MISI

***************** A MAN WHO WANT TO CREATE AN EDEN IN THE WORLD *****************

Senin, 05 Desember 2011

PARADIGM IS PARADIGMA





Pendahuluan

Jika anda sudah bekerja selama 15 tahun, dan anda baru menerima gaji hanya sebatas UMR, katakanlah 2 juta rupiah perbulan , menurut anda, itu besar atau kecil ? Saya yakin kita semua akan menjawab sangat kecil. Lantas, jiak uang 2 juta rupiah itu di tengah jalan dipalak dan diambil semua, anad merasa kehilangan besar atau kecil ? Sya yakin kita akan merasakan itu kehilangan besar. Mengapa dengan nilai yang sama 2 juta rupiah, ketika kita mendapatkan itu terasa kecil dan ketika itu semua hilang kita merasa itu angka yang besar ?

Tentu kita akan jawab karena sudut pandang dari dua kejadian yang melibatkan kuantitas uang yang sama, memiliki perbedaan sudut pandang. Cara pandang kita terhadap sebuah fenomena itulah yang kita sebut sebagai paradigm.

Kata paradigma berasal dari bahasa Yunani. Kata ini semula merupakan istilah ilmiah dan lebih lazim digunakan sekarangini dalam artian model, teori, persepsi, asumsi, atau kerangka acuan. Dalam pengertian yang lebih umum, paradigma adalah cara kita “melihat” dunia, bukan berkaitan dengan pengertian visual dari tindakan melihat, melainkan berkaitan dengan persepsi, mengartikan, menafsirkan.

Berkaitan dengan tujuan kita, cara sederhana untuk memahami paradigma adalah dengan mengumpamakannya sebagai peta. Kita pasti tahu bahwa “peta bukanlah wilayah” yang sebenarnya. Peta hanyalah sekedar p[enjelasan tentang aspek tertentu dari suatu wilayah. Itulah persisnya apa yang dimaksud dengan paradigma. Paradigma adalah sebuah penjelasan, teori atau model untuk suatu hal.

Andaikan anda ingin tiba di Pusat Nasi Megono di Jakarta, sebuah peta jalan kota Jakarta akan sdangat membantu anda untuk tiba di tempat tujuan. Akan tetapi, andaikan saja anda diberi peta yang salah karena kesalahan cetak misalnya, peta yang diberi label “Peta Kota Jakarta” sebenarnya itu “Peta Kota Bandung”. Dimana tidak ada Jalan Gadjah Mada, padahal pusat Nasi Megono ada di jalan itu, dapatkah anda banyangkan rasa frustasi dan ketidak efektifan usaha untuk mencapai tempat Nasi Megono ?


Paradigma Kita

Anda mungkin terus mengolah perilaku anda, anda mel;akukan usaha lebih keras, lebih giat. Melipat gandakan kecepatan anda. Akan tetapi usaha anda hanya akan berhasil membawa anda ketempat yang salah tadi dengan lebih cepat. Intinya adalah anda masih tersesat. Masalah yang mendasar ini tidaklah berkaitan dengan perilaku atau sikap anda. Masalah sebenartnya berkaitan dengan peta yangh yang salah.

Jika kita mempunyai peta yang benar dari Kota Jakarta, maka ketekunan menjadi mpenting, dan jika kita menghadapi penghalang yang membuat frustasi sepanjang jalan, maka sikap dapat membuat perbedaan yang benar-benar menentukan. Akan tetapi, persyaratan yang pertama dan paling penting adalah keakuratan peta tersebut.



Kita semua mempunyai banyak peta di dalam otak kita yang dapat dibagi menjadi dua katagori utama : peta segala sesuatunya sebagaimana adanya, atau realitas, dan peta segala sesuatunya seperti seharusnya, atau nilai. Kita jarang bahkan mungkin sama sekali tidak pernah mempertanyakan keakuratan peta-peta tersebut, kita biasanya bahkan tidak sadar bahwa kita memiliki keduanya. Kita semua mengasumsikan bahwa cara kita memandang segala sesuatu adalah segala sesuatu sebagaimana adanya atau sebagaimana seharusnya. Sikap serta perilaku kita bertumbuh dari asumsi-asumsi tersebut.

Implikasi Paradigma




Cara kita memandang sesuatu adalah sumber dari cara kita berfikir dan cara kita bertindak. Kita semua cenderung berfikir bahwa kita melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, bahwa kita sudah obyektif. Namun pada kenyataannya tidak demikian. Kita melihat dunia, bukan sebagaimana dunia adanya, melainkan sebagaimana kita melihatnya. Atau sebagaimana kita terkondisikan untuk melihatnya.

Pada saat kita mendeskripsikan apa yang kita lihat, kita sebenarnya menjabarkan diri kita, persepsi kita, paradigma kita sendiri. Ketika orang lain tidak setuju dengan kita, kita segera berfikir pasti ada sesuatu yang salah dengan mereka.

Semakin sadar kita akan paradigma dasar, peta, atau asumsi kita, dan sejauh mana kita telah dipengaruhi oleh pengalaman kita, maka semakin kita dapat menerima tanggung jawab untuk paradigma tersebut dan memeriksanya, mengujinya berdsarkan realitas, mendengarkan orang lain, dan bersikap terbuka terhadap persepsi mereka, sehingga mendapatkan gambaran yang lebih besar dan pandangan yang jauh lebih obyektif.

Ketika kita berparadigma bahwa penyakit berasal dari darah yang mengalir, yang kotor, maka tindakan kita adalah melakukan pengeluaran darah kotor itu sebanyak=banyaknya. Masalahnya muncul jika penyakit itu justru bukan disebabkan oleh “darah kotor”, tapi oleh “sel yang berkembang hipertropi” seperti pada tumor misalnya, maka betapapun jumlah darah yang disedot melalui bekamp atau tindakan lain tidak akan mengatasinya. Oleh-oleh bias sembuh, mungkin malah si pasien akan meninggal bukan karena tumor itu, tetapi karena kekurangan darah.

Dalam keseharian ditempat kerja, kesalahan paradigm ini bias berahibat kontroproduktif. Karena menganggap bawahannya sebagai “mangsa’, seorang atasan berlaku seperti salah satu binatang ini; binatang beratring, binatang bertanduk dan ular berbisa. Caninedae (binatang bertaring) seperti Felix trigis (harimau), Felix catus (kucing), menggertak mangsanya dengan menunjukan Auman, ketajaman taringnya dan cakarnya. Sementara Boss sundaicus (Banteng) dan saudara saudaranya menggertak dengan lenguh dan merunduk ingin menyeruduk dengan menunjukan tanduknya (Bull sit), sedang ular dan reptilia lain menunjukan rahang dan dadanya yang tak bertulang serta menjulurkan lidahnya yang berbisa.

Manusia dengan akal dan hargadirinya, tidak mungkin dapat diluluhkan dengan cara-cara itu semua. Manusia hanya dapat diluluhkan dengan kilatan hati yang mulia. Itung-itung akan patuh dan hormat, atasan yang sok berkuasa itu bahkan akan dilecehkan dan tidak mendapat respect dari bawahannya, yang sebenarnya adalah mitranya.

Oleh karenanya, kesediaan kita untuk mempertanyakan, mengevaluasi dan merubah paradigm kita akan suatu hal, terutama jika kita mengalami stagnasi dalam satu hal adalah sebuah keniscayaan yang harus dilakukan.

Quote : Ketika kita melihat rambu-rambu bahwa langkah kita justru menuju jurang, maka berbalik dan mengambil langkah ke jalur lain bukanlah sebuah pantangan tetapi justru sebuah keharusan. Kita mungkin membuat langkah salah, itu wajar. Yang tidak wajar adalah ketika kita tahu itu menuju jurang tetapi kita tidak mengoreksi langkah kita. Mungkin kita ada di tengah langkah sebuah pengejaran mimpi, tetapi ketika kita melihat rambu-rambu itu hanya mengejar fatamorgana, maka berbelok bukanlah hal salah,tidak ada istilah sudah kepalang basah (Darwono Tuan Guru, Page FB).


Perubahan Paradigma



Istilah perubahan paradigma diperkenalkan oleh Thomas Kuhn dalam bukunya yang sangat berpengaruh , The Structure of Scientific Revolutions, Kuhn memperlihatkan bagaimana hampir setiap terobosan penting di bidang ilmiah pada awalnya, merupakan pemutusan dengan tradisi , dengan pola pikir yang lama, dengan paradigma lama.

Bagi Ptolomeus, astronom besar Mesir, bumi adal;ah pusat alam semesta (Geosentris). Akan tetapi Copernicus menciptakan perubahan paradigma , yang menimbulkan banyak tantangan dan penganiayaan, dengan menempatkan matahari sebagai pusat alam se,esta (Heliosentris). Tiba-tiba, segalanya memberikan interpretasi yang berbeda.

Model fisika Newton tentang paradigma mesin waktu tetap ,merupakan basis dari perekayasaan modern. Akan tetapi model ini masih belum lengkap . Dunia ilmu pengetahuan mengalami revolusi dengan adanya paradigma Einstein, yaitu paradigma relativitas, yang memiliki nilai prediktif dan penjelasan yang jauh lebih tinggi.
Banyak orang mengalami perubahan fundamental dalam cara berfikir mereka justru ketika mereka menghadapi krisis yang mengancam jiwa dan tiba-tiba melihat prioritas mereka dengan cara yang berbeda atau ketika mereka tiba-tiba melangkah ke dalam sebuah peran yang baru, misalnya peran suami atau peran istri, orang tua atau kakek, manager atau pimpinan.

Paradigma tidak dapat dipisahkan dari karakter. Menjadi berarti melihat dalam dimensi kemanusiaan. Apa yang kita lihat sangat berkaitan dengan siapa kita. Kita tidak dapat mengubah cara pandang kita tanpa sekaligus mengubah keberadaan kita, dan sebaliknya.
Paradigma memang kuat, karena menciptakan lensa yang kita gunakan untuk melihat dunia. Kekuatan perubahan paradigma adalah kekuatan esensial dari perubahan besar, entah perubahan itu merupakan proses seketika atau proses yang lambat dan hati-hati.

Merubah Paradigma Komunikasi



Untuk mendapatkan hasil komunikasi yang optimal, Perubahan komunikasi kita perli dilakukan. Perubahan paradigma komunikasi itu pada prinsipnya adalah mengubah model komunikasi dari Comunication base on Comunicator, menjadi Communication base on Communicant, Paradigma berkomunikasi dari berbasis komunikator (kita sendiri) menjadi Komunikasi Berbasis Komunikan (masyarakat, tokoh, dll).

Model komunikasi yang demikian disebut komunikasi empati, emphatic Communication, komunikasi yang menempatkan komunikator dalam posisi paradigma dan pola pikir masyarakat. Untuk model komunikasi ini, pemahaman akan pola fikir, perasaan, dan karakter masdyarakat menjadi salah satu syarat pentingnya.

Quote : Manusia, dengan akal dan firikannya, dirancang sebagai mahluk Allah SWT yang mampu menaklukan kondisi lingkungannya. Manusia bukanlah mahluk dengan monohabitat, dimanapun, manusia dengan kelebihannya iru mampun beradaptasi dengan cepat. Demikian juga dengan kondisi psikolisnya, emosinya, manusia sejati adalah manusia-manusia yang mampu menciptakan kondisi psikologis/emosinya. Bukan sebaliknya, kondisi psikologis/emosinya dikendalikan oleh kondisi lingkungannya. Today is The Cloudy Monday ? Change it's to Colorful for your Heart !


Ketika kita melihat mendung, maka kita tidak dapat mengubahnya menjadi suasana yang bercahaya. Yang bias kita rubah adalah bagaimana suasana hati kita untuk tidak terpengaruh oleh “kemendungan” langit fisik. Atmosfir emosi kita, tetap bias benderang dan hangat dengan pancaran cahaya semangat dan eneri positif optimism dari hati kita.



Tidak ada kata sudah terlanjur basah, ketika kita menyadari bahwa ada yang slah dalam kita melangkah, maka berbalik adalah lebih baik. Dengan paradigma baru yang telah terdedah, langkah baru kita mungkin akan menjadi akselerasi yang cukup tinggi untuk memperoleh kesuksesan sejati.
Semoga.


Kamis, 01 Desember 2011

KOMUNIKASI BEREMPATIK




Pendahuluan



Serulah ke jalan tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan berargumenlah dengan argumen yang lebih mumpuni.

Petunjuk Rasulullah

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim, Rasulullah SAW bersabda yang artinya kurang lebih: Jika kamu berbicara (menyampaikan ucapan) tentang sesuatu perkara kepada suatu kaum padahal perkara itu tidak terjangkau (tidak dipahami) oleh akal pikiran mereka, niscaya akan membawa fitnah di kalangan mereka. (HR. Muslim)

Hadist itu menurit hemat penulis memberikan landasan/prisnsip dalam berkomunikasi. Kita hendaknya berkomunikasi dengan akal pikiran mitra komunikasi kita (komunikan). Artinya, sudah selayaknya kita harus memahami akal pikiran, atau perasaan dari orang atau kaum yang terlibat komunikasi dengan kita. Dalam bahasa sekarang, komunikasi yang demikian disebut sebagai komunikasi berempati.

Definisi Komunikasi berarti hubungan antara satu pihak dengan pihak yang lain. Definisi Empati berarti memahami perasaan / kondisi pihak lain tanpa terbawa untuk mengikuti kepentingan pihak lain dan mengabaikan kepentingan diri sendiri.

Definisi Komunikasi Empati berarti hubungan antara satu pihak dengan pihak lain, dimana pihak-pihak yang berkomunikasi mampu memahami perasaan / kondisi pihak lain tanpa terbawa untuk mengikuti kepentingan pihak lain dan mengabaikan kepentingan diri sendiri.

Hal ini berbeda dengan dengan Komunikasi Simpati Pemaknaan Komunikasi Simpatik sendiri berarti hubungan antara satu pihak dengan pihak lain, dimana pihak-pihak yang berkomunikasi mampu memahami perasaan / kondisi pihak lain dan terbawa untuk berpihak ke kondisi tsb.


Prinsip Prinsip Komunikasi Efektif



1: Respect

Prinsip pertama dalam mengembangkan komunikasi yang efektif adalah sikap menghargai setiap individu yang menjadi sasaran pesan yang kita sampaikan. Rasa hormat dan saling menghargai merupakan hukum yang pertama dalam kita berkomunikasi dengan orang lain. Kita semua memahami pada prinsipnya manusia ingin dihargai dan dianggap penting.Bbahkan ketika kita harus mengkritik atau memarahi seseorang, lakukan dengan penuh respek terhadap harga diri dan kebanggaaan seseorang. Apabila kita membangun komunikasi dengan rasa dan sikap saling menghargai dan menghormati, maka kita dapat membangun kerjasama yang menghasilkan sinergi yang akan meningkatkan efektifitas kinerja kita baik sebagai individu maupun secara keseluruhan sebagai sebuah tim.

Menurut ahli komunikasi Dale Carnegie dalam bukunya How to Win Friends and Influence People, rahasia terbesar yang merupakan salah satu prinsip dasar dalam berurusan dengan manusia adalah dengan memberikan penghargaan yang jujur dan tulus. Sementara itu, William James mengatakan bahwa "Prinsip paling dalam pada sifat dasar manusia adalah kebutuhan untuk dihargai." Dia mengatakan ini sebagai suatu kebutuhan (bukan harapan ataupun keinginan yang bisa ditunda atau tidak harus dipenuhi), yang harus dipenuhi. Ini adalah suatu rasa lapar manusia yang tak terperikan dan tak tergoyahkan. Lebih jauh Carnegie mengatakan bahwa setiap individu yang dapat memuaskan kelaparan hati ini akan menggenggam orang dalam telapak tangannya.

Charles Schwabb, salah satu orang pertama dalam sejarah perusahaan Amerika yang mendapat gaji lebih dari satu juta dolar setahun, mengatakan bahwa aset paling besar yang dia miliki adalah kemampuannya dalam membangkitkan antusiasme pada orang lain. Dan cara untuk membangkitkan antusiasme dan mendorong orang lain melakukan hal-hal terbaik adalah dengan memberi penghargaan yang tulus. Hal ini pula yang menjadi satu dari tiga rahasia manajer satu menit dalam buku Ken Blanchard dan Spencer Johnson, The One Minute Manager.

2: Empathy

Empati adalah kemampuan kita untuk menempatkan diri kita pada situasi atau kondisi yang dihadapi oleh orang lain. Salah satu prasyarat utama dalam memiliki sikap empati adalah kemampuan kita untuk mendengarkan atau mengerti terlebih dulu sebelum didengarkan atau dimengerti oleh orang lain. Secara khusus Covey menaruh kemampuan untuk mendengarkan sebagai salah satu dari 7 kebiasaan manusia yang sangat efektif, yaitu kebiasaan untuk mengerti terlebih dahulu, baru dimengerti (Seek First to Understand then be understood to build the skills of empathetic listening that inspires openness and trust).

Mengenai kemampuan mendengarkan, Ram Charam, dalam bukunya Know-How, mengungkapkan bahwa kemampuan mendedngarkan dengan fikiran terbuka , dan mengetahui apa sebenarnya yang diinginkan oleh orang lain sangatlah penting. Karena bersedia mendengarkan saja sudah dapat meredakan masalah , dfan hal ini membantu kita memahami arti "menang dan "kalah" bagi orang lain. Inilah yang disebut dengan Komunikasi Empatik. Dengan memahami dan mendengar orang lain terlebih dahulu, kita dapat membangun keterbukaan dan kepercayaan yang kita perlukan dalam membangun kerjasama atau sinergi dengan orang lain.



Berkomunikasi secara emphatik, kita berkomunikasi denhgan masuk ke dalam kerangka acuan orang lain. Kita memandang keluar melewati kerangka acuan itu, kita melihat dunia dengan cara mereka melihat dunia, kita memahami paradigma mitra komunikasi kita, kita mengerti bagaimana perasaan mereka. Untuk melakukan hal ini kita memerlukan pemahaman tentang “perasaan, fikiran, atau karakter” mitra komunikasi kita.

Rasa empati akan memampukan kita untuk dapat menyampaikan pesan (message) dengan cara dan sikap yang akan memudahkan penerima pesan (receiver) menerimanya. Oleh karena itu dalam ilmu pemasaran (marketing) memahami perilaku konsumen (consumer's behavior) merupakan keharusan. Dengan memahami perilaku konsumen, maka kita dapat empati dengan apa yang menjadi kebutuhan, keinginan, minat, harapan dan kesenangan dari konsumen. Demikian halnya dengan bentuk komunikasi lainnya, misalnya komunikasi dalam membangun kerjasama tim. Kita perlu saling memahami dan mengerti keberadaan orang lain dalam tim kita. Rasa empati akan menimbulkan respek atau penghargaan, dan rasa respek akan membangun kepercayaan yang merupakan unsur utama dalam membangun teamwork.

Jadi sebelum kita membangun komunikasi atau mengirimkan pesan, kita perlu mengerti dan memahami dengan empati calon penerima pesan kita. Sehingga nantinya pesan kita akan dapat tersampaikan tanpa ada halangan psikologis atau penolakan dari penerima.
Empati bisa juga berarti kemampuan untuk mendengar dan bersikap perseptif atau siap menerima masukan ataupun umpan balik apapun dengan sikap yang positif. Banyak sekali dari kita yang tidak mau mendengarkan saran, masukan apalagi kritik dari orang lain. Padahal esensi dari komunikasi adalah aliran dua arah. Komunikasi satu arah tidak akan efektif manakala tidak ada umpan balik (feedback) yang merupakan arus balik dari penerima pesan. Oleh karena itu dalam kegiatan komunikasi pemasaran above the lines (mass media advertising) diperlukan kemampuan untuk mendengar dan menangkap umpan balik dari audiensi atau penerima pesan.

Sebagai anggota legislative misalnya, meski telah dibagi dalam fraksi-fraksi, kadang masyarakat mendatangi kita dalam banyak hal. Berbagai latarbelakang dan tingkan sosial ekonomi harus kita hadapi. Sudah barang tentu untuk berkomunikasi secara emphatik dengan mereka kita harus memahami masing-masing. Kita perlu memahami bagaimana perasaan kupu-kupu malam yang dikejar-kejar, kita perlu memahami bagaimana pedagang kaki lima yang diangkut lapaknya oleh tibum, kita juga perlu memaham bagaiman perasaan seorang ustadz yang dianggap terorris dll.

3: Audible

Makna dari audible antara lain: dapat didengarkan atau dimengerti dengan baik. Jika empati berarti kita harus mendengar terlebih dahulu ataupun mampu menerima umpan balik dengan baik, maka audible berarti pesan yang kita sampaikan dapat diterima oleh penerima pesan. Hukum ini mengatakan bahwa pesan harus disampaikan melalui media atau delivery channel sedemikian hingga dapat diterima dengan baik oleh penerima pesan. Hukum ini mengacu pada kemampuan kita untuk menggunakan berbagai media maupun perlengkapan atau alat bantu audio visual yang akan membantu kita agar pesan yang kita sampaikan dapat diterima dengan baik. Dalam komunikasi personal hal ini berarti bahwa pesan disampaikan dengan cara atau sikap yang dapat diterima oleh penerima pesan.

4: Clarity

Selain bahwa pesan harus dapat dimengerti dengan baik, maka prinsip keempat yang terkait dengan itu adalah kejelasan dari pesan itu sendiri sehingga tidak menimbulkan multi interpretasi atau berbagai penafsiran yang berlainan. Ketika saya bekerja di Sekretariat Negara, hal ini merupakan hukum yang paling utama dalam menyiapkan korespondensi tingkat tinggi.Karena kesalahan penafsiran atau pesan yang dapat menimbulkan berbagai penafsiran akan menimbulkan dampak yang tidak sederhana.
Clarity dapat pula berarti keterbukaan dan transparansi. Dalam berkomunikasi kita perlu mengembangkan sikap terbuka (tidak ada yang ditutupi atau disembunyikan), sehingga dapat menimbulkan rasa percaya (trust) dari penerima pesan atau anggota tim kita. Karena tanpa keterbukaan akan timbul sikap saling curiga dan pada gilirannya akan menurunkan semangat dan antusiasme kelompok atau tim kita.

5: Humble

Prinsip kelima dalam membangun komunikasi yang efektif adalah sikap rendah hati. Sikap ini merupakan unsur yang terkait dengan hukum pertama untuk membangun rasa menghargai orang lain, biasanya didasari oleh sikap rendah hati yang kita miliki. Dalam edisi Mandiri 32 Sikap Rendah Hati pernah kita bahas, yang pada intinya antara lain: sikap yang penuh melayani (dalam bahasa pemasaran Customer First Attitude), sikap menghargai, mau mendengar dan menerima kritik, tidak sombong dan memandang rendah orang lain, berani mengakui kesalahan, rela memaafkan, lemah lembut dan penuh pengendalian diri, serta mengutamakan kepentingan yang lebih besar.

Jika komunikasi yang kita bangun didasarkan pada lima hukum pokok komunikasi yang efektif ini, maka kita dapat menjadi seorang komunikator yang handal dan pada gilirannya dapat membangun jaringan hubungan dengan orang lain yang penuh dengan penghargaan (respect), karena inilah yang dapat membangun hubungan jangka panjang yang saling menguntungkan dan saling menguatkan.

Realitas Komunikasi kita



Ketika orang lain berbicara, kita biasanya “mendengarkan” dalam salah satu dari empat tingkat. Kita mungkin mengabaikan orang itu, tyidak benar-benar mendengarkannya. Kita mungkin berpura-pura “yaa, hmm, benar”. Kita mungkin mendengar secara selektif, mendengar hanya bagian-bagian tertentu dari percakapan. Kita sering melakukan ini sewaktu mendengar celotehan terus menerus dari anak prasekolah. Atau kita mungkin mendengar secara atentif, menaruh perhatian dan memfokuskan energi pada kata-kata yang diucapkan. Tetapi sedikit sekali dari kita mempraktekan tingkat kelima, bentuk tertinggi dari mendengarkan, yaitu mendengar dengan empatik.

Kita memiliki kecendrungan untuk menyerbu masuk ke dalam masalah seseorang, untuk memberikan nasihat yang kita piker dapat memperbaiki segala sesatu. Namun kenyataannya, cara itu sering kali justru malah memperburuk keadaan, sebab kita telah gagal meluangkan waktu untuk mendiagnosis, untuk benar-benar mengerti secara mendalam tentang permasalahannya. Mungkin banyak orang mengistilahkan hal ini sebagai “sok tahu”, atau tidak mau tahu apa yang terjadi pada orang itu, atau masalah orang itu.

Komunikasi adalah suatu keterampilan yang paling penting di dalam kehidupan ini. Salah satu kunci komunikasi yang efektif adalah berusaha mengerti terlebih dahulu, baru dimengerti. “Berusaha mengerti lebih dulu” memerlukan paradigma yang sangat mendalam. Kita biasanya lebih dulu ingin dimengerti. Kebanyakan orang tidak mau mendengarkan dengan baik. Mereka menyaring segalanya melalui paradigmanya sendiri. Mereka dipenuhi dengan kebenaran mereka sendiri, autobiografi mereka.

Mendengarkan dengan empatik (dari kata empathy) maksudnya adalah berusaha lebih dulu untuk mengerti, untuk benar-benar mengerti; masuk ke dalam kerangka acuan orang lain. Kita memandang keluar melewati kerangka acuan itu, kita melihat dunia dengan cara mereka melihat dunia, kita mengerti paradigma mereka, kita mengerti bagaimana perasaan mereka. Intisari dari mendengarkan dengan empatik bukanlah bahwa Anda selalu setuju dengan seseorang, tetapi bahwa Anda sepenuhnya, secara mendalam, mengerti orang itu secara emosional sekaligus intelektual.

Mendengarkan secara empatik memerlukan jauh lebih banyak daripada sekedar merekam, merenungkan, atau bahkan mengerti kata-kata yang diucapkan. Para ahli komunikasi memperkirakan bahwa hanya 10% komunikasi kita diwakili oleh kata-kata yang diucapkan; 30% oleh suara; dan 60% oleh bahasa tubuh kita. Dalam mendengarkan secara empatik memang kita mendengarkan dengan telinga kita, tetapi lebih penting lagi kita juga mendengarkan dengan hati kita…

Ketika Anda mendengarkan orang lain dengan empati, Anda memberi kepada orang tersebut udara psikoligis. Segera sesudah kebutuhan penting itu terpenuhi, barulah Anda dapat berfokus pada pemberian pengaruh atau pemecahan masalah. Dengan komuniklasi emphatik, maka kita dapat memahami sekaligus memberi pemahaman berbagai hal yang mungkin berbeda. Kita dapat memberikan pemahaman tentang perda, kebijakan dan lain-lain yang mungkin belum bisa diterima oleh masyarakat dengan cara yang masyakat pahami.

Dengan keampuan berkomunikasi secara emphatic maka berbagai gejolak, perselisihan dll dapat dihindarkan, sekaligus dapat membuka jalan agar berbagai program, perbagai aturan dan kebijakan baru dapat dijalankan dengan dukungan bersama.

Melatih Empati




1. Muhasabah

Menghitung diri adalah proses penilaian diri sendiri dengan perenungan (introspeksi) akan diri kita sendiri. Melalui proses ini kita akan mendapatkan ketajaman batin karena kita akan melakukan katarsis (pembersihan, tazkia) bathin kita yang mungkin berdebu. Dengan bathin yang bebas debu ini lah kita mampu menangkap aura-aura, pancaran-pancaran pribadi orang yang kita hadapi. Bathin kita sering diumpamakan sebagai kaca (miskah), jika kaca berdebu, maka dia tidak mungkin mampu menangkap cahaya, warna dari obyek-obyek di depannya.

2. Curhat
Mengasah ketajaman emphatic dengan banyak mencobanya dalam mengahadi curah hati (curhat) dari siapapun dengan benar-benar berusaha memahaminya, dan memposisikan diri sebagai orang yang curhat tersebut. Melatih-dan melatih seakan kita mengasah pisau emapti kita agar terus tajam.

3. Teposeliro

Memposisikan diri kita pada posisi orang lain, dalam masyarakat jawa disebut sebagai teposeliro. Perilaku ini harus menjadi perilaku kita sehari-hari sehingga secara tidak langsung kita melakukan pengasahan, penajam melalui kehidupan keseharian. Jika hal ini sudah tertanam dan menjadi karakter kita, maka secara otomatis akan “muncul” sendiri ketika dibutuhkan. Sikap spontan berempati akan otomatis terjadi saat kita melakukan komunikasi.

4. Visiting and Roleplaying

Untuk mengasah emphati kita juga dapat dilakukan dengan visiting dan observasi, kunjungan dan observasi kepada berbagai lingkungan dengan berbagai karakternya. Hasil observasi dan visiting ini dapat ditindaklanjuti dengan melakukan dengan perenungan dan jika perlu dengan melakukan role playing, pemeranan dari berbagai ragam kondisi, latar belakang, fikiran dan juga perasaan dari peran-peran yang beragam. Proses role playing yang disertai dengan internalisasi (teposalira) peran-peran akan memungkinkan kita memahami peran-peran itu dan bagaimana berkomunikasi dengannya.

Mudah-mudahan ada manfaatnya.