MISI

***************** A MAN WHO WANT TO CREATE AN EDEN IN THE WORLD *****************

Rabu, 23 Maret 2016

SURAT UNTUK PEMIMPIN MASA DEPAN

Sudah barang tentu, generasi yang berbeda, yang hidup di masa yang berbeda akan menghadapi realitas dan tantangan yang berbeda pula. Namun demikian, jika Indonesia rtetap ingin disebut sebagai negara kesatuan republik Indonesia, maka dasar, arah, tujuan, cita-citanya tidak boleh bergeser dari cita-cita proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 yang dituangkan dalam mukadimah konstitus dasar RI, UUD 1945. Cara mengatasi tantangan mungkin berbeda denga tantangan yang ada, tetapi dasar, tujuan mengatasi masklah itu tetaplah sama, mewujudkan tujuan nasional Indonesia.
Satu bagian yang disampaikan oleh Ram Charan dalam "Surat Untuk Pemimpin Masa Depan" sebagai bagian dari bukunya "Know How" (Charan 20017) layak untuk kita camkan. Dalam surat itu Charan menulis :
"Anda tidak akan menemukan dua situasi yang persis sama. Anda harus secara sadar mencari perbedaan yang ada pada setiap situasi baru. Usahakanlah untuk mengetahui apa yang sama, apa yang kali ini berbeda, dan menapa. lalu, bila anda membuat penilaian cobalah mengetahui variabel kunci atau faktor yang lebih membebani fikiran anda, yang membuat anda ragu. Kemudia setelah melihat hasil keputusan Anda, renungkanlah apakah Anda telah memilih keputusan yang benar, kesimpulan apa yang Anda buartb ? Mengapa Anda membuat kesimpulan tersebut ? Apakah sumber informasi yang anda pergunakan, dan apa catatan prestasi sumber ini /"
Dalam berbagai sirtuasi baru, fikiran bawah sadar membandingkan hal-hal yang cocok dan tidak cocok dengan pengalaman sebelumnya sehingga terjadi pembaharuan model mental. Jika suara hati diperhatikan, maka akan timbul kesadaran penyesuaan model mental, kecil kemungkinan terjadi pengulangan kesalahan yang sama, sehingga dapat mengubah praktek serta pengalaman menjadi pembelajaran sejati. Kuncinya adalah melalui penggabungan antara pengalaman dengan refleksi diri yang jujur.
Jujur padsa diri akan tanggung jawabnya sebagai pemimpin yang mengemban amanah penderitaan rakyat, yang memiliki tugas suci mengayuh biduk perjalanan banga menuju dermaga impian Indonesia Jaya, akan memberi kepastian bagimpemimpin Indonesia mengambil keputusan-keputusan yang tepat bagi kepentingan nasional, bagaimanapun besarnya tantangan, termasuk tantangan/godaan mengambil keuntungan bagi dirinya dan atau kelompoknya. Meski dalam kontek kepemimpinan bisnis, prasarat Ram Charan tentang 8 (delapan) keterampilan yang menjadi ciri pemimpin sukses sangat menarik untuk diketengahkan disini. Sudah barang tentru denyan adaptasi konteknya. delapan Keterampilan yang menjadi ciri pemimpin sukses adalah:
1. Posituioning dan reposirtioning Mencari ide sentral untuk menjadikan Indoneisa dibutuhkan masyarakat dunia dengan berbagai hal yang menguntungkan bangsa demi kejayaan Indonesia. 2. Mengidentifikasi Perubahan External Mendeteksi pola-pola di dunia yang rumit untuk menempatkan Indonesia dalam peran aktif yang positif dalam percaturan international
3. Memimpin Sistem Sosial Menyatukan komponen bangsa yang tepat, dengan perilaku yang tepat dan informasi yabng tepat untuk memberi kepurtusan yang lebih baik dan lebih cermat untuk mencapai kemajuan bangsa. 4. Menilai orang Mengukur potensi SDM Bangsa berdasarkan tindakan, keputusan dan perilakunya, serta menyelaraskannya dengan hal-hal yang mutlak diperlukan dalam program aksi.
5. Membentuk team Terampil menyusun dan memadukan secara positif SDM pilihan untuk bekerja sama tanpa hambatan untuk melaksanakan program pembanguna secara sinergys. 6. Menetapkan tujuan Menentukan seperangkat tujuan yang mengembangkan potensi bangsa dengan apa yang dapat diraih secara realistis sesuai dengan tujuan nasional konstitusional.
7. Menetapkan prioritas Mendefinisikan jalur yang akan ditempuh dan menyatukan sumber daya, tindakan derta energi ke arah yang diamanatkan oelh proklamasi RI. 8. Menghadapi Tantangan Eksternal Mengantisipasi dan mengatasi tentangan eksternal yang dapat mengganggu/menghambat laju biduk pembangunan bangsa menuju dermaga Impian dalam segala bentuiknya.
Kesadaran bela negara aperlu dikembangkan tidak sebatas pada bela negara dalam kontek fisik belaka, namun bela negara dalam segala asspek kehidupan berbangsa. Itulah hal-hal yang perlu dipahami oleh generasi muda Indonesia sebagai calon pemimpin masa depan Indonesia. Intinya, pupuklah diri menjadi Indonesia yang sejatinya. Indonesia benar-benar maujud dalam tekad, perilaku, tindakan dan cita-cita generasi muda. dari situlah generasi muda itu layak mendapat trust sebagai pemimpin bangsa.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/darwonogurukita/pemimpin-masa-depan-ber-sni_56f21fdff292733a05251082

Selasa, 22 Maret 2016

DICARI PEMIMPIN BER-SNI (STANDAR NASIONAL INDONESIA)

John Gardner, seorang penulis menyatakan " Sebagian organisasi yang mengalami masalah telah mengembangkan kebutaan fungsional terhadap kelemahan mereka sendiri. Mereka mengalami kesulitan bukan karena mereka tidak bisa memcaahkan masalah, tetapi kerena mereka tidak bisa masalah mereka'
Negara Republik Indonesia, sebagai organisasi puncak dari seluruh masyarakat Indonesia sedang mengalami apa yang Gardner utarakan. Bangsa ini tidak melihat bahwa masalah terbesar dari bangsa ini adalah masalah kepemimpinan, krisis kepemimpinan dengan segala aspeknya. Hingga Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan mempertanyakan kenapa ini terjadi. Kok orang maunya ke Ahok?". Perilaku Ahok dalam memimpin, jika dilihat dari pendidikan karakter sangat membahayakan karena dapat ditiru oleh anak-anak (proses imitasi).
Pada edisi lalu, dinyatakan bahwa telah terjadi ironisme yang tragis, terkait kepemimpinan di Indonesia. Dimana kepemimpinan yang telah mengakar dengan nilai local wisdom yang saat ini diterapkan pada tingkat global, justru di dalam negeri terjadi sebaliknya. Kepemimpinan yang muncul mengalami set back, pada konsep dan praktek kepemimpinan abad pertengahan, era revolusi Industri yang dilandasi oleh paradigma pribadi yang terpecah-pecah yang terus berkutat pada pola pikir dan terus memiliki struktur dimana orang-orang di puncak membuat semua keputusan penting dan orang-orang lainnya sekedar "memutar obeng".
Kali ini penuis mencoba mengkaitkan "Standar Nasional Indonesia", SNI tentang kepemimpinan dengan konsep kepemimpinan saat ini dikembangkan dan menjadi trend global, sebagai konsekuensi bergesernya, terjadinya perubahan karakteristik masyarakat global yang kian cerdas, yang mewujud dalam struk masyarakat pengetahuan.
Seperti telah disampaikan pada edisi sebelumnya, bahwa Indikator "Standar Nasional Indonesia" tentang kepemimpinan dirumuskan dalam 3 kalimat : "Ing ngarso sung tulada", Ing Madya mangun karsa" dan "tut wuri handayani". Sejalan dengan konsep kepemimpinan "dari efktif menuju keagungan" dalam 4 hal yaitu, 1. Penjadi Panutan; 2. menjadi Perintis; 3. Menjadi penyelaras; dan 4. Menjadi Pemberdaya (Covey, 8th Habit, 2008, h. 406).
Pertama, "Ing Ngarso Sung Tuloda", dalam konsep global di rumskan dalam dua peran, yakni Menjadi panutan dan menjadi perintis jalan. Menjadi panutan mengilhami timbulnya kepercayaan (trust) tanpa memintanya. Kepercayaan akana muncul ketika kita memang layak dipercaya. Menjadi Panutan menghasilkan kewibawaan moral pribadi. Sedang menjadi perintis jalan, adalah menciptakan keteraturan tan memaksakannya. Hal ini terjadi jika orang mengaitkan identitas mereka dan terlibat dalam pembuatan keputusan-keputusan strategis, khusunya mengenai nilai-nilai yang dipegang serta tujuan-tujuan prioritas tertinggi, mereka akan mengalami keterkaitan emosional.
Memahami dan berkomitmen pada Identitas, Nilai dan tujuan tujuan tertinggi dari suatu masyarakat adalah mutlak bagi seorang pemimpin untuk menjadi Teladan dan perintis. Identitas bangsa Indonesia dengan nilai budayanya yang adiluhung, Nilai-nilai pandangan hidup, way of life dan falsafah hidup bangsa yang berpancasila dan berbineka, serta berkomitmen pada mewujudkan tujuan proklamaasi bangsa Indonesia, adalah hal yang tidak dapat ditawar-tawar jika ingin mendapatkan trust, kepercayaan dan menjadi teladan dan perintis sebagai peran "ing ngarso sung tulada" bagi bangsa Indonesia.
Ke dua, "Ing madya Mangun karsa", membangun harapan dilakukan dengan jalan menyelaraskan struktur, sistem dan proses merupakan perwujudan dari upaya untuk melestarikan NKRI dan semangat kepercayaan, Visi bangsa dan pemberdayaan. Pemimpin nasional harus mampu membangun struktur, sistem dan mekanisme kenegaraan dan pemerintahan serta mekanisme dalam kelembagaan negara/pemerintah juga hubungan antar alembaga, yang sesuai amanah konstitusi. Semua yang dilakukan oleh pemimpin harus menyelaraskan dengan berbagai aspek komponen bangsa. Menyelaraskan menghasilkan kewibawaan moral yang dilembagakan, yang pada ahairnya mendorong semua komponen bangsan termotivasi, berkarsa untuk berkarya, berkonstribusi dengan potensi terbaiknya.
Ke tiga, "Tut wuri handayani", yang kita kenal juga sebagai Moto Pendidikan kita, sesungguhnya mengandung makna pemberdayaan. Sebagaiman Pendidikan yang pada dasarnya adalam meberdayakan peserta didik sehingga mampu mengambil keputusan dalam setiap langkah hidupnya, Peran ke empat kepemimpinan dalam paradigma "dari Efektifitas menuju keagungan" ini adalah pemberdayaan. Pada hakekatnya memberdayakan adalah buah dari ketiga peran yang lain, menajadi panutan, merintis jalan, dan menyelaraskan. Peran ini dapat membebaskan potensi manusia tanpa memerlukan motivasi eksternal. Pemimpin bangsa yang dapat menjadi teladan dan membangun Karsa, pada ahirnya menghasilkan masyarakat yang penuh daya, powerfull. sebaliknya jika sampai kini masyarakat "tak berdaya", penuh ketergantungan maka dimanakah peran Keteladanan dan membangun Karsa dari pemimpin selama ini ?
Inilah sesungguhnya masalah besar bangsa Indonesia, dan sudah barang tentu, seharusnya kita tidak mengulangi kesalahan yang telah terjadi. Oleh karenanya, setiap komponen bangsa harus memiliki tekad bersama, komitmen berbangsa untuk memilih Pemimpin yang berstandar Nasional Indonesia, artinya, pemimpin yang sesuai dengan identitas, nilai, dan komitmen pada tujuan proklamasi kemerdekaan RI.
Penulis yakin Kita bisa !

Senin, 21 Maret 2016

PEMIMPIN BER- SNI (STANDAR NASIONAL INDONESIA)

Diskursus tentang kepemimpinan atau pemimpin selalu menarik apalagi menjelang moment-moment pemilihan pemimpin dalam berbagai levelnya, termasuk Pemilihan Kepala daerah (Pilkada) maupun Pemilihan Umum (Pemilu). Untuk Propinsi DKI, Pilkada DKI waktunya berselang tidak terlalu lama dengan Pemilu, oleh karena itu ada sebagian pihak yang memanfaatkan Pilkada DKI sebagai batu loncatan untuk meraih kursi kepresidenan pada pemilu 2019 yang merupakan "edisi perdana" pemilihan umum serentak (Pileg dan Pilpres) berjalan bebarengan. Mungkin dalam diri pihak tertentu itu memandang pemilu tidak ubahnya dengan sebuah pertandingan, yang memerlukan "uji coba".
Meski semua orang adalah pemimpin, tetapi tidak semua pemimpin dapat diterima semua orang, bahkan tidak semua yang diblow up sebagai pemimpin memiliki jiwa kepemimpinan. Pemimpin sejati, tentu memiliki kriteria-kriteria tersendiri, yang ideal. Sederhanyana, seorang pemimpin adalah pribadi ideal, Pribadi Insan Kamil, manusia sempurna dengan kemanusiaannya. Pribadi yang utuh jiwa raga, unggul lahir batin, tidak boleh cacat inyelektual maupun moral, paripurna nilai keahlian dan juga nilai kesopanan. Kita bisa melihat, di negara Amerika Serikat yang sangat liberal dengan budaya sex bebasnya, tetap saja Presidennya tidak boleh menjadi lelaki peselingkuh, tidak boleh "ngesex" bebas, kita bisa melhat pada kasus "Bill Clinton" gate.
Tentang jiwa atau semangat kepemimpinan, ada baiakanya kita perhatikan ungkapan Jenderal Joshua Lawrence Chamberlain sebagai berikut " "Inspirasi sebuah tujuan mulia yang melibatkan banyak orang memungkinkan seseorang untuk melakukan hal-hal yang yang tidak mereka impikan bisa mereka lakukan sebelumnay, dan tidak bisa mereka lakukan sendiri. Kesadaran akan kebersamaan, secara fital, dengan sesuatu yang lebih besar dari pada individualitas, daan kesadaran bahwa kita merupakan bagian dari sebuah kepribadian yang jangkauannya dalam dimensi waktu dan tempat sama sekali tidak kita ketahui, akan memperbesar hati kita hingga mencapai batas ideal jiwa, dan membangun karakter yang tinggi" (Covey, The 8 Habit, 2008)
Esensi dari apa yang dikatakan Chamberlain sesungguhnya tidaklah asing bagi bangsa kita, Bangsa Indonesia. yakni Jiwa Gotong Royong. Sebuah jiwa kebersamaan yang telah tumbuh dan hidup di tengah masyarakat Indonesia, yang dibuktian dengan karya-karya Agung bangsa yang melampaui batas-batas zamannya. Candi Borobudur, Kapal Phinishi, Resep=resep tradisional dan lain lain serta kemerdekaan Republik Indonesia adalah beberapa contoh yang dapat penulis ketengahkan disini.
Jiwa gotong royong telah menjadi Standar Nasional Indonesia dalam hal kepemimpinan, untuk membangun masyarakat yang damai sejahtera, adil makmur, gemah ripah lohjinawi tata tentrem karta raharja, atau dalam bahasa agama mayoritas masyarakat nusantara diistilahkan untuk mewujudkan baldatun thoyyibaatun wa robbun ghofur. Jiwa kebersamaan pemimpin yang selalu terkait dengan masyarakatnya dirumuskan dalam 3 (tiga) Indikator, yakni "Ing ngarso sung tulodo, Ing madya mangun karso, tut wuri handayani".
Untuk dapat melibatkan dan menumbuhkan spirit gotong royong dan dapata melibatkan semua potensi yang ada, yang dikatakan Chamberlain dapat menghasilkan hal-hal yang tidak diimpikan sebelumnya, dan terus dapat menginspirasi masyarakat atau yang dipimpinnya, maka seorang pemimpin harus berkarakter sebagai Satria (baca Satrio), yakni "kudu anteng jatmika ing budi", Ruruh sarta wasis, samubarangipun", harus tenang, berbudi pekerti halus, dan waspada". karena dia sadar, bahwa semua tindak-tanduknya akan menjadi "panutan" bagi masyarakatnya, dan dia juga sadar, bahwa sebagai pemimpin harus menjaaga nilai-nilai luhur yang hidup dalam masyarakatnya.
Timbul kesadaran di tingakat global saat ini, bahwa model-model keemimpinan abad pertengahan, era refolusi industri yang penuh kontrol seperti mandor sudah sangat tidak tepat diterapkan untuk memimpin masyarakat yang semakain sadar akan nilai-nilai kebersamaan. Pada tingkat organisasi/perusahanpun, managemen era industri sudah semakin ditinggalkan dan digantikan dengan memimpin dengan hati. Ironisnya, bangsa Indonesia yang telah memiliki nilai-niai kepemimpinan yang sekarang diterapkan luas itu, justru terjebak dan lebih memilih kepemimpinan Era Industrialisasi yang bergaya mandor, intruksional, korek kesalahan dan hukum.
Sungguh sangat tragis, jika nilai-nilai ideal, kepemimpinan berstandar nasional di lupakan, kita dihadapkan pada pilihan yang dua-duanya tidak memiliki nilai ideal, "pilih yang sopan santun tapi korupsi, apa kasar tetapi tidak korupsi" dua-duanya harusnya tidak dipilih. Untuk perbaikan ke depan, kita harus memilih yang totalitas baik, Anteng, jatmiko ing budi dan Ruruh sarto wasis samubarangipun", penulis sangat yakin Ibu Pertiwi banyak melahirkan putra-putra yang berkarakter satria. Meminjam isi dari "meme" yang menggambarkan seorang figur memakan bakso babi dengan disertai tulisan "Kalau ada yang halal kenapa pilih yang haram", sebagai penutup tulisan ini penulis sampaikan "kalau ada para satria, kenapa memilih para cakil ?", "Kalau ada para Pandawa, kenapa memilih Kurawa ?".
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/darwonogurukita/pemimpin-ber-sni_56f03e78709773370c4e71bb

Rabu, 16 Maret 2016

GUBERNUR JAKARTA DAN SPIRIT HJIHAD FI SABILILLAH

Sebentar lagi Jakarta akan memilih pemimpin (gubernur) untuk melanjutkan pembangunan Jakarta untuk mewujudkan kota ini menjadi kota kemenangan sebagaimana doa yang termaktub pada nama “Jaya Karta”. Kemenangan sejati, Fathan Mubina, mengganti nama lama Sunda Kalapa pada 22 Juni 1527 Raden Fatahillah sendiri adalah seorang Panglima Pasai, bernama Fadhlulah Khan, orang Portugis melafalkannya sebagai Falthehan. Ketika Pasai dan Malaka direbut Portugis, ia hijrah ke tanah Jawa untuk memperkuat armada kesultanan-kesultanan Islam di Jawa (Demak, Cirebon dan Banten) setelah gugurnya Raden Abdul Qadir bin Yunus (Pati Unus, menantu Raden Patah Sultan Demak pertama).
Sementara itu, menurut Saleh Danasasmita sejarawan Sunda yang menulis sejarah Pajajaran dalam bab Surawisesa, Fadhlullah Khan masih berkerabat dengan Walisongo karena kakek buyutnya Zainal Alam Barakat adalah adik dari Nurul Alam Amin (kakek Sunan Gunung Jati) dan kakak dari Ibrahim Zainal Akbar (ayah Sunan Ampel) yang semuanya adalah putra-putra Syekh Maulana Akbar dari Gujarat,India.
Dalam sejarah Islam, tidak ada “jihad” yang berlandaskan pada upaya penaklukan untuk ekspansi, ataupun memperluas kekuasaan. Jihad dalam islam ditegakkan dalam upaya menegakkan Amar Ma’ruf nahi munkar, oleh karenanya, Jihad yang dilakukan oleh Raden Fatahillah beserta pasukannya terhadap Sunda Kalapa tidak mungkin dilakukan tanpa alasan syar’i, mengingat Sunda Kalapa saat itu memang dikuasai oleh Portugis. Gaya hidup tentara-tentara portugis, maupun upaya “kafirisasi” yang dilakukan berbarenag dengan spirit “Gold, Glory and Gospel” oleh bangsa Eropa sangat memungkinkan raden fatahilah dari Cirebon hijrah ke Jakarta untuk berjihad membebaskan saudaranya di Sunda kalapa dari cengkeraman kedzaliman, kebengisan dan kekejaman dan kafirisasi kolonialisme Portugis.
Apalagi dakwah Islam di Jawa yang dilakukan oleh Wali Songo yang lebih menekankan pendekatan budaya, sangat menguatkan jika Raden Fatahillah melakukan hijrah dan Jihad di Jakarta dengan alasan syar’i. Pemilihan nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta, menunjukan bahwa Raden Fatahillah menggunakan cara-cara Wali Songo dalam menggunakan simbol-simbol atau memilih terminologi yang akrab dengan pansyarakatnya. Ini dapat dipahami mengingat para dai senantiasa berpegang pada tuntunan rasulullah untuk “Qul bi Uquulihim”, menyampaikan misi rahmatan lil a’lamin sesuai umat dakwah yang di hadapi. Ini dapat dipahami ketika kita membaca Ler Iler dan blimbing yang disampaikan oleh Sunan ampel dan tidak menggunakan simbol wathiini waz zaitun. Makanya menjadi membumi ketikla kemenangan nyata yang diraih oleh Raden Fatahilah atas jihad melawan kedzaliman Portugis di Sunda Kalapa tidak diungkapkan dengan nama Fathun Mubina, tetapi Jayakarta.
Nama Jaya karta yang berarti kota kemenangan, tidak saja mengandung makna sekedar prasasti kemenangan Jihad raden Fatahillah, namun nam itu juga bermakna doa, harapan dari para mujahid itu agar kota di teluk jakarta itu menjadi Qoryah Thoyyibah, kota yang penuh kemenangan, kota penuh kesuksesan, kesuksesan lahir bathin, dunia akhirt, kota penuh berkah. Itulah idealisme dan doa penamaan Jaya karta, bagi kaum muslimin tentu mahfum, bahwa nama adalah doa, nama anak adalah doa dari orang tua untuk anaknya, nama kota adalah doa dari pendiri kota itu. Jaya karta adalah doa dari Raden fatahillah yang diamini oleh para mujahid yang menggempur Portugis.
Idealisme sebuah kota yang jaya (jayakarta) bagi Raden Fatahillah beserta mujahidnya hingga harus berperang melawan portugis tentu saja terkait dengan apa yang dipahaminya tentang kota penuh berkah dalam al Quran : “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Qs. Al-A’raf: 96) Panduduk negeri (kota) tentu termasuk rakyat dan pemimpinnya.
Rakyat dan pemimpin tidak boleh mendustakan ayat-ayat Allah SWT termasuk ayat di dalam memilih pemimpin itu sendiri seperti digariskan Al Qur’an: Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah. Membangun Jakarta menjadi Jayakarta, kota kemenangan dunia ahirat, atau kota penuh gemerlap duniawi saja adalah pilihan masyarakat Jakarta sendiri sebagaimana dinyatakan al Quran, Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga kaum itu sendiri yang mau mengubahnya (QS. 13 : 11).
Oleh karena itu adalah hak warga jakarta sendiri untuk membangun kota jakarta menjadi kota yang penuh berkah atau kota penuh serakah, terus berkutat dalam kemewahan duniawai belaka. Sudah barang tentu hal itu juga terkait dengan komitmen warja Jakarta sendiri dalam memilih gubernurnya. Namun jika ingin membangun Jakarta di atas akar sejarahnya, maka mau tidak mau kita perlu memperhatikan nilai-nilai perjuangan yang telah ditunjukan oleh pendiri kota jayakarta ini, Raden Fatahillah dan para mujahidnya !
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/darwonogurukita/jakarta-raden-fatahilah-dan-spirit-jihad-fisabilillah_56e8eab9c423bd012ebcf700

Selasa, 15 Maret 2016

GUBERNUR DKI UNTUK JAYA RAYA

Kota Jakarta, lazimnya dianggap sebagai kependekan dari kata Jayakarta. Nama Jayakarya diberikan oleh orang-orang Demak dan Cirebon dibawah pimpinan Fatahillah, setelah merebut pelabuhan Sunda Kelapa dari Kerajaan Sunda pada tanggal 22 juni 1527. Nama ini biasanya diterjemahkan sebagai kota kemenangan atau kota kejayaan, namun sejatinya artinya ialah "kemenangan yang diraih oleh sebuah perbuataan atau usaha" dari bahasa Sansekerta Jayakarta.
Jayakarta berkembang menjadi daerah dengan kebudayaannya yang disebut budaya mestizo, atau sebuah campuran budaya dari beragam etnis. Sejak zaman Belanda, Jakarta merupakan ibu kota Hindia Belanda yang menarik pendatang dari seluruh Nusantara. Suku-suku yang mendiami Jakarta antara lain, Jawa, Sunda, Minang, Batak, dan Bugis. Selain dari penduduk Nusantara, budaya Jakarta juga banyak menyerap dari budaya luar, seperti budaya Arab, Tiongkok, India, dan Portugal.
Dalam kenyataannya, buda ya yang hidup di jakarta yang terwujud dalam siklus hidup ratau lingkaran hidup individu atau daur hidup, orang betawi mengenal bermacam-macam upacara adat, mulai sejak bayi dalam kandungan sampai kepada kematian dan sesudah kematian itu sendiri seperti misalnya : selamatan nuju bulanin atau kekeba, upacara kerik tangan dalam rangka kelahiran, khitanan (pengantin sunat), khatam Qur’an (pengantin tamat), adat berpacaran bagi kaum remaja (ngelancong), upacara perkawinan dan lain sebagainya. Budaya ini sampai sekarang masih terus hidup, dan sudah selayaknya dilestarikan sebagai identitas Jakarta.
Membangun Jakarta kota berbudaya pada dasarnya adalah membangun masyarakat berbudaya. Manusia disebut makhluk yang berbudaya, jika ia mampu hidup dalam atau sesuai budayanya. Sebagian makhluk berbudaya, bukan saja bermakna mempertahankan nilai-nilai budaya masa lalu atau warisan nenek moyangnya; melainkan termasuk mengembangkan (hasil-hasil) kebudayaan. Di samping kerangka besar kebudayaan, manusia pada komunitasnya, dalam interaksinya mempunyai norma, nilai, serta kebiasaan turun temurun yang disebut tradisi. Tradisi biasanya dipertahankan apa adanya; namun kadangkala mengalami sedikit modifikasi akibat pengaruh luar ke dalam komunitas yang menjalankan tradisi tersebut.
Agar tidak tercerabut dari akar budaya, maka pengembangan budaya harus berakar dari budaya yang telah dikembangkan selama ini, termasuk filosofi yang berkembang di masyarakat yang tergambarkan dalam simbul kota Jakarta, dalam hal ini adalah filosofi Jakarta yang terkandung dalam simbul Jaya raya. Jaya raya sendiri adalah satu sloka yang menggelorakan semangat segala kegiatan-kegiatan Jakarta Raya sebagai lbu-kota dan kota perjoangan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan keseluruhan lambang Jaya raya ini pula berada dalam kesatuan yang seimbang pada bentuk perisai segi-lima yang bergaris tebal emas, sebagai pernyataan permuliaan terhadap dasar falsafah negara “Pancasila”
Secara rinci, lambang Daerah Khusus lbukota Jakarta Raya melukiskan pengertian-pengertian sebagai berikut : 1. Jakarta sebagai kota revolusi dan kota proklamasi kemerdekaan Indonesia : 2. Jakarta sebagai lbu-Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengertian kota dilambangkan dengan gerbang (terbuka). Kekhususan kota Jakarta sebagai kota revolusi dan kota proklamasi dilambangkan dengan 'Tugu Nasional" yang melambangkan kemegahan dan daya juang dan cipta Bangsa dan rakyat Indonesia yang tak kunjung padam.
“Tugu Nasional” ini dilingkari oleh untaian padi dan kapas, dimana pada permulaan tangkai-tangkainya melingkar sebuah tali berwarna emas, yakni lambang cita-cita daripada perjuangan Bangsa Indonesia yang bertujuan suatu masyarakat adil dan makmur dalam persatuan yang kokoh erat. Dibagian bawah terlukis ombak-ombak laut yang melambangkan suatu ciri khusus dari Kota dan negeri kepulauan Indonesia. Keseluruhan ini dilukiskan atas dasar wama biru, wama angkasa luar yang membayangkan cinta kebebasan dan cinta darnai bangsa Indonesia. Dan keseluruhan ini pula berada dalam gerbang, dan pada pintu gerbang itu terteralah dengan kemegahan yang sederhana sloka "Jaya Raya' satu sloka yang menggelorakan semangat segala kegiatan-kegiatan Jakarta Raya sebagai lbu-kota dan kota perjoangan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan filosofi kota jakarta yang ada pada lambang jaya raya, yang sudah pasti harus dipahami oleh para pemimpin Jakarta dan diejawantahkan dalam aktivitas kepemimpinannya. Di samping itu, filosofi itu juga mengandung pesan profil kepemimpinan Jakarta. Dalam pemahaman penulis beberapa syarat pemimpin Jakarta yang sesuai filosofi Jaya raya diantaranya adalah :
1. Komitmen terhadap nilai-nilai Panca Sila, komitmen pada nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan sosial. 2. Memiliki spirit keperjuangan, keterbukaan dan cinta damai. Pemimpin Jakarta selain mengedepankan jiwa keperjuangan bukan meraih keuntungan pribadi, namun dalam kepemimpinannya juga mengedepankan jiwa damai, bukan menebar permusuhan dan kontradiksi/pertentangan dengan sikap atau gaya kepemimpinannya. 3. Memahami dan memiliki komitmen dalam pengembangan budaya Jakarta yang didasari siklus hidup masyarakat Jakarta. Sehingga Pemimpin tidak asing dengan masyarakatnya. Apalagi dalam siklus kehidupan masyarakat seorang pemimpin sangat diharapkan perannya, bahkan sering dimintai memimpin cara tersebut.
Sebagai warga Jakarta yang mengharapkan Jakarta berkembang sesuai jati diri Jayakarta yang tertuang dalam Jaya raya, saya berharap bisa menemukan Cagub dan cawagub yang memiliki paling tidak tiga kriteria di atas. Jayalah jakarta !
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/darwonogurukita/gubernur-dki-yang-dibutuhkan-jaya-raya_56e7a9600d9773300cf7334c

