MISI

***************** A MAN WHO WANT TO CREATE AN EDEN IN THE WORLD *****************

Selasa, 22 Maret 2016

DICARI PEMIMPIN BER-SNI (STANDAR NASIONAL INDONESIA)

John Gardner, seorang penulis menyatakan " Sebagian organisasi yang mengalami masalah telah mengembangkan kebutaan fungsional terhadap kelemahan mereka sendiri. Mereka mengalami kesulitan bukan karena mereka tidak bisa memcaahkan masalah, tetapi kerena mereka tidak bisa masalah mereka'
Negara Republik Indonesia, sebagai organisasi puncak dari seluruh masyarakat Indonesia sedang mengalami apa yang Gardner utarakan. Bangsa ini tidak melihat bahwa masalah terbesar dari bangsa ini adalah masalah kepemimpinan, krisis kepemimpinan dengan segala aspeknya. Hingga Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan mempertanyakan kenapa ini terjadi. Kok orang maunya ke Ahok?". Perilaku Ahok dalam memimpin, jika dilihat dari pendidikan karakter sangat membahayakan karena dapat ditiru oleh anak-anak (proses imitasi).
Pada edisi lalu, dinyatakan bahwa telah terjadi ironisme yang tragis, terkait kepemimpinan di Indonesia. Dimana kepemimpinan yang telah mengakar dengan nilai local wisdom yang saat ini diterapkan pada tingkat global, justru di dalam negeri terjadi sebaliknya. Kepemimpinan yang muncul mengalami set back, pada konsep dan praktek kepemimpinan abad pertengahan, era revolusi Industri yang dilandasi oleh paradigma pribadi yang terpecah-pecah yang terus berkutat pada pola pikir dan terus memiliki struktur dimana orang-orang di puncak membuat semua keputusan penting dan orang-orang lainnya sekedar "memutar obeng".
Kali ini penuis mencoba mengkaitkan "Standar Nasional Indonesia", SNI tentang kepemimpinan dengan konsep kepemimpinan saat ini dikembangkan dan menjadi trend global, sebagai konsekuensi bergesernya, terjadinya perubahan karakteristik masyarakat global yang kian cerdas, yang mewujud dalam struk masyarakat pengetahuan.
Seperti telah disampaikan pada edisi sebelumnya, bahwa Indikator "Standar Nasional Indonesia" tentang kepemimpinan dirumuskan dalam 3 kalimat : "Ing ngarso sung tulada", Ing Madya mangun karsa" dan "tut wuri handayani". Sejalan dengan konsep kepemimpinan "dari efktif menuju keagungan" dalam 4 hal yaitu, 1. Penjadi Panutan; 2. menjadi Perintis; 3. Menjadi penyelaras; dan 4. Menjadi Pemberdaya (Covey, 8th Habit, 2008, h. 406).
Pertama, "Ing Ngarso Sung Tuloda", dalam konsep global di rumskan dalam dua peran, yakni Menjadi panutan dan menjadi perintis jalan. Menjadi panutan mengilhami timbulnya kepercayaan (trust) tanpa memintanya. Kepercayaan akana muncul ketika kita memang layak dipercaya. Menjadi Panutan menghasilkan kewibawaan moral pribadi. Sedang menjadi perintis jalan, adalah menciptakan keteraturan tan memaksakannya. Hal ini terjadi jika orang mengaitkan identitas mereka dan terlibat dalam pembuatan keputusan-keputusan strategis, khusunya mengenai nilai-nilai yang dipegang serta tujuan-tujuan prioritas tertinggi, mereka akan mengalami keterkaitan emosional.
Memahami dan berkomitmen pada Identitas, Nilai dan tujuan tujuan tertinggi dari suatu masyarakat adalah mutlak bagi seorang pemimpin untuk menjadi Teladan dan perintis. Identitas bangsa Indonesia dengan nilai budayanya yang adiluhung, Nilai-nilai pandangan hidup, way of life dan falsafah hidup bangsa yang berpancasila dan berbineka, serta berkomitmen pada mewujudkan tujuan proklamaasi bangsa Indonesia, adalah hal yang tidak dapat ditawar-tawar jika ingin mendapatkan trust, kepercayaan dan menjadi teladan dan perintis sebagai peran "ing ngarso sung tulada" bagi bangsa Indonesia.
Ke dua, "Ing madya Mangun karsa", membangun harapan dilakukan dengan jalan menyelaraskan struktur, sistem dan proses merupakan perwujudan dari upaya untuk melestarikan NKRI dan semangat kepercayaan, Visi bangsa dan pemberdayaan. Pemimpin nasional harus mampu membangun struktur, sistem dan mekanisme kenegaraan dan pemerintahan serta mekanisme dalam kelembagaan negara/pemerintah juga hubungan antar alembaga, yang sesuai amanah konstitusi. Semua yang dilakukan oleh pemimpin harus menyelaraskan dengan berbagai aspek komponen bangsa. Menyelaraskan menghasilkan kewibawaan moral yang dilembagakan, yang pada ahairnya mendorong semua komponen bangsan termotivasi, berkarsa untuk berkarya, berkonstribusi dengan potensi terbaiknya.
Ke tiga, "Tut wuri handayani", yang kita kenal juga sebagai Moto Pendidikan kita, sesungguhnya mengandung makna pemberdayaan. Sebagaiman Pendidikan yang pada dasarnya adalam meberdayakan peserta didik sehingga mampu mengambil keputusan dalam setiap langkah hidupnya, Peran ke empat kepemimpinan dalam paradigma "dari Efektifitas menuju keagungan" ini adalah pemberdayaan. Pada hakekatnya memberdayakan adalah buah dari ketiga peran yang lain, menajadi panutan, merintis jalan, dan menyelaraskan. Peran ini dapat membebaskan potensi manusia tanpa memerlukan motivasi eksternal. Pemimpin bangsa yang dapat menjadi teladan dan membangun Karsa, pada ahirnya menghasilkan masyarakat yang penuh daya, powerfull. sebaliknya jika sampai kini masyarakat "tak berdaya", penuh ketergantungan maka dimanakah peran Keteladanan dan membangun Karsa dari pemimpin selama ini ?
Inilah sesungguhnya masalah besar bangsa Indonesia, dan sudah barang tentu, seharusnya kita tidak mengulangi kesalahan yang telah terjadi. Oleh karenanya, setiap komponen bangsa harus memiliki tekad bersama, komitmen berbangsa untuk memilih Pemimpin yang berstandar Nasional Indonesia, artinya, pemimpin yang sesuai dengan identitas, nilai, dan komitmen pada tujuan proklamasi kemerdekaan RI.
Penulis yakin Kita bisa !

Tidak ada komentar: