MISI

***************** A MAN WHO WANT TO CREATE AN EDEN IN THE WORLD *****************

Jumat, 20 September 2013

KEDELAI POLITIK, POLITIK KEDELAI

Tahun lalu, penulis mengkomentari status FB Mas Alvin Lie (dikenal sebagai Koboi Senayan, pernah kampanye bareng sesama caleg DPR RI dari PAN Pemilu 1999 dari Jateng) terkait dengan krisis daging sapi yang berbarengan krisis kedelai (jelang puasa 1433H) saya katakan saya lebih memilih menyelesaikan masalah kedelai dulu dibanding krisis daging. Alasana saya, kedelai adalah bahan “lauk utama” kebanyakan rakyat Indonesia. Tahu tempe adalah lauk rakyat kebanyakan, sedangkan daging yang mengkonsumsi hanya kalangan tertentu.
Keprihatinan akan bahan utama lauk rakyat itu, penul;is mengungkapkan melalui tulisan berjudul Politik Tempe (www.theholisticledership.blogspot.com edisi Rabu 25 Juli 2012). Berikut cuplikan blog tersebut : Selamat Telah lahir wacana politik baru, POLITIK TEMPE. Tempe dijadikan alat penekan untuk menuntut subsidi kedelai. Hari ini di tempat 2 makan rakyat , terutama warteg (warung tegal) di Jakarta, tidak terlihat Tahu - Tempe. Akankah hal ini menyebabkan gejolak ? Kelihatannya tidak ! Karena mayoritas konsumen tahu tempe adalah orang 2 yang biasa prihatin. “Ora mangan tempe ora pateken”, itulah mungkin ekpresi yg mereka ungkapkan tanpa kekesalan.
Pada bagian lain penulis paparka Pemerintah hendaknya tidak begitu saja memberi subsidi kedelai pada produsen tahu tempe. Para produsen sudah sepantasnya TIDAK LAYAK diberi subsidi, toh mereka bisa mengatur sendiri. kalo mau memberi subsidi lebih baik memberi subsidi lauk pauk kepada yang memerlukan.Selanjutnya ditegaskan “Menurut prinsip bisnis ibu saya, “Dalang ora kurangan lakon, kebo ora kaboten sungu” , artinya dalang tidak pernah kekurangan cerita, kerbo tidak pernah keberatan tanduknya, jd pembisnis itu bisa pandai mengatur, itulah prinsip bisnis ibu saya pada saat menghadapi kenaikan harga bahan bahan baku” Gonjang ganjing kedelai langka kembali terjadi saat sekarang, harga kedelai melambung berbarengan nilai tukar rupiah terhadap dolar menurun. Apakah seotomatis itu kedelai di pasaran mengikuti harga dolar ? Logikanya, kedelai yang beredar di pasaran saat ini tentu kedelai yang dibeli dengan nilai tukar dolar 6 bulan atau bahkan mungkin jauh sebelum itu. Pemerintah tentu memiliki catatan-catatan harga inport kedelai yang saat ini ada di pasaran. sehingga pemerintah dalam hal ini menteri perdagangan dapat segera memberi intruksi saat terjadi harga anomali. Sayangnya, lagi-lagi masalah kedelai dijadikan bargaining position, bahkan bahn sindir menyindir untuk menjatuhkan dan menaikkan image partainya. Hal ini bisa terlihat dari sikap Gita Wiryawan setelah meninjau pengrajin tahu tempe di Utan kayu sebagaimana ditulis Tribunenews berikut : Menteri Perdagangan Gita Wirjawan menilai hasil produksi kedelai dalam negeri sudah kosong. Secara tidak langsung, Gita pun menyindir Menteri Pertanian Suswono sebagai pejabat yang harus bertanggung jawab dengan kelangkaan kedelai dalam negeri.
Tanpa mau menyebutkan nama Suswono sebagai menteri yang mengurus produksi pangan dalam negeri, Gita mengajak para wartawan menebak siapa yang harus bertanggung jawab atas hilangnya kedelai di pasar beberapa waktu lalu. “Ayo kamu tebak siapa yang mengurusi produksi kedelai lokal?,” ujar Gita sembari bercanda, Jumat (20/9/2013). Pertanyaan retoris yang bernada “menyalahkan” menteri pertanian itu, tidak tyanggung-tanggung disertai dengan penampakan akan keheroannya : Gita pun menjelaskan posisinya di dalam pemerintah mengurus perdagangan saja. Mantan Kepala BKPM tersebut, menegaskan bahwa ia tidak bertanggung jawab atas produksi pangan dalam negeri. “Saya bukan mengurusi produksi, saya mengurusi perdagangan,” ungkap Gita. Pemerintah akhirnya membebaskan bea masuk untuk impor kedelai. Hal itu dilakukan untuk menurunkan harga kedelai di dalam negeri “Peraturan menteri keuangan (PMK) akan memangkas bea masuk kedelai dari 5 persen jadi 0 persen, hari ini Insya allah keluar,” ujar Gita.
Gita mengungkapkan penghapusan bea masuk karena mata uang rupiah yang masih melemah sampai saat ini. Dengan keadaan depresiasi rupiah otomatis daya beli untuk kedelai luar tinggi juga sangat mahal. “Kebijakan diambil karena adanya faktor eksternal, gejolak harga kedelai di pasar internasional,” ujar Gita.
Memang benar nilai tukar rupiah melemah, namun kita tidak melihat upaya riil Gita dalam operasi pasar yang semestinya dilakukan secepatnya sehingga daspat ditentukan harga kedelai yang semestinya, yang tidak melonjak tapi naik beraturan sesuai dengan stock sebelum dan sesudah kenaikan nilai dolar. Gita tidak memperlihatkan fungsi pemerintah sebagai regulator. Jika harga kedelai stabil dan pada tingkat realistis, maka itu sesungguhnya adalah sebuah kewajiban yang harus Gita lakukan, bukan seolah-olah “Ini karena usaha gue, harga kedelai turun” . Gita juga berkewajiban untuk benar-benar menelisik keberadaan kartel kedelai. Disamping itu, dari pada sindir menyindir, karena satu kabinet, semestinya Gita menggandeng Suswono dalam mengatasi masalah kedelai ke depan agar tidak terulang.
Bukan bermaksud membela menteri pertanian Suswono namun dalam catatan penulis semakin langkanya kedelai lokal, sesunbgguhnya diawali dari langkah Obsesif penguasa orde baru unmtuik mewujudkan swasembada beras diakhir tahun tujuh puluhan. Sebelum itu, penulis melihat sendiri, terutama di Jawa, petani melakukan usaha pertanian melalaui apa yang disebut sesuai “titi mangsa” sawah-sawah tidak menanam monokultur dalam setahun. Penanaman disesuaikan ajaran locakl Wisdom itu. Kapan menanam padi, palawija dll.
Obsesi swasembada beras telah mencabut pola tanam berdasar Local wisdom tersebut dan beralih menjadi menanam monokultur sepanjang tahun, menanam padi, bahkan dengan padi0padi varietas baru yang dianggap lebih produktif. Hasilnya pada musim panen 1985 tercapailah obsesi itu, Indonesia sebagai negara berswasembada berasn meskipun kelihatannya sepanjang 32 tahun berkuasa, hanya tahun itulah Indonesia dinyatakan sebagai berswasembada beras.
Oleh karena kedelai ternyata juga komoditas yang penting sesudah beras (dan jagung ?), maka sudah selayaknya : pertama, Kementrian pertanian melakukan reorientasi komoditas pertanian utama dii Indonesia kembali pada pola tanam multikultur, atau dikultur, pada tanah-tanah yang sesuai kedelai menjadi tanaman selingan diantara dua musim tanam padi. Pola ini disamping memungkinnkan dikuranginya ketergantungan total pada kedelai inport, juga diharapkan sebagai proses recoveri kesuburan tanah mengingat kedelai, seperti tanaman kacang-kacangan lainnya, mampu memberikan penyuburan tanah melalui bintil-bintil akaranya dengan mikroba-mikroba pengikat nitrogen.
Kedua, pemanfaatan lahan-lahan kering untuk direcovery melalui penanaman kedelai tentu saya dengan varietas-varietas yang sesuai dengan bantuan tekhnologi yang mutakhir. Ketgiga diupayakan penerapan biotechnology dalam upaya meningkatkan produksi kedelai, sehingga diperoleh produksi kedelai yang unggul yang tepat untuk produksi tahu dan tempe. Mudah-mudahan masukan ini ada manfaatnya. Amin
Darwono, Pendidik dan mantan aktivis Masyarakat Agribisnis Jawa Tengah koordinator wilayah eks. karsidenan Pekalongan. Pembina Kewirausahaan Siswa melalui City Success Fund, Caleg DPR RI dari Partai Bulan Bintang Dapil Jakarta

Tidak ada komentar: