MISI

***************** A MAN WHO WANT TO CREATE AN EDEN IN THE WORLD *****************

Senin, 25 November 2013

Guru Sekedar Faktor Produksi Dari Industri Pendidikan

Di era Industri Pendidikan ini, guru tidak lebih berfungsi sebagai satu alat produksi pendidikan. Kondisi ini lahir dari sistem pendididikan nasional yang memungkinkan tumbuhnya komersialisasi pendidikan. Sistem ini tentu saja menyimpang jauh dari idealisme pendidikan yang diamanatkan oleh konstitusi negara, UUD 1945 yang menekankan bahwa upaya mencerdaskan kehidupan bangsa adalah mutlak sebagai janji kemerdekaan RI.
Pada UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional diberikan bagian khusus tentang pendidikan berbasis masyarakat (Pasal 55) yang merupakan bagian dari Bab XV UU sisdiknas yakni Peran Serta Masyarakat Dalam Pendididikan bagian ke dua, esensinya dalah dikhotomis pendidikan. Disamping bagian ini mencoba mengatur pendidikan swasta (dengan istilah berbasis masyarakat) sekaligus membuat rancu pendidikan pemerintah (negeri) “yang seolah tidak berbasis pada masyarakat” sekaligus tidak ada peran serta masyarakat.
Meski Bab XV itu sesungguhnya merupakan bagian menampung partisipasi masyarakat dalam bidang pendidikan, namun dalam kenyataannya bab itu menjadi payung hukum bagi pemerintah dalam melepas sebagian tanggunggung jawabnya. Dengan bab itu Pemerintah “seakan” hanya bertanggung jawab penuh pada sekolah-sekolah negeri, sedang sekolah sekolah yang dikelola masyarakat bukan tanggung jawab pemerintah sepenuhnya.
Realitas lebih pahit dapat dijumpai di lapangan, bahwa sekolah-sekolah yang dikelola masyarakat (swasta - pen) tidak jarang menjadi sapi perahan bagi pejabat-pejabat (pengawas dll) dalam bentuk keharusan keharusan SPJ, TST dalam berbagai hal, dan harus memenuhi standar-standar yang ditetapkan. Sekolah-sekolah swasta yang kecil bukan dibantu untuk berkembang, tetapi sebaliknya diancam untuk ditutup dan dimerger. Sekolah-sekolah umat, bernasib sudah jatuh tertimpa tangga. Sementara sekolah-sekolah yang wah justru mendapat kedekatan penuh. Pemerintah tidak lebih bertindak sebagai pendorong kapitalisasi pendidikan.
Meski swasta tidak identik dengan komersialisme, namun pada realitasnya , karena tuntutan yang terkait dengan kebijakan kebijakan bidang pendidikan, Penyelenggara pendidikan oleh masyarakat (yayasan) tidak jarang terjebak pada penyelenggaraan pendidikan yang menekankan keuntungan. Pendidikan tidak lain adalah industri jasa dengan guru sebagai salah satu faktor produksinya. Dalam kontek guru sebagai faktor produksi dari industri pendidikan, maka pakem guru yang semula adalah “digugu dan ditiru” dengan segala integritasnya, bergeser sebagai Front line, bahkan sekedar costumer Service yang harus tampil dengan costumer satisfactionnya, harus tampil sebagai pemuas pelanggan dalam hal ini siswa dan orang tua siswa.
Guru yang semula memegang filosofi “Ing Ngarso sung tulodo, ing madya mangun karsa dan tut wuri handayani” harus bersedia tampil sebagai pribadi yang berperilaku dan bersikap siap memuaskan costumernya secara totalitas. Di samping itu, keunikan guru sebagai pribadi, yang dalam sejarah justru menciptakan murid-murid lebih habat, harus mau dilebur sesuai dengan Standard Operational Procedure (SOP) yang sangat rigid.
Jika terus dibiarkan, maka dimasa depan akan muncul dua kutub produk pendidikan, yakni pendidikan swasta yang lebih cenderung menuntut “kepuasan dirinya” seperti proses yang terjadi pada industri pendidikan tentu saja dengan segala variasinya, sementara itu hasil pendidikan yang tidak berbagis masyarakat (negeri) memiliki karakternya sendiri. Ini sebuah tantangan yang luar bisa, bahkan dapat membahayakan masa depan bangsa. Kita tidak bisa begitu saja menafikan hal ini, sebab dalam kontek pendidikan, kita dapat mengenal berbagai mafia seperti mafia Barclay dan sejenisnya.
Terkait dengan hal itu, sebagikanya ada perbaikan sistem pendidikan nasional dimana, seluruh pendidikan formal dari tingkat terendah hingga tingkat tertinggi benar-benar dikelola dan mutlak tanmggung jawab Negara sehingga seluruh proses harus disesuaikan dengan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa yang sesuai dengan amanah konstitusi. Sedangkan partisipasi Masyarakat dapat diwujudkan dalam upaya memperkuat pendidikan formal yang diselenggarakan negara atau mengambil peran dalam pengembangan pendidikan informal maupun nonformal.
Dengan perubahan pada sistem pendidikan nasional terutama pada pendidikan formal, maka guru, dosen, ustadz, ustadzah dan karyawan pendidikan formal seluruhnya menjadi tanggung jawab pemerintah, sekaligus harus menjadi abdi negara yang bertugas mewujudkan kecerdasan bangsa dan menumbuhkan generasi yang benar-benar komitmen pada dasar falsafah dan tujuan bangsa Indonesia.
Kelas kelas pendidikan formal, tidak lagi sekedar disekat-sekat berdasar IQ maupun tinggi rendahnya jumlah nilai dari pendidikan formal; sebelumnya, tetapi didesign untuk menjadi miniatur Indonesia, dimana anak-anak bangsa yang berbineka berproses tumbuh bersama dengan saling asah, asih, dan asuh yang difasilitasi oleh pendidik-pemdidik berkarakter tangguh bukan berkarakter memuaskan pelanggan !

Tidak ada komentar: