MISI

***************** A MAN WHO WANT TO CREATE AN EDEN IN THE WORLD *****************

Senin, 18 Mei 2009

NEOLIBERAL 1

Fenomena Budiono
Oleh: Revrisond Baswir
Tim Ahli Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM


Keputusan Presiden untuk mengajukan Budiono sebagai calon tunggal Gubernur Bank Indonesia patut dicatat sebagai sebuah fenomena istimewa dalam perkembangan ekonomi-politikIndonesia. Setidak-tidaknya, sepanjang era pemerintahan sekarang ini, sudah dua kali nama Budiono muncul sebagai penjebol jalan buntu yang dihadapi oleh Presiden SBY.

Yang pertama adalah ketika SBY melakukan reshuffle kabinet pada akhir 2005 lalu. Ketika itu, persoalan berat yang dihadapi SBY adalah mencari figur penmgganti Aburizal Bakrie sebagai Menteri Koordinator Perekonomian. Walaupun harus mengorbankan Alwi Shihab, kehadiran nama Budiono akhirnya mampu melunakkan hati Aburizal Bakrie untuk beralih menjadi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat.

Kini, menyusul penolakan DPR terhadap pencalonan Agus Martowardoyo dan Raden Pardede sebagai calon Gubernur Bank Indonesia, SBY sekali lagi memilih Budiono sebagai dewa penyelamat. Tidak tanggung-tanggung, pengajuan Budiono sebagai pengganti Burhanuddin Abdullah tidak dilakukan SBY dengan menyertakan nama lain, tetapi dilakukannya dengan mengajukan Budiono sebagai calon tunggal.

Pertanyaannya, terlepas dari kepribadian dan kapasitas individual Budiono, faktor apakah sesungguhnya yang mendorong SBY untuk senantiasa menjatuhkan pilihannya kepada figur yang itu-itu juga? Jawabannya dapat ditelusuri berdasarkan dua kemungkinan berikut.

Pertama, jika ditelusuri berdasarkan sudut pandang Presiden, besar kemungkinan SBY memang tidak memiliki cukup banyak pilihan dalam menentukan figur yang dapat dipercayanya untuk menduduki jabatan setingkat Menteri Koordinator Perekonomian atau Gubernur Bank Indonesia. Artinya, dari beberapa nama ekonom senior yang diseleksi oleh SBY, hanya Budionolah yang benar-benar dapat dipercayanya.

Bagi Budiono hal ini jelas merupakan sebuah prestasi yang cukup membanggakan. Tetapi, sebaliknya, jika dilihat dari sudut kepentingan bangsa, kenyataan ini patut dicatat sebagai sebuah fenomena yang memprihatinkan. Artinya, dalam sebuah bangsa sebesar Indonesia, bagaimana mungkin pilihan SBY selalu jatuh pada figur yang sama?

Kata kuncinya terletak pada sangat ketatnya persaingan politik dalam memperebutkan jabatan-jabatan publik di negeri ini. Sebagaimana diketahui, rebutan jabatan publik di negeri ini tidak hanya terjadi sebatas bagi-bagi kursi di kabinet, tetapi merambah hingga ke lembaga-lembaga negara lain seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dengan demikian, jika dilihat dari sudut berlangsungnya proses rebutan jabatan publik ini, figur Budiono terutama harus dilihat sebagai figur yang dipercaya oleh SBY tidak memiliki afiliasi dengan kelompok-kelompok politik yang menjadi saingannya.

Kedua, dari sudut pandang jaringan ekonomi-politik neoliberal yang berada di belakang Budiono. Walaupun pengangkatan Budiono sebagai Menko Perekonomian dan pengajuannnya sebagai calon tunggal Gubernur BI merupakan hak prerogratif Presiden, betapapun hal itu tidak berlangsung di ruang hampa. Sebagaimana telah diberitakan secara luas, dalam memilih Budiono, SBY juga menggali masukan dari sejumlah kalangan.

Sebab itu, jatuhnya pilihan SBY kepada Budiono tidak dapat dilihat sebagai hal yang semata-mata bersifat indvidual. Hal itu tidak mungkin dapat dipisahkan dari dukungan jaringan ekonomi-politik neoliberal yang berada di belakang Budiono. Bahkan, karena jabatan Gubernur BI mensyaratkan adanya kemampuan bekerja dalam jejaring internasional, pemilihan Budiono mutahil dapat dipisahkan dari dukungan IMF dan Bank Dunia.

Sehubungan dengan kemungkinan yang kedua ini, sebuah fenomena yang sangat menarik patut diangkat ke permukaan. Diakui atau tidak, terjadinya kemacetan serius dalam proses pengkaderan rupanya sedang dialami oleh jaringan ekonomi-politik neoliberal di negeri ini.

Gejala ini sebenarnya sudah terbaca sejak pengangkatan Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas pada masa awal pemerintahan SBY. Sebagaimana diketahui, sepanjang era pemerintahan Soeharto, jabatan Menteri Perencanan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas tidak pernah dijabat oleh seorang ekonom junior, tetapi senantiasa dijabat oleh seorang ekonom senior.

Kini, dengan diajukannya Budiono yang sedang menjabat Menteri Koordinator Perekonomian sebagai calon tunggal Gubernur BI, fenomena itu tampak semakin mencolok.
Perlu ditambahkan, mencuatnya rumor mengenai kemungkinan rangkap jabatan sebagai Menteri Koordinator Perekonomian oleh Sri Mulyani, tidak memiliki makna lain selain mempertegas kenyataan tersebut.

Jika demikian duduk perkaranya, tiga kesimpulan yang perlu digarisbawahi sehubungan dengan berlangsungnya silang sengkarut pemilihan Gubernur Bank Indonesia atau fenomena Budiono ini adalah sebagai berikut

Pertama, pemilihan seseorang sebagai pejabat tinggi negara harus dipahami terutama sebagai bagian dari pertarungan ekonomi-politik nasional dan internasional. Kapasitas individu, walau pun penting, harus diletakkkan pada urutan kedua atau ketiga.

Kedua, Presiden SBY cenderung menaruh kepercayaan kepada para ekonom yang tidak terafiliasi dengan kelompok politik saingannya, tetapi terafiliasi dengan jaringan ekonomi-politik neoliberal.

Ketiga, silang sengkarut pemilihan Gubernur BI tidak secara langsung berkaitan dengan perbaikan nasib rakyat, tetapi dengan kelangsungan kekuasaan. Wallahua’lambissawab.

Dari Notes Rizal Ramli di Fb

Tidak ada komentar: