gie
Suara Pembaruan


Dengan dipilihnya Boediono sebagai cawapresnya SBY, diskusi tentang neoliberalisme (neolib) menjadi marak. Namun, diskusinya tidak memberikan gambaran jelas.

Liberalisme adalah paham yang sangat jelas digambarkan oleh Adam Smith dalam bukunya yang terbit pada 1776 dengan judul An inquiry into the Nature and the Causes of the Wealth of Nations. Buku ini sangat terkenal dengan singkatannya The wealth of nations dan luar biasa pengaruhnya. Dia menggambarkan pengenalannya tentang kenyataan hidup. Intinya sebagai berikut.

Manusia adalah homo economicus yang senantiasa mengejar kepentingannya sendiri guna memperoleh manfaat atau kenikmatan yang sebesar-besarnya dari apa saja yang dimilikinya. Kalau karakter manusia yang egosentris dan individualistis, seperti ini dibiarkan tanpa campur tangan pemerintah sedikitpun, dengan sendirinya akan terjadi alokasi yang efisien dari faktor- faktor produksi, pemerataan dan keadilan, kebebasan, daya inovasi, dan kreasi berkembang sepenuhnya. Prosesnya sebagai berikut.

Kalau ada barang dan jasa yang harganya tinggi, sehingga memberikan laba yang sangat besar (laba supernormal) kepada para produsennya, banyak orang akan tertarik memproduksi barang yang sama. Akibatnya, suplai meningkat dan ceteris paribus harga turun. Kalau harga turun sampai di bawah harga pokok, ceteris paribus supply menyusut karena harga meningkat lagi. Harga akan berfluktuasi tipis dengan kisaran yang memberikan laba yang sepantasnya saja (laba normal) bagi para produsen. Hal yang sama berlaku buat jasa distribusi.

Buku ini terbit pada 1776, ketika hampir semua barang adalah komoditas yang homogen (stapel producten), seperti gandum, gula, garam, dan katun. Lambat laun daya inovasi dan daya kreasi dari beberapa produsen berkembang. Ada saja di antara para produsen barang sejenis yang lebih pandai, sehingga mampu melakukan diferensiasi produk. Sebagai contoh, garam dikemas ke dalam botol kecil praktis yang siap pakai di meja makan. Di dalamnya, ditambahi beberapa vitamin dan diberi merek yang dipatenkan. Dia mempromosikan garamnya yang berlainan dengan garam biasa.

Konsumen percaya dan ber-sedia membayar lebih mahal. Produsen bisa memperoleh laba tinggi tanpa saingan untuk jangka waktu yang cukup lama. Selama itu, dia menumpuk laba tinggi (laba supernormal) yang menjadikannya kaya.

Karena semuanya dibolehkan tanpa pengaturan oleh pemerintah, dia mulai melakukan persaingan yang mematikan para pesaingnya dengan cara kotor, yang ditopang oleh kekayaannya. Sebagai contoh, produknya dijual dengan harga yang lebih rendah dari harga pokok. Dia merugi. Kerugiannya ditopang dengan modalnya yang sudah menumpuk. Dengan harga ini semua pesaing akan merugi dan bangkrut. Dia tidak, karena modalnya yang paling kuat. Setelah para pesaingnya bangkrut, dengan kedudukan monopoli, dia menaikkan harga produknya sangat tinggi.

Contoh lain, kasus pabrik rokok yang membeli rokok pesaingnya, disuntik sangat halus dengan cairan sabun. Lantas dijual lagi ke pasar. Beberapa hari lagi, rokoknya rusak sehingga mereknya tidak laku, pabriknya bangkrut.

Yang digambarkan Adam Smith mulai tidak berlaku lagi, karena apa saja boleh. Pengusaha majikan mulai mengerjakan sesama manusia dengan gaji dan lingkungan kerja yang di luar perikemanusiaan. Puncaknya terjadi dalam era revolusi industri, yang antara lain mengakibatkan anak-anak dan wanita hamil dipekerjakan di tambang-tambang. Perempuan melahirkan dalam tambang di bawah permukaan bumi. Mereka juga dicambuki bagaikan binatang. Dalam era itu seluruh dunia mengenal perbudakan, karena pemerintah tidak boleh campur tangan melindungi buruh.

Dalam kondisi seperti itu, lahir pikiran Karl Marx. Banyak karyanya, tetapi yang paling terkenal menentang Adam Smith adalah Das Kapital yang terbit 1848. Marx menggugat semua ketimpangan yang disebabkan mekanisme pasar yang tidak boleh dicampuri pemerintah. Marx berkesimpulan, untuk membebaskan penghisapan manusia oleh manusia, tidak boleh ada orang yang mempunyai modal yang dipakai untuk berproduksi dan berdistribusi dengan maksud memperoleh laba. Semuanya harus dipegang oleh negara dan setiap orang adalah pegawai negeri.


Persaingan

Dunia terbelah dua. Uni Soviet, Eropa Timur, Tiongkok, dan beberapa negara menerapkannya. Dunia Barat mengakui sepenuhnya gugatan Marx, tetapi tidak mau membuang mekanisme pasar dan kapitalisme. Eksesnya diperkecil dengan berbagai peraturan dan pengaturan. Setelah dua sistem ini bersaing selama 40 tahun, persaingan dimenangkan oleh Barat. Maka tidak ada lagi negara yang menganut sistem komunisme ala Marx-Lenin-Mao.

Semuanya mengadopsi mekanisme pasar dan mengadopsi kapitalisme dalam arti sempit, yaitu dibolehkannya orang per orang memiliki kapital untuk berproduki dan berdistribusi dengan motif mencari laba. Tetapi, kapital harus berfungsi sosial. Apa arti dan bagaimana perwujudannya? Sangat beragam. Keragaman ini berarti juga bahwa kadar campur tangannya pemerintah sangat bervariasi, dari yang sangat minimal sampai yang banyak sekali.

Orang-orang yang menganut paham bahwa campur tangan pemerintah haruslah sekecil mungkin adalah kaum neolib. Mereka tidak bisa mengelak terhadap campur tangan pemerintah, sehingga tidak bisa lagi mempertahankan liberalisme mutlak dan total, tetapi harus militan mengerdilkan pemerintah untuk kepentingan korporatokrasi. Jadi, walaupun yang liberal mutlak, yang total, yang laissez fair laissez aller dan laissez fair laissez passer, yang cut throat competition dan yang survival of the fittest mutlak sudah tidak bisa dipertahankan lagi, kaum neolib masih bisa membiarkan kekayaan alam negara kita dihisap habis oleh para majikannya yang kaum korporatokrat dengan dukungan Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan IMF.

Tim ekonomi dalam pemerintahan di Indonesia sejak 1967 adalah kaum neolib yang lebih ekstrem dari rekan-rekannya di negara-negara barat. Perkecualiannya hanya sebentar sekali, yaitu selama kabinet Gus Dur.


Penulis adalah Mantan Menko Ekuin

di copy paste dari Notes Rizal Ramli

Senin, 18 Mei 2009

NEOLIBERAL 1

Fenomena Budiono
Oleh: Revrisond Baswir
Tim Ahli Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM


Keputusan Presiden untuk mengajukan Budiono sebagai calon tunggal Gubernur Bank Indonesia patut dicatat sebagai sebuah fenomena istimewa dalam perkembangan ekonomi-politikIndonesia. Setidak-tidaknya, sepanjang era pemerintahan sekarang ini, sudah dua kali nama Budiono muncul sebagai penjebol jalan buntu yang dihadapi oleh Presiden SBY.

Yang pertama adalah ketika SBY melakukan reshuffle kabinet pada akhir 2005 lalu. Ketika itu, persoalan berat yang dihadapi SBY adalah mencari figur penmgganti Aburizal Bakrie sebagai Menteri Koordinator Perekonomian. Walaupun harus mengorbankan Alwi Shihab, kehadiran nama Budiono akhirnya mampu melunakkan hati Aburizal Bakrie untuk beralih menjadi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat.

Kini, menyusul penolakan DPR terhadap pencalonan Agus Martowardoyo dan Raden Pardede sebagai calon Gubernur Bank Indonesia, SBY sekali lagi memilih Budiono sebagai dewa penyelamat. Tidak tanggung-tanggung, pengajuan Budiono sebagai pengganti Burhanuddin Abdullah tidak dilakukan SBY dengan menyertakan nama lain, tetapi dilakukannya dengan mengajukan Budiono sebagai calon tunggal.

Pertanyaannya, terlepas dari kepribadian dan kapasitas individual Budiono, faktor apakah sesungguhnya yang mendorong SBY untuk senantiasa menjatuhkan pilihannya kepada figur yang itu-itu juga? Jawabannya dapat ditelusuri berdasarkan dua kemungkinan berikut.

Pertama, jika ditelusuri berdasarkan sudut pandang Presiden, besar kemungkinan SBY memang tidak memiliki cukup banyak pilihan dalam menentukan figur yang dapat dipercayanya untuk menduduki jabatan setingkat Menteri Koordinator Perekonomian atau Gubernur Bank Indonesia. Artinya, dari beberapa nama ekonom senior yang diseleksi oleh SBY, hanya Budionolah yang benar-benar dapat dipercayanya.

Bagi Budiono hal ini jelas merupakan sebuah prestasi yang cukup membanggakan. Tetapi, sebaliknya, jika dilihat dari sudut kepentingan bangsa, kenyataan ini patut dicatat sebagai sebuah fenomena yang memprihatinkan. Artinya, dalam sebuah bangsa sebesar Indonesia, bagaimana mungkin pilihan SBY selalu jatuh pada figur yang sama?

Kata kuncinya terletak pada sangat ketatnya persaingan politik dalam memperebutkan jabatan-jabatan publik di negeri ini. Sebagaimana diketahui, rebutan jabatan publik di negeri ini tidak hanya terjadi sebatas bagi-bagi kursi di kabinet, tetapi merambah hingga ke lembaga-lembaga negara lain seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dengan demikian, jika dilihat dari sudut berlangsungnya proses rebutan jabatan publik ini, figur Budiono terutama harus dilihat sebagai figur yang dipercaya oleh SBY tidak memiliki afiliasi dengan kelompok-kelompok politik yang menjadi saingannya.

Kedua, dari sudut pandang jaringan ekonomi-politik neoliberal yang berada di belakang Budiono. Walaupun pengangkatan Budiono sebagai Menko Perekonomian dan pengajuannnya sebagai calon tunggal Gubernur BI merupakan hak prerogratif Presiden, betapapun hal itu tidak berlangsung di ruang hampa. Sebagaimana telah diberitakan secara luas, dalam memilih Budiono, SBY juga menggali masukan dari sejumlah kalangan.

Sebab itu, jatuhnya pilihan SBY kepada Budiono tidak dapat dilihat sebagai hal yang semata-mata bersifat indvidual. Hal itu tidak mungkin dapat dipisahkan dari dukungan jaringan ekonomi-politik neoliberal yang berada di belakang Budiono. Bahkan, karena jabatan Gubernur BI mensyaratkan adanya kemampuan bekerja dalam jejaring internasional, pemilihan Budiono mutahil dapat dipisahkan dari dukungan IMF dan Bank Dunia.

Sehubungan dengan kemungkinan yang kedua ini, sebuah fenomena yang sangat menarik patut diangkat ke permukaan. Diakui atau tidak, terjadinya kemacetan serius dalam proses pengkaderan rupanya sedang dialami oleh jaringan ekonomi-politik neoliberal di negeri ini.

Gejala ini sebenarnya sudah terbaca sejak pengangkatan Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas pada masa awal pemerintahan SBY. Sebagaimana diketahui, sepanjang era pemerintahan Soeharto, jabatan Menteri Perencanan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas tidak pernah dijabat oleh seorang ekonom junior, tetapi senantiasa dijabat oleh seorang ekonom senior.

Kini, dengan diajukannya Budiono yang sedang menjabat Menteri Koordinator Perekonomian sebagai calon tunggal Gubernur BI, fenomena itu tampak semakin mencolok.
Perlu ditambahkan, mencuatnya rumor mengenai kemungkinan rangkap jabatan sebagai Menteri Koordinator Perekonomian oleh Sri Mulyani, tidak memiliki makna lain selain mempertegas kenyataan tersebut.

Jika demikian duduk perkaranya, tiga kesimpulan yang perlu digarisbawahi sehubungan dengan berlangsungnya silang sengkarut pemilihan Gubernur Bank Indonesia atau fenomena Budiono ini adalah sebagai berikut

Pertama, pemilihan seseorang sebagai pejabat tinggi negara harus dipahami terutama sebagai bagian dari pertarungan ekonomi-politik nasional dan internasional. Kapasitas individu, walau pun penting, harus diletakkkan pada urutan kedua atau ketiga.

Kedua, Presiden SBY cenderung menaruh kepercayaan kepada para ekonom yang tidak terafiliasi dengan kelompok politik saingannya, tetapi terafiliasi dengan jaringan ekonomi-politik neoliberal.

Ketiga, silang sengkarut pemilihan Gubernur BI tidak secara langsung berkaitan dengan perbaikan nasib rakyat, tetapi dengan kelangsungan kekuasaan. Wallahua’lambissawab.

Dari Notes Rizal Ramli di Fb

Minggu, 17 Mei 2009

NEOLIBIRAL ECONOMIST

Jalan Neoliberal Pak Bud
Oleh: Revrisond Baswir, Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Yogyakarta
Sumber: Media Indonesia
Tanggal: 28 Feb 2007


PIDATO pengukuhan DR Boediono sebagai guru besar ekonomi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menarik untuk dicermati. Peristiwa itu tidak hanya penting karena berkaitan dengan puncak karier seseorang sebagai staf pengajar perguruan tinggi.

Pada saat yang sama, sebagai seseorang yang sedang menjabat sebagai Menteri Koordinator Perekonomi, peristiwa itu juga penting karena mengungkapkan garis pemikiran Boediono dalam melaksanakan tugas pemerintahannya.

Pertanyaan besar yang dicoba dijawab Boediono dalam pidato pengukuhannya itu secara singkat berbunyi sebagai berikut, apakah kita sudah berada di jalan yang benar? Walaupun Boediono memiliki latar belakang sebagai ekonom, pertanyaan besar itu tidak ia ajukan hanya untuk menilai perjalanan perekonomian Indonesia.

Melainkan juga untuk menilai perjalanan perpolitikan Indonesia. Artinya, secara keseluruhan, pertanyaan besar yang dicoba dijawab Boediono ialah, apakah secara ekonomi dan politik Indonesia sudah berada di jalan yang benar?

Dalam menjawab pertanyaan besar itu, Boediono membagi isi pidatonya dengan mengupas tiga pokok bahasan. Pertama, mengenai sejarah perekonomian Indonesia. Kedua, mengenai hubungan antara tingkat pendapatan per kapita dengan demokrasi.

Dan ketiga, mengenai kebijakan ekonomi yang perlu menjadi prioritas Indonesia dalam beberapa tahun ke depan. Halaman yang dihabiskan Boediono untuk membahas ketiga pokok bahasan itu meliputi 28 halaman. Sedangkan referensi yang diacunya berjumlah 24 buah.

Semula saya agak terkesima dengan kepedulian Boediono terhadap sejarah perekonomian Indonesia. Lebih-lebih, dalam membahas sejarah perekonomian Indonesia, Boediono tidak hanya menelusurinya sejak akhir atau awal era pemerintahan Soeharto.

Ia menelusurinya jauh hingga ke era pemerintahan Soekarno. Walaupun demikian, setelah mengikuti ulasannya, saya merasa ada sesuatu yang hilang. Bagi Boediono, sejarah ternyata tidak lebih dari rangkaian peristiwa. Artinya, selain cenderung mengabaikan dinamika internasional ekonomi-politik Indonesia, Boediono juga cenderung mengabaikan aspek struktural yang melatarbelakangi dinamika sejarah.

Dengan kecenderungan seperti itu, mudah dimengerti bila Boediono cenderung sangat mudah melupakan era kolonial sebagai bagian integral dari sejarah perekonomian negeri ini.

Padahal, era kolonial ialah bagian teramat penting dari sejarah perekonomian Indonesia. Ia tidak hanya penting karena berlangsung dalam kurun waktu yang sangat lama. Ia juga penting sebab aspek ekonomi adalah aspek utama dari kolonialisme.

Sebab itu, era pemerintahan Soekarno, selain masih terus dirongrong kekuatan kolonial, harus dipahami sebagai periode saat berbagai upaya sistematis dengan sadar dilakukan untuk mengoreksi warisan struktural yang ditinggalkan kolonialisme.

Tetapi justru pada titik itulah kekuatan kolonial, di tengah-tengah situasi perang dingin yang menyelimuti dunia ketika itu, berusaha keras menelikung Soekarno.

Artinya, berakhirnya era Soekarno tidak dapat dilihat semata-mata karena krisis ekonomi. Keterlibatan Amerika Serikat (AS), Dana Moneter Internasional (IMF), dan Bank Dunia dalam memicu krisis ekonomi Indonesia layak untuk dikaji secara seksama.

***

Logika serupa dapat pula diterapkan untuk memahami kejatuhan Soeharto. Sebagai antitesis dari pemerintahan Soekarno, pemerintahan Soeharto adalah pemerintahan kesayangan kolonial. Lebih-lebih selama era pemerintahan ini, para ekonom sahabat Amerika terus-menerus dipercaya untuk menakhodai penyelenggaraan perekonomian Indonesia.

Namun setelah 32 tahun, di tengah-tengah ketidakpuasan internal yang cenderung meluas, serta tuntutan liberalisasi perdagangan yang dilancarkan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), memelihara pemerintahan Soeharto mungkin terasa sudah terlalu mahal ongkosnya.

Dengan latar belakang seperti itu, melihat perkembangan demokrasi semata-mata dari sudut tingkat pendapatan per kapita jelas sangat menyederhanakan masalah.

Lebih dari itu, demokrasi dalam pengertian apakah yang dimaksud Boediono? Boediono memang berkali-kali menekankan demokrasi yang dikembangkan di Indonesia hendaknya tidak hanya demokrasi prosedural. Secara substansial ia harus didukung dengan mengembangkan kelas menengah yang mampu mempertahankan kelanggengan demokrasi.

Walaupun demikian, dari uraian panjang Boediono, sama sekali tidak jelas demokrasi jenis apa yang sedang dibahasnya. Ini penting saya tegaskan, sebab dalam pengertian para bapak pendiri bangsa, demokrasi yang hendak dikembangkan di negeri ini bukanlah demokrasi liberal.
Demokrasi yang hendak dikembangkan di sini, meminjam ungkapan Bung karno, ialah sosio-demokrasi, yaitu suatu bentuk demokrasi yang terdiri dari demokrasi politik dan demokrasi ekonomi sekaligus. Sebab itu, dalam ungkapan Bung Hatta, 'Jika di sebelah demokrasi politik tidak terdapat demokrasi ekonomi, rakyat belum merdeka.'

Boediono tampaknya sengaja mengabaikan amanat yang antara lain tercantum dalam Pasal Undang-Undang Dasar 1945 itu. Konsekuensinya, bagi saya, yang perlu dicari korelasinya bukanlah antara tingkat pendapatan per kapita dan demokrasi, melainkan antara demokrasi ekonomi dan demokrasi politik.

Berbagai studi yang diacu Boediono mengenai hubungan antara tingkat pendapatan per kapita dan demokrasi, saya kira lebih tepat dipahami sebagai preskripsi, yaitu untuk memuja pertumbuhan ekonomi dan melancarkan pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal di negara-negara dunia ketiga.

Dari sudut pandang yang lain, sesungguhnya bukan krisis ekonomi yang menjadi batu sandungan demokrasi, melainkan tingkat demokratisasi ekonomi. Krisis ekonomi, selain bisa direkayasa kekuatan kolonial, hanya akan menjadi batu sandung demokrasi pada tingkat elite.

Pada tingkat rakyat banyak, justru demokrasi tanpa demokrasi ekonomilah yang menjadi sumber malapetaka. Mengapa? Sebagaimana dialami Indonesia saat ini, demokrasi tanpa demokrasi ekonomi ternyata tidak hanya melahirkan petualang-petualang politik. Ia menjadi dasar legitimasi bagi pelembagaan sistem ekonomi pasar neoliberal di negeri ini.

Sebab itu, jika dikaitkan dengan pertanyaan besar yang diajukan dijawab Boediono, mudah dimengerti bila ia dengan tegas menjawabnya dengan kata-kata, 'ya'. Saya, sesuai dengan perspektif yang saya gunakan di sini, tentu akan dengan tegas pula menjawabnya dengan kata-kata, 'tidak'.

Dengan mengemukakan hal itu sama sekali bukan maksud saya untuk menganjurkan agar Indonesia kembali mengisolasi diri, atau agar negeri ini kembali ke era pemerintahan otoriter. Yang ingin saya tegaskan ialah prioritas agenda perekonomian Indonesia ke depan bukanlah pertumbuhan ekonomi dengan embel-embel yang tersebar sekali pun. Melainkan, sesuai dengan cita-cita proklamasi dan amanat konstitusi, melakukan segala upaya untuk mewujudkan demokrasi ekonomi secepatnya.

Jika dilihat dari sudut pertumbuhan, terus terang saya lebih menekankan kualitas pertumbuhan daripada tinggi atau rendahnya angka pertumbuhan. Artinya, embel-embel yang tersebar saja jauh dari cukup untuk memahami kualitas pertumbuhan.

Pertumbuhan yang berkualitas harus dilihat baik pada segi proses, keberlanjutan, maupun implikasinya terhadap kemandirian ekonomi nasional. Pertumbuhan ekonomi yang tersebar, tidak akan bermanfaat jika bersifat teknokratis dan memperdalam cengkeraman neokolonialisme.

Sebagai penutup, ada baiknya saya kemukakan, walaupun saya dan Pak Bud (demikian saya biasanya menyapa beliau), sama-sama berasal dari Fakultas Ekonomi UGM, sudut pandang kami dalam melihat perekonomian Indonesia bertolak belakang 180 derajat.

Khusus mengenai substansi pidato yang disampaikannya, saya merasa agak kesulitan menemukan pribadi Boediono yang pada awal 1980-an pernah menjadi sahabat dekat Prof Mubyarto. Yang terasa menonjol dalam pidato tersebut ialah pribadi Boediono sebagai sahabat dekat William Liddle, yang menurut informasi yang saya peroleh, memang turut terlibat sebagai pembahas penulisan isi pidato itu. Akhirul kalam, saya ucapkan selamat kepada Pak Bud. Semoga perbedaan sudut pandang ini tidak mengganggu kehangatan persahabatan kita.***


dari :
Rizal Ramli Full's Notes

Rabu, 13 Mei 2009

TELIKUNG MENELIKUNG


Masih segar dalam ingatan kita, iklan gencar Pilpres 2004 dari pasangan SBY-JK, JK dipilih menjadi pendamping SBY, dengan alasan dia sebagai pengusaha yang berpengalaman. Ironis memang, JK seakan tidak punya etika organisasi, dengan tidak menghormati keputusan partainya yang justru mencalonkan Wiranto-Sholahuddin Wahid. JK rela partainya ditelikung, yang penting jadi Wapres. Lebih ironis lagi justru JK kemudian terpilih menjadi Ketua Umum Golkar.

Hukum “menabur - menuai” pun terjadi. Gonjang ganjing Koalisi pasca pileg 2009 “memaksa” JK menerima pukulan balas, dengan harapan bisa dilamar SBY setelah Golkar keluar dari rencana Koalisi dengan Demokrat, teman-teman JK berhasil mengeluarkan legalitas kran pengaman yang ingin mereka tempuh seperti yang dilakukan JK pada pilpres 2004, menjadi Cawapres bukan dari partai Golkar.

Sudah hampir pasti, keinginan temen-temen JK tak akan terwujud, karena SBY tidak tertarik lagi oleh birahi kekuasaan temen-temen JK tersebut. SBY dengan segala pertimbangannya justru memilih Boediono (SBY-No atau NO-SBY ?) orang yang dianggap sangat dekat dengan Megawati.

Syah-syah saja SBY menggandeng siapapun, namun jika dibalik alasan-alasan tersurat terdapat alasan manggandeng Boediono agar PDI-P mau bergabung berkoalisi dengan PD yang telah ditinggalkan Golkar, sehinga PDI-P mau mengurungkan keputusan formalnya mengusung Megawati menjadi presiden pada pilpres kali ini, maka sesungguhnya SEJARAH PENELIKUNGAN SBY menjadi berulang.

Berbeda dengan temen-temen JK yang justru meminta legalitas untuk bisa bergandengan dengan Capres lain, Temen-temen Megawati justru mempertegas komitmennya pada idealisme dan etika organisasi dengan tidak mau tawar-menawar pada keputusan Konggres partainya. Ini sebuah pembelajaran penting untuk bangsa ini, Istiqomah dengan nilai-nilai ideal, sebuah fight spirit. Ditengah pembelajaran oportunistis dan hipokrit dari para elit politik.

Tapi mungkin, masalah telikung menelikung menjadi keharusan bagi PD, sehingga partai-partai yang berencana berkolisi juga merasa DITELIKUNG dengan kenyataan SBY menggandeng Boediono, tanpa “komunikasi” dengan mereka.

Nah Loh ! Kok ga lihat sejarah ya.

Wallahu a’lam.

Senin, 11 Mei 2009

ZOONOSIS BARU DAN HIKMAH AYAT KAUNIAH


Munculnya virus Flu Babi (H1N1)sempat memunculkan anekdot baru , bahwa selain partai-partai yang dapat berkualisi, viruspun melakukan "kualisi" untuk membentuk kekuatan baru yang serangannya (baca : virulensinya) sangat dahsyat. Sehingga melahirkan Zoonosis baru, yakni penyakit hewan yang dapat menular ke manusia dan sebaliknya, yang bersifat pandemi (penyebarannya mendunia).

Sesungguhnya, masalah "koalisi" atau tepatnya rekombinan berbagai materi genetik bukan merupakan hal baru dalam rekayasa genetik (Genetical Enginering)yang telah diterapkan dalam Bioteknologi modern. Oleh karenanya kita juga harus bersiap-siap untuk menerima berbagai kejutan jika alam akan melahirkan berbagai "Rekombinan" melalui "Bioteknology Alaminya". , boleh jadi umat manusia di dunia ini menjadi "bertambah Shock" dengan hasil "Bioteknology Alami" yang lebih cepat ke depan dibanding hasil bioteknology ultramodern sekalipun.

Mungkin gambaran ayat kauliah (ayat terucapkan - pen)dalam al Qur-an surat al zalzalah berikut bisa kita renungkan : Apabila bumi diguncangkan dengan dahsyat, dan bumi mengeluarkan kandungannya, dan manusia bertanya mengapa jadi begini ? Pada hari itu bumi menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Tuhanmu telah mewahyukan yang demikian kepadanya.

