MISI

***************** A MAN WHO WANT TO CREATE AN EDEN IN THE WORLD *****************

Minggu, 17 November 2013

Kampanye "Copy Paste" dan Bahaya Sinterklas Kampanye

Dalam sejarah Pemilu di Indonesia, konsep peraihan sura yang pernah dilakukan adalah “Konsep : sekasur, sedapur dan sesumur” yang pernah dilakukan oleh beberapa pemilu era orde baru. Konsep perekrutan suara yang dilakukan konsisten oleh Golkar pada akhirnya dicopy paste juga oleh kompetitornya PPP (Partai Persatuan Pembangunan) dan PDI (Partai demokrasi Indonesia). Bagaimana Golkar sejak pemilu pertama di era Orde Baru sudah menerapkan hal tersebut dapat penulis rasakan, sebab perusahaan dimana ayah penulis bekerja, menekankan dan mengabsen keluarga yang memilik hak pilih untuk hadir pada kampanye yang diadakan oleh perusahaan itu. Sehingga otomatis bagi keluarga yang tidak memiliki penjaga rumah/penjaga anak, anak-anaknya dibawah. Kampanye tidak ubahnya dengan family gathering. Indokrinasi harus memilih Golkar tidak hanya tertuju kepada ayah sebagai karyawan perusahaan itu, tetapi juga kepada Ibu disaksikan anak-anaknya. Mungkin dibalik itu semua diharapkan terjadi “kaderisasi dini” kepada anak-anak yang belum sepenuhnya tertarik politik.
Proses seperti itu bagi penulis kecil menjadi semacam tekanan, sebab dalam diri penulis telah terbentuk komitmen lain. Ustadz Penulis di suro (langgar) adalah tokoh Nahdlatul Ulama dan mendukung NU pada pemilu pertama era orde baru itu, penulis merasa lebih cocok dengan cara-cara kreatif Pak Ustadz dalam melakukan kampanye. Sebagai misal, karena saat itu percetakan terbatas di desa kami, dan juga mungkin dana Pak Ustadz yang hanya mendapat uang Kemisan dari murid-murid yang bukan fakir miskin dan yatim (kelompok ini gratis), Pada satu jadwal mengaji khoth (seminggu jadwal berganti ganti), Pak Ustadz menyuruh membawa gelas dan pena (dengan tinta), kemudian pada saat mengaji pak Ustadz menyuruh kami membuat Khott “Nahdlatul Ulama” di atas bulatan yang dibuat dari gelas, dan jadilah lambang Nahdlatul Ulama. Karya itu dinilai kemudian ustdaz menyuruh memasang di rumah kami masing-masing.
Karena pendekatan Ustadz begitu menarik dan telaten dalam mendidk kami di suro, maka orang tua-orang tua kami pun menjadi hormat dan taat. Dari pengalaman masa kecil ini penulis memiliki pembelajaran tersendiri termasuk bekal untuk menghadapi musim kampanye pemilu 2014 yang telah dimulai sejak DCT diumumkan beberapa waktu lalu.
Sewaktu remaja dan NU bergabung ke dalam PPP, pada Pemilu 82, selama musim kampanye istilah “sekasur. sedapur, sesumur pun ternyata telah dicopy paste oleh partai dimana penulis aktif yakni PPP dan karena penulis juga berinteraksi dengan pemuda-pemuda Marhaen, penulis juga menjadi tahu, ternyata konsep itu juga menjadi konsep yang disarankan oleh PDI. Kampanye Copy Paste menjadi sangat dominan bahkan seolah menjadi mutlak dilakukan setelah kita semua menyaksikan keberhasilan Jokowi dangan model blusukannya. Saat ini hampir semua caleg, bahkan ssampai-sampai Petinggi PD menyoroti 11 peserta konvensi capresnya dengan intensitas blusukannya. Blusukan model Jokowi seakan menjadi cara satu-satunya untuk memenangkan peraihan suara. Meski ada yang menggunakan istilah lain Silaturrahmi atau silaturrahmi berkelanjutan. Tentu saja hal ini dapat mebuat kita kecele. Copy Paste metode kampanye itu kadang menjadi tidak rasional dan seakan meninggalkan efektivitas dan effesiensi. Hampir semua memantau dengan sejauh mana seseorang caleg telah melakukan blusukan. Argumentasi-argumentasi pun dikeluarkan untuk mempercantik copy paste kampanye itu. Persepsi, hati, keterikatan terhadap seorang caleg disamakan dengan bagaimana kita menjual barang. Empat tahapan seakan menjadi dogma, mengenal, tertarik, membutuhkan dan membeli adalah keharusan tahapan yang mesti dilalui untuk pada akhirnya memilih.
Dalam hal apapun, tidak ada metoda atau cara yang dapat berlaku general, tidak ada satu metoda yang berlaku efektif untuk semua kondisi. Nah justru kondisi yang semestinya menjadi prasarat dipahami untuk menerapkan satu metoda kampanye itu justru dilupakan. Pemotretan, peta politik lengkap dengan posisioning yang sesuai SWOT Caleg dan Kompetitor beserta faktor-faktor lain kadang kurang mendalam di kaji. Caleg berseliweran, tunggang langgang, berlomba-lomba membawa “buah tangan” ke satu tempat layaknya seorang sinterklas untuk “menaklukan tempat itu” menjadi pemandangan yang tidak asing. Masyarakat yang telah dikondisikan dalam sistem kapitalis pun memanfaatkan situasi, hukum ekonomi kapitalispun dengan fasih diterapkan oleh masyarakat. Adagium “wani piro” mendapatkan posisi centralnya. Jika hal ini terus berlanjut, maksud kampanye sebagai pendidikan politik bagi masyarakat tidak akan pernah tercapai. Masyarakai mendapatkan pendidikan politik yang bias bahkan menipu. Ujung-ujungnya nasib bangsa ini tidak akan pernah berubah, jika semua terjerumus dalam satu sikap copy paste kampanye.
Jika penulis ditanya, kelihatannya kok santai-santai saja, sudah barang tentu, karena penulis dan kawan-kawan Bedol Senayan Community ingin mendapatkan kemenangan, tentu tidak akan tinggal diam. Seorang mentor Politik (Doktor Politik dari UGM) bertanya apa saya melakukan blusukan, tentu saya jawab ya ! tetapi saya blusukan dengan cara lain, blusukan ke melalui hati dan pemikiran pmasyarakat terutama yang mau berfikir dan ingin cerdas beserta penjelasannya. Penulis yakin masyarakat kita adalah masyarakat yang cerdas, itu bisa dibuktikan dari berbagai pilkada. Yang pasti, pembelajaran dari Pak Ustadz dalam menundukan hati masyarakat adalah pelajaran berharga. Ayah yang dulunya aktivis PNI dan Menolak (di Belakang) dalam menghadapi atasannya yang Golkar untuk mempertahankan pekerjaannya, sungguh membuat penulis terenyuh karena beliau ternyata sngat hormat dan patuh mengikuti aspirasi pak Ustadz meski ustadz hanya mengajak dengan sikap. Insya Allah hal itu telah penulis lakukan berpuluh-puluh tahun sehingga menjadi modal sosial. Mudah-mudahan pada saatnya, Allah akan menundukan hati-hati pemilih, dan membimbing tangan pemilih untuk mencoblos kami untuk mengembalikan NKRI yang berspirit Berkah Rahmah Allah Yang Maha Kuasa dan berjalan di atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena dua spirit inilah yang telah ditionggalkan oleh para penguasa dalam membangun Indonesia sehingga Indonesia menjadi kurang berkah seperti yang kita rasakan saat ini.
Kampanye pemilu adalah kegiatan peserta pemilu untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, program peserta pemilu dan atau informasi lainnya. Menurut UU Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, pada pasal 77 dinyatakan bahwa kampanye pemilu merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat dan dilaksanakan secara bertanggungjawab.Sedangkan Pedoman pelaksanaan kampanye pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD dijabarkan di Peraturan KPU nomor 1 Tahun 2013. Sementara itu, prinsip, fungsi dan tujuan kampanye pemiliu dapat dijabarkan sebagai berikut. Kampanye Pemilu dilakukan dengan prinsip efisien, ramah lingkungan, akuntabel, nondiskriminasi, dan tanpa kekerasan. Kampanye peserta pemilu dilakukan sebagai sarana partisipasi politik warga negara dan bentuk kewajiban peserta pemilu dalam memberikan pendidikan politik. Kampanye peserta pemilu dilakukan dalam rangka membangun komitmen antara warga negara dengan peserta pemilu dengan cara menawarkan visi, misi, program dan/atau informasi lainnya untuk meyakinkan pemilih dan mendapatkan dukungan sebesar-besarnya. Sebagai bagian dari pendidikan politik masyarakat Kampanye dilakukan secara bertanggug jawab. Bertanggung jawab tentu tidak sekedar dalam skala waktu terbatas saat melakukan kampanye, namun dampak dari pelaksanaan kampanye juga harus dapat dipertanggung jawabkan. Melalui pendididikan politik ini pada akhirnya bermuara pada pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara yang bertanggung jawab, sebab pada hakekatnya kehidupan berbangsa dan bernegara adalah penerapan dari produk pendidikan politik itu sendiri. Kampanye yang penuh manipulative, koruptif dan bernilai negative lain, hanya akan menghasilkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang setara dengan itu.
Dalam konteks itu, maka Kampanye ala “Sinterklas”, perlu dihindari. Datang, menyuap dengan bawaan/sumbangan atau bahkan bagi-bagi uang, untuk mendapat dukungan adalah bentuk penafian pendidikan politik yang benar. Masyarakat digiring untuk mengambil keputusan dan pilihan dari bentuk, harga, kualitas dan kuantitas suapan terhadap seorang Calon , bukan dididik untuk mengambil keputusan dan memilih secara benar berdasar nilai-nilai ideal, terutama nilai-nilai ideal bangsa Indonesia yang terdapat pada konstitusi 1945 beserta peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagai bentuk intgritas seorang calon untuk bekal mengendalikan bahtera nasional yang bernama NKRI. Dampak negative lain dari pelaksanaan Kampanye gaya Sinterklas adalah hilangnya partisipasi masyarakat bagi pembengunan bangsa ke depan. Ini sangat membahayakan masa depan bangsa, sebab Negara membutuhkan partisipasi seluruh rakyat dalam menjalankan biduk pembangunan. Pemberian suapan berupa pembangunan-pembangun dan sarana-sarana umum yang semestinya menjadi tanggung jawab bersama, menuntut partisipasi seluruh masyarakat (swadana dan swadaya) disubtituti oleh suapan kampanye calon calon yang pada akhirnya menjadi elit bangsa.
Proses ini akan berdampak pada pelimpahan tanggung jawab bersama ke pundak elit penguasa. Sudah barang tentu dalam menghadapi problematika besar bangsa hal ini dapat menyebabkan gejolak yang tidak diinginkan. Jangan salahkan masyarakat ketika manyarakat seakan hanya menuntut apapun dari penguasa tanpa keinginan memikul beban bersama karena masyarakat telah dididik secara distrosif saat kampanye. Banyak peristiwa yang selayaknya disadari sebagai beban seluruh bangsa pada akhirnya hanya ditumpukkan ke pundak penguasa, baiak eksekutif maupun legislatif. Hal ini merupakan hasil pendidikan politik yang kurang mendidik dari para calon pemegang amanah eksekutif maupun legislatif melalui kampanye berpola sinterklas. Pola kampanye sinterklas sendiri lebih banyak didasari oleh ketidak percayaan diri para calon untuk mendapat dukungan tulus sesuai nilai-nilai ideal masyarakat kita. Hal ini tentu saja disebabkan banyak faktor, terutamanya adalah tidak dimilikinya modal sosial sang calon akhibat kehidupan sang calon yang “berjarak dengan tanggung jawab sosialnya”. dengan kata lain para sinterklas kampanye sesungguhnya orang-orang yang selama ini tidak bertanggung jawab pada denyut nadi kehidupan masyarakat. Bagaimana mereka dapat menjadi wakil rakyat ?
Padahal, jika kita belajar dari hasil Pilkada, bahkan dari hasil-hasil penelitian yang ada, bahwa kampanye gaya sinterklas dalam bentuk money politik atau suap masal, hasilnya sangat tidak efektif. Oleh karenanya, bagi para caleg yang bermodal social, integritas berbangsa dan niat baik untuk mengubah NKRI menjadi baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur, tidak perlu goyah dengan strategi kampanye yang bertujuan “meningkatkan kecerdasan Politik dan partisipasi masyarakat” melaui penyadaran bukan melalui iming-iming dan atau amang-amang, sebab kampanye kita adalah kampanye yang ideal kampanye yang dibutuhkan. Dan hal itu, akan direspon positif oleh seluruh rakyat Indonesia yang kian cerdas. Pemilih cerdas justru akan berpartisipasi aktif dalm setiap tahapan termasuk tahapan kampanye karena pemilih cerdas telah memiliki standar dalam memilih wakil atau pemimpinnya. Partisipasi aktif mereka tidak terbatas pada ide, tenaga dan waktu. Materi, sumbangan finansial pun mereka lakukan untuk memenagkan calon idealnya. Dengan demikian dana mengalir dari rakyat, diolah rakyat dan untuk memperjuangkan wakil rakyat atau pemimpinnya. Demokratisasi dana benar-benar berjalan. Tidak apa yang terjadi selama ini, “pola sinterklas” disukung oleh dana dari pihak-pihak tertentu, yang sesungguhnya berharap kepentongannya diperjuangkan oleh caleg tersebut. Jika dana berasal dari rakyat dan kembali kerakyat, maka kepentingan rakyat banyaklah yang mutlak harus diperjuangkan bukan pengusaha atau konglemerat yang berinfestasi melalui Pola sinterklas” kampanye.
Berpartisipasilah rakyat dalam berbagai tahapan baik dengan harta maupun jiwa untuk memperjuangkan anak-anak bangsa yang memiliki integritas untuk mengubah Indonesia menjadi lebih baik. Go to Hell sinterklas kampanye, dan selamat menapaki jalur yang benar , bergandengan dengan seluruh bangsa Indonesia yang semakin cerdas menentukan pilihannya untuk masa depan bangsa. Kami mengundang sahabat semua dalam partisipasi politik dalam kampanye kami dengan bentuk apapun termasuk dalam pengadaan kaos, poster, banner, baliho, maupun yang lainnya termasuk menjadi relawan dalam mencari berbagai dukungan tulus. Partisipasi dalm bentuk dana dapat ditranfer ke Dana a.n Darwono BNI. Rawamangun No. 0297149735.
Besar sumbangan perorangan maksimal sesuai Peraturan KPU adalah Rp. 1 Miliar (satu miliar Rupiah). Semua dana kampanye dilaporkan ke KPU. Darwono, Jurkam Nasional Pemilu 2014 Partai Bulan Bintang. Caleg DPR RI Dapil DKI 1 (Jakarta Timur) No. 4.

Tidak ada komentar: