MISI

***************** A MAN WHO WANT TO CREATE AN EDEN IN THE WORLD *****************

Selasa, 24 September 2013

CARA INSTAN PARTAI POLITIK MENDEKOR WAJAHNYA YANG BOPENG

Fenomena partai politik mutahir menunjukan adanya perubahan fungsi partai dari lembaga kader kepemimpinan menjadi semacam Head Hunter, lembaga penampung dan penyalur tenaga kerja. Hal ini sangat meprihatinkan karena proses yang ada menunjukan terjadinya distorsi dari Hakekat Kepemimpinan menjadi Management. Bahkan lebih memprihatinkan dari hal tersebut, proses regenerasi kepemimpinan nasional pada Pemilu 2014 akan bergeser sekedar pergantian pengelola negara melalui proses seperti pemilihan idol-idol yang ada.
Kondisi ini di satu sisi menunjukan adanya “kepekaan” partai politik akan tuntutan sebagian rakyat, juga menunjukan adanya kurang berjalannya fungsi kaderisasi kepemimpinan nasional melalui partai politik, sehingga partai politik cenderung “memerangkap” orang yang sudah jadi untuk menempati posisi posisi strategis yang ada. Sudah barang tentu, ada berbagai konsekuensi dari proses ini.
Konsekuensi pertama adalah membudayanya Topping Leadership, yakni membudayanya kepemimpinan asesories artificial, kepemimpin yang indah, flamboyan, menarik, elektable secara artifisial. Seorang “Top Manager” nasional yang kurang memiliki akar yang menghujam di masyarakat. Top Manager sudah tentu akan menjalankan berbagai hal dengan benar, tetapi tidak untuk sesuatu yang benar apalagi untuk menegakkan kebenaran. Hal ini tentu saja berbeda dengan Pemimpin Yang Amanah, dia akan menjalankan segalanya dengan benar untuk menegakkan kebenaran.
Berbagai fenomena penyimpangan yang terjadi akhir akhir ini menunjukan indikasi ke arah sana. Dengan berbagai prosedur yang canggih, banyak hal dinyatakan dilakukan dengan benar, dalam artian tidak menyalahi prosedur atau payung hukum yang ada. Masalahnya adalah, ketika prosedur dan payung hukum tidak berpihak pada nilai-nilai kebenaran, maka ketika prosedur, aturan dan hukum yang disusun dengan benar sesuai SOP pengambilan keputusan tetapi tidak mengandung kebenaran sebagai contoh disusun secara demokratis (benar dalam sistem demokratis) tetapi bukan oleh orang-orang yang memiliki jiwa kepemimpinan (komit kepada nilai idealis, hanif), maka prosedur, aturan hukum yang terjadi merupakan legalisasi perampokan. Pemahaman ini membawa kita pada fenomena adanya 230 undang-undang yang bersifat distorsif (merugikan rakyat kebanyakan) sebagai indikasi melakukan dengan benar (demokratis, mungkin voting) tetapi mengandung esensi yang salah dalam konteks idealisme kerakyatan itu sendiri.
Jika hal ini terus berlangsung, maka melakukan sesuatu dengan benar bukan melakukan yang benar bisa saja semakin mengancam kehidupan berketuhanan. Legalitas Undang-Undang yang menentang nilai-nilai religius atas nama demokrasi dan diperkuat atas nama HAM bisa kita lihat pada produk-produk parlemen di dunia saat ini. Pengesahan undang-undang tentang Perkawinan Sejenis di beberapa negara bisa saja dijadikan salah satu contohnya. Swastanisasi berbagai aset aset penting yang sebenarnya harus dikuasai negara adalah fenomena lain yang sangat marak di negeri ini, yang pada dasaranya adalah pemberian izin (legalisasi) pihak-pihak tertentu untuk meraup (merampok) kekayaan negara sebesar-besarnya.
System keseimbangan alamiah mengajarkan bahawa adanya berbagai komponen yang berasal dari luar akan mengakhibatkan respon dari dalam. hadirnya Topping Leader dengan tampilan menarik menghiasi “cake politik” tertentu, memang secara superficial menarik namun juga mengandung resiko munculnya penolakan dari struktur organisasi secara keseluruhan. Sebagai misal, munculnya pemenang konvensi dari luar kader partai, secara superfisial bisa memperlihatkan hal menarik, namun sesungguhnya karena kekuatan total sebuah partai pada hakekatnya adalah agregat dari kekuatan-kekuatan faksi-faksinya, maka pemenang konvensi itu bukan merupakan top dari kekuatan-kekuatan agregat itu. Kondisi kepemimpinan yang semacam ini sangat beresiko untuk tergoncang kian kemari, bisa diumpamakan seperti air yang ada di atas daun talas.
Memang konvensi yang membuka kesempatan bagi non kader bisa mengatasi “krisis” kader kepemimpinan di sebuah partai secara sementara namun dalam jangka waktu panjang akan meruntuhkan seluruh bangunan partai itu sendiri. Budaya instans ini akan mendorong orang untuk tidak perlu bersusah-susah membangun kekuatan dari ranting, cabang, daerah, wilayah sebuah partai politik, yang penting asal menarik dalam istilah khusus electable, suatu saat ia bisa menjadi presiden dengan mengikuti konvensi sebuah partai.
Karena memang prosesnya juga bukan melalui proses kaderisasi, maka komitmen pada nilai-nilai ideologis sebuah partai sangat tidak mungkin dituntut darinya. Profesiaonalisme yang dimilikinya memang dapat melakukan tuntutan-tuntutan teknis managerial pengelolaan negara misalnya, namun ruh, idealisme yang semestinya dimiliki oleh seorang kader tidak mungkin diperoleh darinya.
Oleh karena itu sudah semestinya proses-proses konvensi yang hanya menempatkan sebuah partai sebagai head hunter harus dihentikan, karena sesungguhnya hal itu merupakan penafian dari proses pengkaderan kepemimpinan yang mestinya menjadi salah satu tugas utama partai.
Akan lebih elegan, jika partai-partai memang menginginkan muncul pemimpin-pemimpin dari luar partai sebagai rasa rendah hati partai, maka yang perlu dikedepankan adalah bagaimana partai-partai sepakat dan merekomendir calon-calon independen pada pileg maupun pilpres. Sayangnya hal terakhir ini justru tidak dikehendaki partai. Oleh karena itu, konvensi dapat dianggap sebagai akal-akalan partai untuk “membajak” anak-anak bangsa yang potensial tanpa mau bersusah payah menggarapnya.
Untuk partai-partai bermasalah (saat ini semua partai yang mempunyai wakil di DPR RI bermasalah) maka konvensi berkonsekuensi memunculkan dilematis bagi masyarakat. Di tengah permasalahan kredibilitas dan tindakan tak terpuji kader partai, adalah sebuah kenaifan jika masyarakat terpaksa memilih partai tersebut karena Capres hasil konvensinya yang menarik. Memilih partai tersebut berarti mendukung caleg-caleg bermasalah dari partai itu, jika tidak memilih partai itu, maka kemungkinan capres hasil konvensi yang menarik baginya terancam langsung tersingkir karena partai tersebut tidak mencapai PT, dan tidak memenuhi syarat sebagai partai yang berhak mengusung Capres.
Oleh karena itu, sekali lagi, jika partai-partai memang rela akan munculnya pemimpin nasional dari luar partai, di luar kader Partai Politik, sebaiknya Partai-Partai sepakat mengakomodir Calon Independen pada Pemilu kita, dari pada menjatuhkan dirinya hanya sebagai Head Hunter.
Darwono, alumni FKH UGM, Pondok Pesantren Budi Mulia Yogyakarta, Pekerja Sosial dan Caleg DPR RI dari Partai Bulan Bintang Dapil Jakarta Timur.

Jumat, 20 September 2013

KEDELAI POLITIK, POLITIK KEDELAI

Tahun lalu, penulis mengkomentari status FB Mas Alvin Lie (dikenal sebagai Koboi Senayan, pernah kampanye bareng sesama caleg DPR RI dari PAN Pemilu 1999 dari Jateng) terkait dengan krisis daging sapi yang berbarengan krisis kedelai (jelang puasa 1433H) saya katakan saya lebih memilih menyelesaikan masalah kedelai dulu dibanding krisis daging. Alasana saya, kedelai adalah bahan “lauk utama” kebanyakan rakyat Indonesia. Tahu tempe adalah lauk rakyat kebanyakan, sedangkan daging yang mengkonsumsi hanya kalangan tertentu.
Keprihatinan akan bahan utama lauk rakyat itu, penul;is mengungkapkan melalui tulisan berjudul Politik Tempe (www.theholisticledership.blogspot.com edisi Rabu 25 Juli 2012). Berikut cuplikan blog tersebut : Selamat Telah lahir wacana politik baru, POLITIK TEMPE. Tempe dijadikan alat penekan untuk menuntut subsidi kedelai. Hari ini di tempat 2 makan rakyat , terutama warteg (warung tegal) di Jakarta, tidak terlihat Tahu - Tempe. Akankah hal ini menyebabkan gejolak ? Kelihatannya tidak ! Karena mayoritas konsumen tahu tempe adalah orang 2 yang biasa prihatin. “Ora mangan tempe ora pateken”, itulah mungkin ekpresi yg mereka ungkapkan tanpa kekesalan.
Pada bagian lain penulis paparka Pemerintah hendaknya tidak begitu saja memberi subsidi kedelai pada produsen tahu tempe. Para produsen sudah sepantasnya TIDAK LAYAK diberi subsidi, toh mereka bisa mengatur sendiri. kalo mau memberi subsidi lebih baik memberi subsidi lauk pauk kepada yang memerlukan.Selanjutnya ditegaskan “Menurut prinsip bisnis ibu saya, “Dalang ora kurangan lakon, kebo ora kaboten sungu” , artinya dalang tidak pernah kekurangan cerita, kerbo tidak pernah keberatan tanduknya, jd pembisnis itu bisa pandai mengatur, itulah prinsip bisnis ibu saya pada saat menghadapi kenaikan harga bahan bahan baku” Gonjang ganjing kedelai langka kembali terjadi saat sekarang, harga kedelai melambung berbarengan nilai tukar rupiah terhadap dolar menurun. Apakah seotomatis itu kedelai di pasaran mengikuti harga dolar ? Logikanya, kedelai yang beredar di pasaran saat ini tentu kedelai yang dibeli dengan nilai tukar dolar 6 bulan atau bahkan mungkin jauh sebelum itu. Pemerintah tentu memiliki catatan-catatan harga inport kedelai yang saat ini ada di pasaran. sehingga pemerintah dalam hal ini menteri perdagangan dapat segera memberi intruksi saat terjadi harga anomali. Sayangnya, lagi-lagi masalah kedelai dijadikan bargaining position, bahkan bahn sindir menyindir untuk menjatuhkan dan menaikkan image partainya. Hal ini bisa terlihat dari sikap Gita Wiryawan setelah meninjau pengrajin tahu tempe di Utan kayu sebagaimana ditulis Tribunenews berikut : Menteri Perdagangan Gita Wirjawan menilai hasil produksi kedelai dalam negeri sudah kosong. Secara tidak langsung, Gita pun menyindir Menteri Pertanian Suswono sebagai pejabat yang harus bertanggung jawab dengan kelangkaan kedelai dalam negeri.
Tanpa mau menyebutkan nama Suswono sebagai menteri yang mengurus produksi pangan dalam negeri, Gita mengajak para wartawan menebak siapa yang harus bertanggung jawab atas hilangnya kedelai di pasar beberapa waktu lalu. “Ayo kamu tebak siapa yang mengurusi produksi kedelai lokal?,” ujar Gita sembari bercanda, Jumat (20/9/2013). Pertanyaan retoris yang bernada “menyalahkan” menteri pertanian itu, tidak tyanggung-tanggung disertai dengan penampakan akan keheroannya : Gita pun menjelaskan posisinya di dalam pemerintah mengurus perdagangan saja. Mantan Kepala BKPM tersebut, menegaskan bahwa ia tidak bertanggung jawab atas produksi pangan dalam negeri. “Saya bukan mengurusi produksi, saya mengurusi perdagangan,” ungkap Gita. Pemerintah akhirnya membebaskan bea masuk untuk impor kedelai. Hal itu dilakukan untuk menurunkan harga kedelai di dalam negeri “Peraturan menteri keuangan (PMK) akan memangkas bea masuk kedelai dari 5 persen jadi 0 persen, hari ini Insya allah keluar,” ujar Gita.
Gita mengungkapkan penghapusan bea masuk karena mata uang rupiah yang masih melemah sampai saat ini. Dengan keadaan depresiasi rupiah otomatis daya beli untuk kedelai luar tinggi juga sangat mahal. “Kebijakan diambil karena adanya faktor eksternal, gejolak harga kedelai di pasar internasional,” ujar Gita.
Memang benar nilai tukar rupiah melemah, namun kita tidak melihat upaya riil Gita dalam operasi pasar yang semestinya dilakukan secepatnya sehingga daspat ditentukan harga kedelai yang semestinya, yang tidak melonjak tapi naik beraturan sesuai dengan stock sebelum dan sesudah kenaikan nilai dolar. Gita tidak memperlihatkan fungsi pemerintah sebagai regulator. Jika harga kedelai stabil dan pada tingkat realistis, maka itu sesungguhnya adalah sebuah kewajiban yang harus Gita lakukan, bukan seolah-olah “Ini karena usaha gue, harga kedelai turun” . Gita juga berkewajiban untuk benar-benar menelisik keberadaan kartel kedelai. Disamping itu, dari pada sindir menyindir, karena satu kabinet, semestinya Gita menggandeng Suswono dalam mengatasi masalah kedelai ke depan agar tidak terulang.
Bukan bermaksud membela menteri pertanian Suswono namun dalam catatan penulis semakin langkanya kedelai lokal, sesunbgguhnya diawali dari langkah Obsesif penguasa orde baru unmtuik mewujudkan swasembada beras diakhir tahun tujuh puluhan. Sebelum itu, penulis melihat sendiri, terutama di Jawa, petani melakukan usaha pertanian melalaui apa yang disebut sesuai “titi mangsa” sawah-sawah tidak menanam monokultur dalam setahun. Penanaman disesuaikan ajaran locakl Wisdom itu. Kapan menanam padi, palawija dll.
Obsesi swasembada beras telah mencabut pola tanam berdasar Local wisdom tersebut dan beralih menjadi menanam monokultur sepanjang tahun, menanam padi, bahkan dengan padi0padi varietas baru yang dianggap lebih produktif. Hasilnya pada musim panen 1985 tercapailah obsesi itu, Indonesia sebagai negara berswasembada berasn meskipun kelihatannya sepanjang 32 tahun berkuasa, hanya tahun itulah Indonesia dinyatakan sebagai berswasembada beras.
Oleh karena kedelai ternyata juga komoditas yang penting sesudah beras (dan jagung ?), maka sudah selayaknya : pertama, Kementrian pertanian melakukan reorientasi komoditas pertanian utama dii Indonesia kembali pada pola tanam multikultur, atau dikultur, pada tanah-tanah yang sesuai kedelai menjadi tanaman selingan diantara dua musim tanam padi. Pola ini disamping memungkinnkan dikuranginya ketergantungan total pada kedelai inport, juga diharapkan sebagai proses recoveri kesuburan tanah mengingat kedelai, seperti tanaman kacang-kacangan lainnya, mampu memberikan penyuburan tanah melalui bintil-bintil akaranya dengan mikroba-mikroba pengikat nitrogen.
Kedua, pemanfaatan lahan-lahan kering untuk direcovery melalui penanaman kedelai tentu saya dengan varietas-varietas yang sesuai dengan bantuan tekhnologi yang mutakhir. Ketgiga diupayakan penerapan biotechnology dalam upaya meningkatkan produksi kedelai, sehingga diperoleh produksi kedelai yang unggul yang tepat untuk produksi tahu dan tempe. Mudah-mudahan masukan ini ada manfaatnya. Amin
Darwono, Pendidik dan mantan aktivis Masyarakat Agribisnis Jawa Tengah koordinator wilayah eks. karsidenan Pekalongan. Pembina Kewirausahaan Siswa melalui City Success Fund, Caleg DPR RI dari Partai Bulan Bintang Dapil Jakarta

Jumat, 13 September 2013

JOKOWI JUGA MANUSIA

Ketua Majelis Pertimbangan Partai Amanat Nasional (PAN), Amien Rais, meragukan kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. Ia menilai kesuksesan yang disebut-sebut melekat dalam kepimimpinan Jokowi, begitu sang gubernur biasa disapa, hanya pencitraan. "Di Solo itu yang bekerja Rudi (FX Rudi, wakil wali kota). Saya ini orang Solo, kemiskinan dan kumuh masih banyak," demikian ytulis Tempo.co edisi Kamis, 12 September 2013.
Selanjutnya Amien menjelaskan, Jokowi belum bisa dianggap sukses memimpin Jakarta. Alasannya, kemacetan dan kumuh masih menjadi persoalan. "Dia berhasil membersihkan Pasar Tanah Abang, tetapi macet Jakarta masih terasa," ujarnya.Mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat 1999-2004 itu juga meragukan Jokowi punya komitmen nasionalisme kuat kendati berasal dari partai nasionalis, PDI Perjuangan. Amien menyebut kebijakan Megawati Sukarnoputri, Ketua Umum PDI Perjuangan, saat menjadi presiden, yaitu menjual saham PT Indosat Tbk ke asing, pembebasan utang pengusaha hitam, merupakan kebijakan yang berlawanan dengan semangat nasionalisme. "Mega saja bisa seperti itu," katanya Seperti yang telah penulis sampaikan pada edisi terdahulu, siapa boleh dan syah menilai Jokowi. Entah itu pencitraan atau pencitaan, bahkan mungkin pencintaan (plilia) maupun pencemburuan (phobia)terhadap Jokowi. Jika dimisalkan tokoh legenda Jawa, maka Jokowi saat ini bagaikan tokoh legenda Ande-Ande Lumut dimana sebagai pemimpin yang berasal dari tepian Bengawan Solo Jokowi banyak yang “ngunggah-ngunggahi”, banyak yang meminang untuk dijadikan pasangan hidup karena pesonanya. Jokowi banyak dipinang untuk menjadi Pemimpin di tepian sungai Ciliwung, Istana Negara RI.
Tentang Ande Ande Lumut, Coba renungkan petikan lirik tembang Ande-Ande Lumut berikut : Ibu : Putraku si Ande Ande Lumut Temuruna Ana putri kang “unggah-unggahi” Putrine kang ayu rupane Klenting Kuning iku kang dadi asmane AAL: Duh Ibu, aduh aduh ibu Kang putra mboten bade medun Nadyan ayu, sisane Si Yuyu kangkang dst
Jika kita renungkan dua bail dari lirik Ande Ande Lumut yang merupakan dialog antara Ibu dan Putranya yang dibanjiri lamaran oleh putri-putri Cantik (Kang Ayu Rupane) mengandung pesan moral bahwa sebagai flamboyan, sebaiknya para Capres yang memiliki daya pikat untuk tidak begitu saja menerima pinangan, mengikuti konvensi dsb. Proses selektif yang dilakukan Ande Ande Lumut perlu dikedepankan untuk memperoleh kemenangan sejati.
Para Capres yang digoda oleh partai partai “sisane si Yuyu Kangkang’ , yang sudah tidak ideal lagi, yang sudah lacut ujian perlu merlakukan penolakan dengan tegas agar dapat diambil pembelajarannya oleh masyarakat. Membiarkan semuanya Abu-abu sama saja membiarkan masyarakat belajar dalam kegelapan. Ketegasan Ande Ande lumut menolak puteri-puteri cantik yang telah “dikangkangi Yuyu Kangkang” adalah ketegasan keberanian mengucapkan Laa (Linafyiljinsi) sebelum menyatakan Illaa (itsbat) pada pilihan yang benar-benar layak dipilih. Kata Ande Ande Lumut, nadyan Ala menika kang Putra kerso (walaupun kelihatannya kurang menarik tetapi itulah yang dicari) karena dia mempertahankan integritasnya.
Jokowi saat ini sedang memerankan tokoh Ande Ande lumut itu, pesonanya telah membuat partai-partai “ngunggah-ngungahi” Jokowi, meminang Jokowi agar dapat mendongkrak daya saingya menghadapi pemilu pileg maupun pilpres 2014. Apalagi partai-partai yang memang sudah “tidak suci lagI’, partai-partai yang lacut, klenting-klenting yang telah dikangkangin “Yuyu kangkang”. Sudah barang tentu terpulang kepada Jokowi, Sang Ande-Ande Lumut, mau menerima pinangan itu atau terus menyeleksi hingga benar-benar mendapat putri yang nadyan ala, tidak populer, duafa rupa tetapi punya idealisme nyata.
Merujuk pada berbagai realitas konkrit bahawa partai-partai yang ada di senayan ini “adalah puteri-puteri” yang merupakan sisane si Yuyu Kangkang, logikanya partai asal jokowi juga demikian, maka sebaiknya Jokowi tidak menerima pinangan-pinangan itu. Tunggulah sampai ada puteri ideal, yang mungkin kelihatannya jelek, lemah, duafa dan mungkin hampir disingkirkan oleh sistem yang dibuat si Yuyu Kangkan sehingga dia bukan “sisane si Yuyu Kangkang” .
Puteri ideal dalam konteks realitas konstelasi partai politik kita saat ini adalah PBB, Partai Bulan Bintang. Jadi ada baiknya Jokowi menunggu pinangan PBB dan berasangan dengan Presiden bersemangat Laskar Pelangi, Profesor Yusril Ihza Mahendra. Mungkin itulah penegasan, idealisme yang harus ditegakkan Sang Ande Ande Lumut : Nadyan Ala menika kang putra kersa !. Tetaplah berjalan diidealisme kesucian , semoga !
Darwono, Caleg DPR RI dari Partai Bulan Bintang Dapil Jakarta Timur, Pendidik dan Pekerja Sosial. Lihat juga www.youtube.com/doitsoteam