MISI

***************** A MAN WHO WANT TO CREATE AN EDEN IN THE WORLD *****************

Selasa, 26 November 2013

KOLONIALISME TEKNOLOGI DAN KEDAULATAN TEKNOLOGY IRAN

Kemandirian teknologi Iran adalah kunci keberanian Iran menghadapi negara-negara yang ingin “Menangnya” sendiri ! Sikap Iran yang istiqomah mempertahankan kedaulatan negaranya termasuk kedaulatan teknologi nuklirnya adalah sebuah contoh yang mestinya perlu diambil oleh negara-negara lain. Tanpa hal itu, sebuah negara hanya akan menjadi bulan-bulanan, sadap menyadap, kolonialisme melalui teknologi. Apa yang ditunjukan Iran kepada dunia melalui pidato yang disampaikan oleh Pemimpin Agung Iran, Ayatollah Ali Khamen ei, yang disampaikan dalam sebuah pidato di tengah pembicaraan krusial di Jenewa atas perselisihan program nuklir Iran. Pimpinan Agung Iran itu bersumpah negaranya akan tetap melanjutkan program nuklir.
Ketegasan Iran menghadapi ketidak adilan teknologi Pimpinan Agung Iran menegaskan akan tetap mempertahankan sekuat tenaga hak-hak bangsa Iran termasuk hak (mengembangkan) nuklir. Khamenei membulatkan tekad Iran untuk tidak akan mundur selangkahpun dalam mempertahankan dari hak-hak bangsa Iran.
Tanpa kita sadari sebenarnya teknologi telah menjadi cara baru dalam menguasaan satu negara atas negara lain. Teknologi satelit komunikasi misalnya, boleh jadi dijual belikan kepada negara lain, disampin untuk mengambil keuntukan dari perdagangan teknologi komunikasi itu sendiri, juga dapat dijadikan sebagai alat penjajahan, penguasaan suatu negara atas negara berdaulat lainnya. Satelit komunikasi yang dijual belikan kepada negara lain boleh jadi merupakan “satelit-satelit anakan” yang berada dalam naungan sayap “satelit Induknya”
Demikian juga dengan teknologi informatika, “bank data” Google, Yahoo dan sejenisnya, merupakan “Sumber Informasi” yang sangat subur bagi tumbuhnya kemakmuran pemilik dan negara pemiliknya. Dengan memanfaatkan data yang ada disana, berbagai kebiojakan strategis dapat diambil untuk menguasa berbagai bidang kehidupan. Ekonomi, sosiala, hukum, gaya hidup, dll.
Oleh karena itu, dari pada kita harus membuang berbagai sumber daya untuk mencounter masalah penyadapan, lebih baik berbagai sumber daya itu diperuntukan bagi pembangunan kedaulan teknologi kita. Ibarat sebuah hubungan anatar tetangga, agar apa yang dibicarakan dalam bilik kita tidak terdengar tetangga, akan lebih efektif kita memasang peredam dirumah kita dari pada kita harus bersitegang dengan tetangga kita.
Kita sekarang dihadapkan dengan fakta, bahwa negara-negara yang semula hancur paska Perang Dunia II seperti German dan Jepang, memiliki kekokohan bidang lain setelah mereka fokus pada pengembangan penguasaan teknologinya dalam masa-masa sulitnya. Bahkan Negara dengan penduduk luar biasa besarnya, China, karena pengembangan pembangunannya dilandasi kemandirian teknologinya, maka dibidang lain pun China sangat disegani.
Sikap istiqomah Iran dalam memperjuangkan kedaulatan negaranya termasuk kedaulatan teknologinya memanen hasil manis. Perundingan dengan enam kekuatan dunia pada akhirnya mengakui hak nuklir Iran. Tidak hanya terkait dengan hak nuklir Iran, namun Iran pun mendapatkan kemenangan atas sikap istiqomah dan keberaniannya memperjuangkan hak-hak rakyat Iran dengan dicabutnya sejumlah sanksi atas Iran.
Keberhasilan Iran ini sudah barang tentu mengusik Israel sebagai anak emas Amerika. Keterusikan itu jelas-jelas ditandai dengan kenyataan presiden USA Barrack Obama “bela-belain” yakinkan Israel terkait kesepakatan Dengan Iran tersebut. Obama menelpon Netanyahu untuk meyakinkan bahwa kesepakatan dengan Iran bersifat sementara dan pencabutan sanksi atas Iran juga sangat terbatas.
Betapapun sifatnya yang sementara dan terbatasnya pencabutan sejumlah sanksi atas Iran, keberhasilna Sikap Istiqomah dan keberanian pemimpin Iran untuk memperjuangkan hak-hak rakyatnya sangat perlu mendapat aspirasi dan layak dicontoh. Memang, Sejarah juga telah menorehkan tinta emas akan kesuksesan Iran dalam melawan USA dan sekutu-sekutunya, terutama pada saat Revolusi Islam Iran di tahun 1979 yang kemudian menjadi salah satu inspirasi bagi kebangkitan Dunia Islam pada awala abad XV Hijriyah, 1400 H. Oleh karenanya USA dan sekutu-sekutunya akan selalu berhati-hati dan tidak gegabah apalagi memaksakan kehendaklnya terhadap Iran.
Yang harus menjadi fokus Iran pasca perundingan tentunya adalah bagaimana dapat menjalankan semua clausul kesepakatan dengan penuh amanah sekaligus juga harus “melangkah” dengan penuh kehati-hatian akan jebakan ranjau kesepakatan yang mungkin akan ditabur oleh USA dan sekutu-sekutunya yang memang selalu ingin menangnya sendiri. Ranjau jebakan ini sangat mungkin ditaburkan mengingat penjelasan Barack Obama terhadap Netanyahu itu. Meyakinakan akan kesementaraan kesepakatan dan pembatasan pencabutan sanksi menurut hemat penulis menunjukan bahwa terdapat banyak “Hidden Agendas” yang akan dilakukan oleh musuh-musuh Republik Islam Iran tersebut.
Meskipun banyak ranjau jebakan dipasang musuh-musuh Republik Islam Iran, namun penulis yakin akan komitmen pemimpin dan seluruh rakyat Iran pada nilai-nilai Islam yang mereka yakini, dan mereka terapkan dalam penyelenggaraan negara, maka penulis yakin Iran akan melangkah dengan langkah tegap penuh keyakinan akan kemenangan rencana Allah atas rencana-rencana (hidden Agendas) yang telah musuh-musuh Republik Islam Iran secara licik buat. Keyakinan bahwa Allah sebagai khoirul makirin (pembuat rencana terbaik) akan membimbing Pemimpin dan Bangsa Iran untuk memenangkan rencananya.
Meski berbeda karakter dan bidang, keberanian yang sama pernah ditunjukan oleh Pemimpin besar bangsa Indonesia Bung Karano kepda dunia, negara-negara kapitalis Amerika dan sekutunya. Lahirnya Game of The New Force (Ganefo) yang diinisiative Presiden RI tersebut untuk melawan poliytisisai bidang olah raga melalui Olimpiade , selain telah memacu berdirinya stadion olahraga bertaraf Internasional, juga ternyata mendapat dukungan dari negara negara lain. Oleh karenanya, keberhasilan iran akan perundingan atas usaha dan keberaniannya secara bertahap akan mendapatkan dukungan dari negara-negara lain yang sebenarnya telah menyimpan protes atas sikap “seenaknya” sendiri negara USA dan sekutunya. Pada ahirnya Iran dan sahabat-sahabatnya yang penulis harap dari negara-negara muslim, akan menjadi kekuatan buffer, bagi kekuatan negara dengan julukan Raksasa Bunuh Diri alias Paman Sam.
Yang pasti para pemimpin Republik Rakyat Iran, para juru runding, para pemimpin negara, pemimpin spiritual tertinggi Ayatullah Khameini dengan sikap istikomah dan keberanian merupakan contoh terbaik dalam memperjuangkan nilai-nilai kesetaraan dan kesamaan hak-hak sesama bangsa di dunia ini. Khusus untuk para pemimpin kita , bangsa Indonesia, yang terasa selalu menunjukan sikap ndepe-ndepe kepada USA dan sekutunya, sikap para pemimpin Iran ini layak untuk direnungkan.
Laa yahsyaa illallaah, tidak takut keculai kepada Allah, mungkin itulah pesan inti dari sikap istiqomah dan keberanian pemeimpin Iran.Oleh karena itu, Jika NKRI ingin terlepas dari Kolonialisme Teknologi dalam berbagai bentuk dan implikasinya, maka mau tidak mau kita harus serius dalam membangun kemandirian dan Kedaulatan Teknologi. Memang tidak mudah, tetapi kita dapat belajar dari sejarah, bahwa kita memilik gen dari nenek moyang yang unggul dalam berbagai tekhnologi pada zamannya. Penmulis yakin gen itu telah diwariskan kepada kita, tinggal bagaimana kita memunculkannya dalam lingkungan yang kondusif untuk itu. Hindari konsumerisme tekhnologi.
Gabungan dari 2 tulisan di : http://politik.kompasiana.com/2013/11/26/kedaulatan-teknology-iran-pun-diakui-dunia-614189.html dan http://politik.kompasiana.com/2013/11/21/kedaulatan-dan-kolonialisme-teknologi-612957.html

Senin, 25 November 2013

Guru Sekedar Faktor Produksi Dari Industri Pendidikan

Di era Industri Pendidikan ini, guru tidak lebih berfungsi sebagai satu alat produksi pendidikan. Kondisi ini lahir dari sistem pendididikan nasional yang memungkinkan tumbuhnya komersialisasi pendidikan. Sistem ini tentu saja menyimpang jauh dari idealisme pendidikan yang diamanatkan oleh konstitusi negara, UUD 1945 yang menekankan bahwa upaya mencerdaskan kehidupan bangsa adalah mutlak sebagai janji kemerdekaan RI.
Pada UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional diberikan bagian khusus tentang pendidikan berbasis masyarakat (Pasal 55) yang merupakan bagian dari Bab XV UU sisdiknas yakni Peran Serta Masyarakat Dalam Pendididikan bagian ke dua, esensinya dalah dikhotomis pendidikan. Disamping bagian ini mencoba mengatur pendidikan swasta (dengan istilah berbasis masyarakat) sekaligus membuat rancu pendidikan pemerintah (negeri) “yang seolah tidak berbasis pada masyarakat” sekaligus tidak ada peran serta masyarakat.
Meski Bab XV itu sesungguhnya merupakan bagian menampung partisipasi masyarakat dalam bidang pendidikan, namun dalam kenyataannya bab itu menjadi payung hukum bagi pemerintah dalam melepas sebagian tanggunggung jawabnya. Dengan bab itu Pemerintah “seakan” hanya bertanggung jawab penuh pada sekolah-sekolah negeri, sedang sekolah sekolah yang dikelola masyarakat bukan tanggung jawab pemerintah sepenuhnya.
Realitas lebih pahit dapat dijumpai di lapangan, bahwa sekolah-sekolah yang dikelola masyarakat (swasta - pen) tidak jarang menjadi sapi perahan bagi pejabat-pejabat (pengawas dll) dalam bentuk keharusan keharusan SPJ, TST dalam berbagai hal, dan harus memenuhi standar-standar yang ditetapkan. Sekolah-sekolah swasta yang kecil bukan dibantu untuk berkembang, tetapi sebaliknya diancam untuk ditutup dan dimerger. Sekolah-sekolah umat, bernasib sudah jatuh tertimpa tangga. Sementara sekolah-sekolah yang wah justru mendapat kedekatan penuh. Pemerintah tidak lebih bertindak sebagai pendorong kapitalisasi pendidikan.
Meski swasta tidak identik dengan komersialisme, namun pada realitasnya , karena tuntutan yang terkait dengan kebijakan kebijakan bidang pendidikan, Penyelenggara pendidikan oleh masyarakat (yayasan) tidak jarang terjebak pada penyelenggaraan pendidikan yang menekankan keuntungan. Pendidikan tidak lain adalah industri jasa dengan guru sebagai salah satu faktor produksinya. Dalam kontek guru sebagai faktor produksi dari industri pendidikan, maka pakem guru yang semula adalah “digugu dan ditiru” dengan segala integritasnya, bergeser sebagai Front line, bahkan sekedar costumer Service yang harus tampil dengan costumer satisfactionnya, harus tampil sebagai pemuas pelanggan dalam hal ini siswa dan orang tua siswa.
Guru yang semula memegang filosofi “Ing Ngarso sung tulodo, ing madya mangun karsa dan tut wuri handayani” harus bersedia tampil sebagai pribadi yang berperilaku dan bersikap siap memuaskan costumernya secara totalitas. Di samping itu, keunikan guru sebagai pribadi, yang dalam sejarah justru menciptakan murid-murid lebih habat, harus mau dilebur sesuai dengan Standard Operational Procedure (SOP) yang sangat rigid.
Jika terus dibiarkan, maka dimasa depan akan muncul dua kutub produk pendidikan, yakni pendidikan swasta yang lebih cenderung menuntut “kepuasan dirinya” seperti proses yang terjadi pada industri pendidikan tentu saja dengan segala variasinya, sementara itu hasil pendidikan yang tidak berbagis masyarakat (negeri) memiliki karakternya sendiri. Ini sebuah tantangan yang luar bisa, bahkan dapat membahayakan masa depan bangsa. Kita tidak bisa begitu saja menafikan hal ini, sebab dalam kontek pendidikan, kita dapat mengenal berbagai mafia seperti mafia Barclay dan sejenisnya.
Terkait dengan hal itu, sebagikanya ada perbaikan sistem pendidikan nasional dimana, seluruh pendidikan formal dari tingkat terendah hingga tingkat tertinggi benar-benar dikelola dan mutlak tanmggung jawab Negara sehingga seluruh proses harus disesuaikan dengan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa yang sesuai dengan amanah konstitusi. Sedangkan partisipasi Masyarakat dapat diwujudkan dalam upaya memperkuat pendidikan formal yang diselenggarakan negara atau mengambil peran dalam pengembangan pendidikan informal maupun nonformal.
Dengan perubahan pada sistem pendidikan nasional terutama pada pendidikan formal, maka guru, dosen, ustadz, ustadzah dan karyawan pendidikan formal seluruhnya menjadi tanggung jawab pemerintah, sekaligus harus menjadi abdi negara yang bertugas mewujudkan kecerdasan bangsa dan menumbuhkan generasi yang benar-benar komitmen pada dasar falsafah dan tujuan bangsa Indonesia.
Kelas kelas pendidikan formal, tidak lagi sekedar disekat-sekat berdasar IQ maupun tinggi rendahnya jumlah nilai dari pendidikan formal; sebelumnya, tetapi didesign untuk menjadi miniatur Indonesia, dimana anak-anak bangsa yang berbineka berproses tumbuh bersama dengan saling asah, asih, dan asuh yang difasilitasi oleh pendidik-pemdidik berkarakter tangguh bukan berkarakter memuaskan pelanggan !

Minggu, 17 November 2013

Kampanye "Copy Paste" dan Bahaya Sinterklas Kampanye

Dalam sejarah Pemilu di Indonesia, konsep peraihan sura yang pernah dilakukan adalah “Konsep : sekasur, sedapur dan sesumur” yang pernah dilakukan oleh beberapa pemilu era orde baru. Konsep perekrutan suara yang dilakukan konsisten oleh Golkar pada akhirnya dicopy paste juga oleh kompetitornya PPP (Partai Persatuan Pembangunan) dan PDI (Partai demokrasi Indonesia). Bagaimana Golkar sejak pemilu pertama di era Orde Baru sudah menerapkan hal tersebut dapat penulis rasakan, sebab perusahaan dimana ayah penulis bekerja, menekankan dan mengabsen keluarga yang memilik hak pilih untuk hadir pada kampanye yang diadakan oleh perusahaan itu. Sehingga otomatis bagi keluarga yang tidak memiliki penjaga rumah/penjaga anak, anak-anaknya dibawah. Kampanye tidak ubahnya dengan family gathering. Indokrinasi harus memilih Golkar tidak hanya tertuju kepada ayah sebagai karyawan perusahaan itu, tetapi juga kepada Ibu disaksikan anak-anaknya. Mungkin dibalik itu semua diharapkan terjadi “kaderisasi dini” kepada anak-anak yang belum sepenuhnya tertarik politik.
Proses seperti itu bagi penulis kecil menjadi semacam tekanan, sebab dalam diri penulis telah terbentuk komitmen lain. Ustadz Penulis di suro (langgar) adalah tokoh Nahdlatul Ulama dan mendukung NU pada pemilu pertama era orde baru itu, penulis merasa lebih cocok dengan cara-cara kreatif Pak Ustadz dalam melakukan kampanye. Sebagai misal, karena saat itu percetakan terbatas di desa kami, dan juga mungkin dana Pak Ustadz yang hanya mendapat uang Kemisan dari murid-murid yang bukan fakir miskin dan yatim (kelompok ini gratis), Pada satu jadwal mengaji khoth (seminggu jadwal berganti ganti), Pak Ustadz menyuruh membawa gelas dan pena (dengan tinta), kemudian pada saat mengaji pak Ustadz menyuruh kami membuat Khott “Nahdlatul Ulama” di atas bulatan yang dibuat dari gelas, dan jadilah lambang Nahdlatul Ulama. Karya itu dinilai kemudian ustdaz menyuruh memasang di rumah kami masing-masing.
Karena pendekatan Ustadz begitu menarik dan telaten dalam mendidk kami di suro, maka orang tua-orang tua kami pun menjadi hormat dan taat. Dari pengalaman masa kecil ini penulis memiliki pembelajaran tersendiri termasuk bekal untuk menghadapi musim kampanye pemilu 2014 yang telah dimulai sejak DCT diumumkan beberapa waktu lalu.
Sewaktu remaja dan NU bergabung ke dalam PPP, pada Pemilu 82, selama musim kampanye istilah “sekasur. sedapur, sesumur pun ternyata telah dicopy paste oleh partai dimana penulis aktif yakni PPP dan karena penulis juga berinteraksi dengan pemuda-pemuda Marhaen, penulis juga menjadi tahu, ternyata konsep itu juga menjadi konsep yang disarankan oleh PDI. Kampanye Copy Paste menjadi sangat dominan bahkan seolah menjadi mutlak dilakukan setelah kita semua menyaksikan keberhasilan Jokowi dangan model blusukannya. Saat ini hampir semua caleg, bahkan ssampai-sampai Petinggi PD menyoroti 11 peserta konvensi capresnya dengan intensitas blusukannya. Blusukan model Jokowi seakan menjadi cara satu-satunya untuk memenangkan peraihan suara. Meski ada yang menggunakan istilah lain Silaturrahmi atau silaturrahmi berkelanjutan. Tentu saja hal ini dapat mebuat kita kecele. Copy Paste metode kampanye itu kadang menjadi tidak rasional dan seakan meninggalkan efektivitas dan effesiensi. Hampir semua memantau dengan sejauh mana seseorang caleg telah melakukan blusukan. Argumentasi-argumentasi pun dikeluarkan untuk mempercantik copy paste kampanye itu. Persepsi, hati, keterikatan terhadap seorang caleg disamakan dengan bagaimana kita menjual barang. Empat tahapan seakan menjadi dogma, mengenal, tertarik, membutuhkan dan membeli adalah keharusan tahapan yang mesti dilalui untuk pada akhirnya memilih.
Dalam hal apapun, tidak ada metoda atau cara yang dapat berlaku general, tidak ada satu metoda yang berlaku efektif untuk semua kondisi. Nah justru kondisi yang semestinya menjadi prasarat dipahami untuk menerapkan satu metoda kampanye itu justru dilupakan. Pemotretan, peta politik lengkap dengan posisioning yang sesuai SWOT Caleg dan Kompetitor beserta faktor-faktor lain kadang kurang mendalam di kaji. Caleg berseliweran, tunggang langgang, berlomba-lomba membawa “buah tangan” ke satu tempat layaknya seorang sinterklas untuk “menaklukan tempat itu” menjadi pemandangan yang tidak asing. Masyarakat yang telah dikondisikan dalam sistem kapitalis pun memanfaatkan situasi, hukum ekonomi kapitalispun dengan fasih diterapkan oleh masyarakat. Adagium “wani piro” mendapatkan posisi centralnya. Jika hal ini terus berlanjut, maksud kampanye sebagai pendidikan politik bagi masyarakat tidak akan pernah tercapai. Masyarakai mendapatkan pendidikan politik yang bias bahkan menipu. Ujung-ujungnya nasib bangsa ini tidak akan pernah berubah, jika semua terjerumus dalam satu sikap copy paste kampanye.
Jika penulis ditanya, kelihatannya kok santai-santai saja, sudah barang tentu, karena penulis dan kawan-kawan Bedol Senayan Community ingin mendapatkan kemenangan, tentu tidak akan tinggal diam. Seorang mentor Politik (Doktor Politik dari UGM) bertanya apa saya melakukan blusukan, tentu saya jawab ya ! tetapi saya blusukan dengan cara lain, blusukan ke melalui hati dan pemikiran pmasyarakat terutama yang mau berfikir dan ingin cerdas beserta penjelasannya. Penulis yakin masyarakat kita adalah masyarakat yang cerdas, itu bisa dibuktikan dari berbagai pilkada. Yang pasti, pembelajaran dari Pak Ustadz dalam menundukan hati masyarakat adalah pelajaran berharga. Ayah yang dulunya aktivis PNI dan Menolak (di Belakang) dalam menghadapi atasannya yang Golkar untuk mempertahankan pekerjaannya, sungguh membuat penulis terenyuh karena beliau ternyata sngat hormat dan patuh mengikuti aspirasi pak Ustadz meski ustadz hanya mengajak dengan sikap. Insya Allah hal itu telah penulis lakukan berpuluh-puluh tahun sehingga menjadi modal sosial. Mudah-mudahan pada saatnya, Allah akan menundukan hati-hati pemilih, dan membimbing tangan pemilih untuk mencoblos kami untuk mengembalikan NKRI yang berspirit Berkah Rahmah Allah Yang Maha Kuasa dan berjalan di atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena dua spirit inilah yang telah ditionggalkan oleh para penguasa dalam membangun Indonesia sehingga Indonesia menjadi kurang berkah seperti yang kita rasakan saat ini.
Kampanye pemilu adalah kegiatan peserta pemilu untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, program peserta pemilu dan atau informasi lainnya. Menurut UU Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, pada pasal 77 dinyatakan bahwa kampanye pemilu merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat dan dilaksanakan secara bertanggungjawab.Sedangkan Pedoman pelaksanaan kampanye pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD dijabarkan di Peraturan KPU nomor 1 Tahun 2013. Sementara itu, prinsip, fungsi dan tujuan kampanye pemiliu dapat dijabarkan sebagai berikut. Kampanye Pemilu dilakukan dengan prinsip efisien, ramah lingkungan, akuntabel, nondiskriminasi, dan tanpa kekerasan. Kampanye peserta pemilu dilakukan sebagai sarana partisipasi politik warga negara dan bentuk kewajiban peserta pemilu dalam memberikan pendidikan politik. Kampanye peserta pemilu dilakukan dalam rangka membangun komitmen antara warga negara dengan peserta pemilu dengan cara menawarkan visi, misi, program dan/atau informasi lainnya untuk meyakinkan pemilih dan mendapatkan dukungan sebesar-besarnya. Sebagai bagian dari pendidikan politik masyarakat Kampanye dilakukan secara bertanggug jawab. Bertanggung jawab tentu tidak sekedar dalam skala waktu terbatas saat melakukan kampanye, namun dampak dari pelaksanaan kampanye juga harus dapat dipertanggung jawabkan. Melalui pendididikan politik ini pada akhirnya bermuara pada pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara yang bertanggung jawab, sebab pada hakekatnya kehidupan berbangsa dan bernegara adalah penerapan dari produk pendidikan politik itu sendiri. Kampanye yang penuh manipulative, koruptif dan bernilai negative lain, hanya akan menghasilkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang setara dengan itu.
Dalam konteks itu, maka Kampanye ala “Sinterklas”, perlu dihindari. Datang, menyuap dengan bawaan/sumbangan atau bahkan bagi-bagi uang, untuk mendapat dukungan adalah bentuk penafian pendidikan politik yang benar. Masyarakat digiring untuk mengambil keputusan dan pilihan dari bentuk, harga, kualitas dan kuantitas suapan terhadap seorang Calon , bukan dididik untuk mengambil keputusan dan memilih secara benar berdasar nilai-nilai ideal, terutama nilai-nilai ideal bangsa Indonesia yang terdapat pada konstitusi 1945 beserta peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagai bentuk intgritas seorang calon untuk bekal mengendalikan bahtera nasional yang bernama NKRI. Dampak negative lain dari pelaksanaan Kampanye gaya Sinterklas adalah hilangnya partisipasi masyarakat bagi pembengunan bangsa ke depan. Ini sangat membahayakan masa depan bangsa, sebab Negara membutuhkan partisipasi seluruh rakyat dalam menjalankan biduk pembangunan. Pemberian suapan berupa pembangunan-pembangun dan sarana-sarana umum yang semestinya menjadi tanggung jawab bersama, menuntut partisipasi seluruh masyarakat (swadana dan swadaya) disubtituti oleh suapan kampanye calon calon yang pada akhirnya menjadi elit bangsa.
Proses ini akan berdampak pada pelimpahan tanggung jawab bersama ke pundak elit penguasa. Sudah barang tentu dalam menghadapi problematika besar bangsa hal ini dapat menyebabkan gejolak yang tidak diinginkan. Jangan salahkan masyarakat ketika manyarakat seakan hanya menuntut apapun dari penguasa tanpa keinginan memikul beban bersama karena masyarakat telah dididik secara distrosif saat kampanye. Banyak peristiwa yang selayaknya disadari sebagai beban seluruh bangsa pada akhirnya hanya ditumpukkan ke pundak penguasa, baiak eksekutif maupun legislatif. Hal ini merupakan hasil pendidikan politik yang kurang mendidik dari para calon pemegang amanah eksekutif maupun legislatif melalui kampanye berpola sinterklas. Pola kampanye sinterklas sendiri lebih banyak didasari oleh ketidak percayaan diri para calon untuk mendapat dukungan tulus sesuai nilai-nilai ideal masyarakat kita. Hal ini tentu saja disebabkan banyak faktor, terutamanya adalah tidak dimilikinya modal sosial sang calon akhibat kehidupan sang calon yang “berjarak dengan tanggung jawab sosialnya”. dengan kata lain para sinterklas kampanye sesungguhnya orang-orang yang selama ini tidak bertanggung jawab pada denyut nadi kehidupan masyarakat. Bagaimana mereka dapat menjadi wakil rakyat ?
Padahal, jika kita belajar dari hasil Pilkada, bahkan dari hasil-hasil penelitian yang ada, bahwa kampanye gaya sinterklas dalam bentuk money politik atau suap masal, hasilnya sangat tidak efektif. Oleh karenanya, bagi para caleg yang bermodal social, integritas berbangsa dan niat baik untuk mengubah NKRI menjadi baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur, tidak perlu goyah dengan strategi kampanye yang bertujuan “meningkatkan kecerdasan Politik dan partisipasi masyarakat” melaui penyadaran bukan melalui iming-iming dan atau amang-amang, sebab kampanye kita adalah kampanye yang ideal kampanye yang dibutuhkan. Dan hal itu, akan direspon positif oleh seluruh rakyat Indonesia yang kian cerdas. Pemilih cerdas justru akan berpartisipasi aktif dalm setiap tahapan termasuk tahapan kampanye karena pemilih cerdas telah memiliki standar dalam memilih wakil atau pemimpinnya. Partisipasi aktif mereka tidak terbatas pada ide, tenaga dan waktu. Materi, sumbangan finansial pun mereka lakukan untuk memenagkan calon idealnya. Dengan demikian dana mengalir dari rakyat, diolah rakyat dan untuk memperjuangkan wakil rakyat atau pemimpinnya. Demokratisasi dana benar-benar berjalan. Tidak apa yang terjadi selama ini, “pola sinterklas” disukung oleh dana dari pihak-pihak tertentu, yang sesungguhnya berharap kepentongannya diperjuangkan oleh caleg tersebut. Jika dana berasal dari rakyat dan kembali kerakyat, maka kepentingan rakyat banyaklah yang mutlak harus diperjuangkan bukan pengusaha atau konglemerat yang berinfestasi melalui Pola sinterklas” kampanye.
Berpartisipasilah rakyat dalam berbagai tahapan baik dengan harta maupun jiwa untuk memperjuangkan anak-anak bangsa yang memiliki integritas untuk mengubah Indonesia menjadi lebih baik. Go to Hell sinterklas kampanye, dan selamat menapaki jalur yang benar , bergandengan dengan seluruh bangsa Indonesia yang semakin cerdas menentukan pilihannya untuk masa depan bangsa. Kami mengundang sahabat semua dalam partisipasi politik dalam kampanye kami dengan bentuk apapun termasuk dalam pengadaan kaos, poster, banner, baliho, maupun yang lainnya termasuk menjadi relawan dalam mencari berbagai dukungan tulus. Partisipasi dalm bentuk dana dapat ditranfer ke Dana a.n Darwono BNI. Rawamangun No. 0297149735.
Besar sumbangan perorangan maksimal sesuai Peraturan KPU adalah Rp. 1 Miliar (satu miliar Rupiah). Semua dana kampanye dilaporkan ke KPU. Darwono, Jurkam Nasional Pemilu 2014 Partai Bulan Bintang. Caleg DPR RI Dapil DKI 1 (Jakarta Timur) No. 4.

Senin, 04 November 2013

Happy Islamic New Year 1435 H, Ahlan wa sahlan fii dzilalin Qur’an

Pergantian penanggalan tahun Saka menjadi tahun Hjriyah, disambut dengan pesta rakyat yang luar biasa. Rakyat membawa berbagai hasil panen, dan hasil ternak termasuk kerbau di dalamnya ke alun-alun untuk dinikmati bersyama sebagai rasa syukur. Peristiwa tersebut dikenal sebagai Grebeg Syuro atau Grebeg Muharram. “Jadi esensi dari grebeg Syuro adalah rasa syukur dan bahagia atas ditetapkannya penanggalan Hijriah di Jawa” demikian ungkap Ketua Umum Partai Bulan Bintang, DR. MS Ka’ban pada suatu kesempatan.
Jika awal pemberlakuan tahun Hijriah di kasultanan-kasultanan Jawa ditandai dengan adanya grebeg syuro, maka pergantian abad XIV ke abad XV hijriyyah diwarnai oleh tekad bersama kaum muslimin di seluruh dunia menjadi abad kebangkitan Islam ke 2. Abad kebangkitan ke 2 ini diwarnai oleh jawaban jujur atas pertanyaan “Mengapa Kaum Muslimin Mundur dan Umat Lain Maju ? jawaban jujur atas pertanyaan ini adalah karena kaum muslimin meninggalkan al Quran. Sintesa dari hal ini adalah dunia Islam merasa perlu untuk bangkit, Ruju Ilaa Qur’an wassunah, bangkit kembali kepada Al Qur’an dan Assunah.
Berbagai referensi dan pemikiran dalam berbagai bentuknya menjadi pendorong menggeloranya semangat ini. Buku La Bible, La Qur’an et La Science, hasil karya mualaf intelektual Perancis, Prof. Dr. Maurice Bucaile, merupakan buku kajian kritis tentang Bibel, Kuran dan Scinece Modern yang mendonrong kaum muda kampus terutama yang bergerak dibidang science melakukan refleksi besar-besaran atas apa yang telah dilakukan selama ini.
Sementera itu, buku-buku sosial tulisan Cendikiawan Iran Al Shariati, seperti Tugas Cendikiawan Muslim, Haji, dll menempati tempat sendiri di kalangan kaum muda Islam yang tergabung dalam kegiatan-kegiatan dkwah kampus. Demikian Juga di bidang sastra, karya -karya Muhammad IQbal dari Pakistan yang sungguh menggerakan menyemarakkan pula berbagai aktifitas keagaaman kampus-kampus. “Tak ada tempat berhenti di jalan ini, sikap lamban berarti mati, mereka yang bergerak merekalah yang akan tampil ke depan, mereka yang berhenti sedetikpun, pasti tergilas ! seakan menjadi seruan membumi dari seruan langit Hayyaa ‘alal falaah !
Keyakinan akan hidup yang mulia di bawah petunjuk Al Quran jika kita menjalaninya dengan sungguh-sungguh, menjadi motivasi sendiri. Seperti ditulis Sayid Qutb pada Mukadimah tafsir Fidzilalin Quran, “Al hayatu fii dzilalin Qur’an Ni’mah, Ni’matahu laa ya’rifuha illa man dzakkahaa”, Hidup di bawah naungan al Quran sungguh Nikmat. Kenikmatannya tidak pernah dirasakan kecuali bagi mereka yang memperjuangkannya”. Menjadi pendorong tersendiri bagi setiap aktivis gerakan kebangkitan Islam untuk mengambil bagian sebanyak-banyaknya untuk mereguk kenikmatan hidup di bawah naungan al quran sebanyak-banyaknya pula.
Di tengah semarak kebangkitan itu, penulis mengamati ada hal-hal yang perlu diluruskan, Februari 1985 penulis merilis puisi berjudul “Adakah Kita Bangkit ” melalui harian Pelita jakarta. Salah satu bait puisi penulis tersebut adalah “Kebangkitan yang terbangun dari mimpi semalam, sebelum sadar hari kemarin, adalah bergegas menuju kehancuran berulang”. Puisi merupakan hasil introspeksi penulis atas apa yang terjadi pada “Training Mentor Agama Islam Fakulats-Fakultas di UGM” yang diselenggarakan oleh Jama’ah Shalahuddin di Pondok Pesantren Budi Mulia Yogyakarta. kebetulan penulis sebagai Master Training pada acara tersebut.
Masalah yang muncul akhibat perbedaan persepsi begitu menyita sebagian waktu training yang telah terschedule rapih. Satu kelompok menolak seorang Ibu, Doktor Psikologi memberi pembekalan kepada para calon mentor karena berdandan sebagaimana Ibu pada umumnya. Memakai kerudung ala Indonesia, dan ber make up sebagaimana Ibu-Ibu. Meski pada ahirnya hal itu bisa diselesaikan dengan membagi peserta menjadi dua, namun peristiwa itu cukup mermbekas sehingga penulis muncul proses kreatifnya menjadi puisi “Adakah Kita Bangkit” dan karya esei yang berjudul ” Tipologi Da’i Muda Kita” yang diterbitkan oleh Masa Kini Yogyakarta.
Grebeg syuro saat ini selalu dilaksanakan terutama di Kasultanan Yogyakarta dan Surakarta. Kita melihat, ada pergeseran nilai terutama yang terjadi di Surakarta (Solo) dengan Fenomena Mbah slametnya, yang lebih mengarah ke sinkritisme. Sementara Gema Ruju Ilaa Quran Wa Sunah yang merupakan tema sentral Kebangkitan Islam Dunia Islam saat ini juga menuju “kehancuran berulang”. Dua hal yang sama sama meprihatinkan bagi kita semua, mau tidak mau harus kita yang berusaha untuk memperbaikinya.
Memperingati Tahun Baru Hijriah 1435 H ini, selain penulis ingin menyampaikan selamat “Berhijrah” sebagai spirit “tahun Hijriah” juga izinkan menghimbau kembali kepada seluruh kaum muslimin, mari tekad Ruju’ ilaa Qur’an Wa Sunah ini kita realisasikan dalam kehidupan kita. Kita bahu membahu untuk bersatu dalam Qur’an Dan Sunah Rasul-Nya, karena hanya dengan berpegang kepada keduanya, kita dijamin tidak akan tersesat selama-lamanya, sebagaimana amanat Baginda Rasul Untuk Kita semua.
Happy Islamic New Year 1435 H, Ahlan wa sahlan fii dzilalin Qur’an ! Sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2013/11/04/grebeg-syuro-dan-ruju-ila-quran-wa-sunnah-607539.html

Jumat, 01 November 2013

INTEGRITAS NKRI ADALAH JIWA MASYUMI

Setiap memasuki bulan November, banyak hal yang dapat dijadikan pendididikan berbangsa, disamping ada Pertempuran 10 November di Surabaya yang kemudian diperinagtai sebagai Hari Pahlawan, juga ada hal yang lebih besar yakni pengakuan Proklamasi Kemerdekaan RI yang disampaikan Raja Saudi Arabia saat itu di hadapan jma’ah haji seluruh dunia di Padang Arafah, bertepatan wukuf musim haji 1945. Pengakuan itu tidak tanggung-tanggung, sebab Raja pun mendorong seluruh jamaah haji sekembalinya di negara masing-masing untuk meminta negaranya mengakui kemerdekaan Indonesia. Hal itu terkait dengan diplomasi-diplomasi yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Masyumi.
Peperangan 10 Nopember pun tidak terlepas dari peran tokoh pendiri Masyumi, KH Hasyim As’ari, yang menyerukan fatwa jihad dalam kapasitas beliau sebagai Ketua Dewan Syuro Partai Masyumi, dengan fatwa itu, spirit arek-arek Surabaya untuk berjihad menegakkan kemerdekaan Indonesia berkobar dan dapat memenangkan pertempuran heroik tersebut. Kemenangan itupun tidak terlepas dari peran diplomasi Tokoh Masyumi, yang pidatonya ditindak lanjuti oleh Ali Jinah, yang kemudian menginstruksikan kepada seluruh pasukan muslim yang berada di kapal sekutu untuk tidak ikut menyerang Indonesia sebagai sesama muslim. Dengan adanya diserse dari pasukan muslim tersebut otomatis menurunkan mental pasukan sekutu sebelum berperangm dan yang pasti kekuatan pasukan sekutu menjadi berkurang. Subhanallah, berkah rahmat Allah yang maha kuasa itu, arek-arek Surabaya dapat memenangkan pertempuran.
Oleh karena itu, sentral moment bulan November sesungguhnya ada pada Peringatan Berdirinya Partai Masyumi yang didirikan oleh Hadratussech KH. Hasyim As’ari bersama semua pemuka organisasi Islam kala itu sebagai hasil aklamasi dari para tokoh muslim yang diselenggarakan di Yogyakarta. 7 Nopember 1945, Partai masyumi resmi menjadi keputusan sebagai kesadaran untuk membangun Indonesia sejak masih baru lahir dengan kekuatan politik Islam, untuk mencapai tujuan Indonesia merdeka sebagaimana tertuang dalam mukadimah UUD 45.
Melalui suratnya No. 1801BNI-25/60 tanggal 13 September 1960, partai masyumu membubarkan diri. Partai Masyumi membubarkan diri untuk menghindari cap sebagai partai terlarang, dan korban yang tidak perlu, baik terhadap anggota Masyumi dan keluarganya, maupun aset-aset Masyumi. Kedua, menggugat Sukarno di pengadilan. Usaha Masyumi mencari keadilan di pengadilan menemui jalan buntu. Kebuntuan itu terjadi karena adanya intervensi Sukarno terhadap pengadilan. Keputusan Pimpinan Partai Masyumi yang membubarkan diri, temyata bisa diterima anggota Masyumi. Anggota Masyumi tidak melakukan pembangkangan terhadap Pimpinan Masyumi. Meskipun Partai Masyumi sudah bubar secara material, namun di kalangan anggota Masyumi masih merasa Masyumi tetap hidup dalam jiwa mereka. Oleh karena itu, mereka tetap memandang para pemimpin mantan Masyumi sebagai pemimpin mereka.
Jiwa itu tetap berkobar meski menghadapi tekanan dari penguasa pasca Sukarno, salah satunya adalah pengajian Pitunop (pitu nopember, Tujuh nopember, harlah Masyumi) terus aktik dan menjadi salah satu pengajian faforit penulis saat di Kuliah di UGM Yogyaakarta. Disamping itu, jiwa kepejuangan kader-kader masyumi untuk tetap membangn bangsa, disalurkan melalui berbagai kegiatan sosial keagamaan yang tidak hanya menyelenggarakan tabligh, tapi juga kegiatan riil, di Yogyakarta ada Pengajian Bulan Purnama, yang digerakkan oleh Bpk. Ahmad Darban ayah DR. Adabi Darban (sejarawan UGM) dan secara nasional tokoh masyumi tetap berkiprah salah satunya melalui Dewan Dakwah Islam yang terkenal dengan DDI. Dengan salah satu karya besarnya adalah Dai Pembangunan, para dai yang menggerakan pembangunan bangsa dipelosok-pelosok seluruh tanah air dengan kerja serius.
Kerja serius Para dai pembangunan dan jajaran DDI seluruh Indonesia ini bisa penulis rasakan saat, penulis ambil bagian dalam pembuatan Peta Dakwah atas kerjasama Robitoh Alam Islami, DDI, Laboratorium dakwah Yayasan Shalahuddin Yogya, dan Al Irsyad. Setelah proyect pilot pemetaan Kabupaten Cilacap, kemudian Pak Natsir perlu peta dakwah nasional, Subhanallah, para dai pengurus DDI seluruh Indonesia hadir di Laboratorium Dakwah Yogya, dengan data lengkap hasil penelusuran mereka ke gnnung, lembah dan ngarai seluruh Indonesia. Sebagai fasilitator pada training strategy dakwah itu penulis menilai kader=kader masyumi yang tergabung dalam DDI dengan dai pembangunannya berkerja dengan penuh Integritas, jiwa interitas itulah jiwa Masyumi. Itulah mengapa kader-kader Masyumi dari waktu ke waktu berani mengahadapi berbagai tantangan dengan segala konsekuensinya. Dan itu telah dicontohkan oleh para pemimpin Masyumi sendiri saat menghadapi Rezim Sukarno.
Partai Masyumi seringkali mengkritisi dan menentang gagasan dan kebijaksanaan Sukarno. Adanya penentangan dan perlawanan Masyumi yang tidak putus-putusnya kepada Presiden Sukamo yang semakin mendorong dan meyakinkan Sukarno untuk membubarkan Masyumi. Faktor ketiga adalah untuk menjaga kesinambungan pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dan melestarikan kekuasaannya. Sukamokhawatir kalau Masyumi tetap dibiarkan hidup, maka akan mengancam kekuasaannya, dan menghambat jalannya Demokrasi Terpimpin. Itulah dendam sejarah yang ada pada Sukarno terhadap Masyumi.
Konflik Masyumi dengan Presiden Sukarno disebabkan beberapa hal. Pertama, masalah kedudukan dan kekuasaan dalam pemerintahan. Kedudukan dan kekuasaan Masyumi dalam pemerintahan sangat besar pada masa Demokrasi Parlementer, sementara pengaruh dan kekuasaan Presiden Sukarno sangat keciI. Mengingat kedudukan seperti itu, maka Presiden Sukarno ingin merebut kedudukan itu, dan terlibat secara langsung dalam pemerintahan. Sebab kedua, adanya perbedaan yang prinsipil mengenai demokrasi. Sukarno menginginkan Demokrasi Terpimpin, sementara Masyumi menolak dan menentang Demokrasi Terpimpin. Sebab ketiga, adanya perbedaan ideologi. Presiden Sukarno menggalang kerjasama dengan PKI yang berhaluan komunis.
Sementara itu, Partai Masyumi mempunyai ideologi Islam yang tidak mau bekerjasama dengan PKI, dan sangat kerns menentang komunisme. Adanya pcrbcdaaan ideologi antara PKI dan Masyumi, berimplikasi terhadap hubungan Masyumi dengan Presiden Sukarno. Sukarno lebih memilih PKI, dan konsekuensinya Sukarno hams menyingkirkan Masyumi. Usaha Sukarno untuk menyingkirkan Masyumi dilakukan dengan dua pendekatan. Pertama, pendekatan politik, dengan cara mengurangi dan menghilangkan peran politik Masyumi dalam pemerintahan dan legeslatif. Kedua, pendekatan hukum, dengan membuat beberapa peraturan yang menjurus kepada pembubaran Partai Masyumi.
Dari uraian di atas kita dapat melihat bahwa Masyumi dibubarkan bukan karena terlibat PRRI. Hal ini diakui sendiri oleh Sukarno kepada Bernhard Dahm pada tahun 1966. Sukarno mengatakan tidak dapat menyalahkan suatu partai karena kesalahan beberapa orang. Kalau begitu, keluarnya Keputusan Presiden No. 200 tahun 1960 merupakan bentuk sikap kesewenang-wenangan Sukarno terhadap Partai Masyurni. Pada sisi lain, pembubaran diri Partai masyumi oleh para pemimpin Masyumi untuk menghindari korban yang tidak perlu yang sangat mungkin terjadi jika Pemimpin Masyumi menyerukan Jihad Melawan rezim yang lebih pro ke PKI ketimbang Partai islam itu, menunjukan jiwa besar para pemimpin Masyumi, Integritas terhadap NKRI benar-benar telah teruji.
Menjelang pemilu 2014, kembali jiwa integritas Masyumi pada kader-kadernya yang berkumpul di Partai Bulan Bintang sungguh diuji. Apakah akan terjerumus ke arus neoliberalisasi yang telah menyeret semua partai partai Senayan ataukah menjadi pendekar-pendekar penyelamat NKRI menuju spirit yang diamanahkan oleh konstitusi, yakni spirit membangun NKRI atas dasar berkah rahmat Allah yang maha kuasa yang didorong keinginan luhur (Akhlaqul karimah) yang berlandas pada nilai-nilai Ketuhanan yang maha esa ? Pastinya, Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang DR. MS. Kaban telah menegaskan pada Launching Indonesia Memilih Ayo bersuara bertepatan dengan Peringatan hari Sumpah Pemuda, Senin, 28 Oktober 2013, bahwa PBB berkomitmen untuk membangun NKRI dengan landasan spirit Berkah Rahmah Allah yang maha Kuasa dan Ketuhanan Yang maha Esa. Bravo Masyumi, Bravo PBB !
Sumber : http://politik.kompasiana.com/2013/11/01/jiwa-masyumi-integritas-nkri-606775.html