Kamis, 10 Maret 2016

AHOK LAYAK PIMPIN TEMAN AHOK

Pilihan Ahok untuk maju sebagai cagub melalui jalur Independen tentu sudah dipertimbangkan matang-matang. Meskipun Ahok menyatakan dirinya berada diujung tanduk, namun kelihatannya pilihan itu sudah dipersiapkan sejak lama hal ini terlihat dari berbagai manuver yang dilakukan Ahok terutama berbagai kegiatan yang bernilai “kampanaye” terselubung yang melibatkan pemilih pemula terutama para pelajar SLTA Kelas 12 (dulu kelas 3) yang dipanggil ke Balai Kota DKI secara bergantian beberapa waktu lalu.
Penggarapan pemilih pemula ini dilakukan oleh kelompok yang menamakan dirinya Teman Ahok. Jika dilihat dari profil pendirinya yang sekaligus dijadikan ujung tombak dalam berbagai kesempatan, rasanya tidak yakin Perkumpulan teman Ahok itu murni digerakkan oleh mereka yang secara explisit ditampilkan dalam websoite Temanahok dot Com. Hal ini nampak sekali dari jumlah dana yang hampir menyentuh angka stu millayar saat ini, karena pada bulan Juni 2015 yang lalu saja sudah melewati angka tujuh ratus juta rupiah (baca tulisan kami Siapa teman Ahok di kompasiana beberapa waktu lalu).
Strategi untuk merekrut pemilih pemula dengan ujung tombak Perkumpulan teman Ahok nampak sekali dari bahasa ABG yang digunakan dalam kampanye prematur mereka. Ini tentu saja digunakan agar penggarapan pemilih pemula yang telah dilakukan di Balai Kota tidak sia-sia, dengan kata lain sebanarnya Ahok juga melakukan follow up atas acara-acara yang melibatkan pelajar tanpa sepengetahuan suku dinas pendidikan kota se DKI Jakarta. Meski dengan tajuk acara “Pemberantasan Korupsi” namun bisa dibilang bahwa simpulan dari para peserta adalah, “perlu figur pengalaman dalam memberantas korupsi”, maka jangan salah piilih pemimpin. Meski tidak dieksplisitkan “pilihlah saya”, namun karena pembicara resminya tunggal khusus dengan Ahok, maka mau tidak mau, terjadi pembentukan opini, penyamaan persepsi bahwa figur seperti Ahok lah yang dibutuhkan.
Beberapa kali acara dialog khusus dengan Ahok dari berbagai sekolah sudah barang tentu menimbulkan gaung di kalangan pemilih pemula yang cenderung sebagai “floating mass”, dan kurang memahami idealisme dan perjuangan politik . Penggunaan pendekatan “ngepop” adalah strategy yang akan terus digunakan oleh pihak Ahok, untuk meraih dukungan pemilih pemula dan pemilih muda yang kurang memahami prinsip-prinsip kepemimpinan. Oleh karenanya, sangat nampak sekali, upaya kampanye pencerabutan kepemimpinan dari nilai-nilai religius yang dilakukan melalui publikasi teman Ahok.
Selain Ahok membidik pemilih pemula yang cenderung pragmartis, dalam artian tidak mengkaitkan kepemimpinan dengan nilai-nilai religius, cara ini juga dilakukan bagi floating mass yang tidak memegang nilai-nilai religius, terutama kalangan sekuler yang memisahkan kehidupan politik dari bilai-nilai agamis juga nilai-nilai ideal bangsa yang berketuhanan yang maha Esa dan berbudaya. Apologis terhadap sikap-sikap Ahok adalah indikasinya, hal ini juga banyak digunakan dalam publikasi yang digunakan oleh pendukung Ahok.
Dalam kontek budaya bangsa, apologis terhadap cara-cara Ahok dalam praktek kepemimpinannya yang cenderung mengabaikan “unggah-ungguh” , tidak sopan dan kasar (bukan tegas) di tengah bangsa Indonesia khususnya Jakarta yang santun adalah sangat berbahaya sebab lunturnya budaya dan karakter padsa suatu masyarakat akan mengancam existensi masyarakat itu sendiri. Kita memang butuh pemimpin tegas, tetapi bukan kasar. Kita butuh pemimpin elegan, bukan arogan.