Bumi telah memuntahkan isinya di Lapindo dan tempat-tempat lain, bumi guncang sejak Tsunami, Gempa Yogya, dan goncangan-goncangan lain yang hampir tidak ada hentinya. Sungguh makna-makna yang tersurat dari ayat kauliah di atas telah dipaparkan melalui ayat Kauniah. Secara tersirat, kegoncangan-kegoncangan kehidupan manusia di muka bumi ini juga semakin nyata, krisis global, AIDS yang tak kunjung mereda, sudah disusul SARS, Flu Burung dan Flu Babi. Belum lagi Global Warming, dan Black Hole yang semakin menganga.

Tidakkah mendorong hati kita untuk bertanya, Maa Lahaa ? ada apa ini ?

Zoonosis baru, krisis global, dan berbagai fenomena alam adalah ayat-ayat kauniyah yang sudah barang tentu sangat sarat Hikmah. Tinggal pilihan kita, akankah kita melanjutkan melangkah di bumi ini berbekal hikmah yang kita terima, ataukah dengan langkah pongah, tetap bersujud pada syahwat duniawiah dan karakter syaithoniah ?

Robbanaa maa kholaqta hadzaa baathilaa, subhanaka fakinaa adzaabannar
Yaa Tuhan kami, Engkau TIDAK Ciptakan ini semua dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka jauhkan kami dari siksaan Neraka

Senin, 04 Mei 2009

KOALISI ANTI HATI DAN ANTI FIKRI


Pengerucutan koalisi menjelang pemilihan presiden mendatang semakin menampilkan dua sisi koalisi yang sama-sama memprihatinkan. Di suatu sisi koalisi menampilkan koalisi Antihati, di sisi lain muncul koalisi Antifikri, anti logika sehat.

Koalisi antihati muncul dengan adanya partrai –partai, yang dengan posisinya, memilih pendamping calon wakil presidennya dari kalangan mantan militer yang diduga berlumuran darah tangannya dari kasus semanggi dan kasus penculikan-penculikan aktivis menjelang reformasi. Koalisi ini juga mempertegas kegamangan terhadap supremasi sipil , karena partai-partai yang membentuk koalisi ini justru memback up dirinya dengan mantan militer yang diduga menumpahkan darah anak-anak negeri untuk melanggengkan status quo di massa lalu. Koalisi ini sungguh melukai hati keluarga para korban dan anak-anak negeri yang mencintai demokrasi.

Sementara itu, birahi kekuasaan telah mematikan fikiran sehat bangsa ini dengan tidak malu-malu melacurkan diri atas ucapannya, tindakannya, dan kritiknya terhadap status quo saat ini yang justru dinilai gagal mengemban amanah rakyat. Dimanapun juga, rezim yang gagal tentu harus diganti agar kehidupan rakyat menuju perbaikan bias diupayakan.

Sungguh sangat ironi, kritik, koreksi, bahkan kecaman yang selama ini dijadikan alat untuk meraup suara rakyat pada pemilu Legislatif atas kegagalan status quo, justru saat ini berubah menjadi dukungan hanya karena mengaharap pembagian jabatan-jabatan. Logika mana yang bisa menerima alasan atas tindakan ini.

Kita memahami, politik ujung-ujungnya adalah kekuasaan, namun kekuasaan yang dibangun dengan mematikan hati dan mengamputasi logika sehat bisakah kita harapkan kemanfaatannya bagi bangsa ?

Wahai mahasiswa, pelajar, pemuda dan siapa saja yang masih menginginkan negeri ini hidup dengan hati dan berdegup dengan fikiran sehat, Orde reformasi telah menghianati kita, bersatulah, rancang perubahan dan bekerjalah bersama rakyat untuk perbaikan negeri ini.

Mungkin bukan saat ini, kita perlu bersabar 5 tahun mendatang. Biarlah sejarah mencatat partai-partai mana yang lacut dalam ujian, dan partai-partai mana yang bertahan untuk mengawal demokrasi, meski tidak menjadi bagian dari Rezim Antihati atau Antifikri.