Apa yang ada pada Ahok adalah typical Ahok personal bukan terkait dengan alasan – alasan primordial SARA. Karena kita bisa dengan mudah menemukan katakanlah orang China yang tetap santun demikian juga alasan daerah, Bangka Belitung, di sana juga sangat menjunjung tinggi sopan santun dan kehalusan budi. Sewaktu pertama kali ke jakarta, dan kost di daerah Grogol bersama teman-teman etnis Tionghoa dari bangka Belitung, mereka juga sangat memegang sopan santun dan etika. Dilihat dari agama, maka agama apapun mengajarkian tata moral (akhlak).
Secara pribadi, Ahok sangat tahu, dengan karakter dirinya yang seperti itu, tidak mungkin mengharap dukungan dari pemilih yang memegang nilai-nilai kepemimpinan nusantara “ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun Karsa dan Tut wuri handayani”, atau secara umum pemimpin adalah figur teladan dalam segala aspeknya, fikiran, ucapan dan tindakan bagi masyarakatnya. Oleh karenanya jalur Independen dengan strategi bidik dukungan pemilih pemula dan pemilih pragmatis adalah sebuah pilihan rasional namun gambilng.
Dikatakan rasional karena memang realitas Ahok sepereti itu, dikatakan gambling karena pilihan itu mudah dipatahkan oleh kontra strategy lawan. Jakarta memang kota megapolitan dengan berbagai budaya ngepopnya, namun masyarakat Jakarta juga sangat intelektual dan religius. Masyarakat intelektual tidak mungkin mudah diperdaya oleh pencitraan (Image development) yang dilakukan. Disamping ada yang sudah dilakukan Ahok tetapi masarakat juga bisa melihat, pilihan-pilihan garapan yang ahok lakukan. Sebagai misal, dalam upaya mengatasi banjir, Ahok memang melakukan penataan masyarakat yang terpaksa menghuni daerah aliran sungai, namun disisi lain ahok tidak melakukan penertiban bagi bangunan-bangunan mewah yang sebenarnya berdiri di daerah resapan, bahkan rumah Ahok besama keluarga berada di daerah seperti itu. Apalagi yang dilakukan Ahok saat ini sebenarnya hanya meneruskan apa yang Jokowi upayakan, bedanya Jokowi melakukan dengan santun dan pendekatan manusiawi.
Grey Area, wilayah abu-abu yang akan menjadi rebutan terutama pemilih pemula, pada kenyataannya sangat mungkin disedot oleh lawan tergantung penggarapan dengan isue-isue yang menarik. Kontra strategy bukan berarti dengan melakukan konfrontasi dengan apa yang dilakukan Ahok secara vis at vis apalagi dengan cara memojokkan dan menguya uya Ahok, namun melalui program-program yang kreatif dan menarik yang lebih bisa menggarap Rasio dan religio pemilih.
Hindari tindakan-tindakan profokatif yang menguya-uya Ahok, karena hal seperti itu justru akan menjadi bumerang, yang mungkin akan menumbuhkan simpati pemilih. Psikososial masyarakat kita memang mudah bersimpati pada mereka yang terrkuya kuya. Berbagai ajang pemilihan bisa menjadi bukti akan hal itu.
Singkat kata, Ahok sangat ceplas ceplos, tipikal gaya ABG, makanya sangat tepat untuk memimpin ABG Jakarta/Teman Ahok. Tetapi tidak untuk yang dewasa yang sudah sadar sebagai pribadi berbudaya dan menjalankan Sila Ketuhanan yang Maha Esa. Sumber : https://www.facebook.com/notes/darwono-tuan-guru/ahok-dan-bidikan-pemilihnya/1090574897659702M