MISI

***************** A MAN WHO WANT TO CREATE AN EDEN IN THE WORLD *****************

Minggu, 19 Juni 2011

TOPPING LEADERSHIP IN MIND

"Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan ditanyai tentang apa yang dipimpinnya" (Cuplikan Al Hadits)


Gempita reformasi di akhir dasa warsa 90-an,telah membuka peluang bagi setiap anak negeri untuk muncul ke depan dalam proses suksesi kepemimpinan nasional. Namun demikian peluang ini lebih cepat dimanfaatkan oleh pemain-pemain lama dalam konstelasipolitik Indonesia dengan jalan berdiaspora ke bebagai wadah yang menggunakan “jaket palsu reformasi”.

Pemain-pemain lama yang talah berganti bulu, telah berkamuflase (bukan bermetamorfosis) memerankan dirinya sebagai kupu kupu kertas yang menghiasi puncak-puncak “pohon” indah yang benama Indonesia.

Pola 98 itu , telah menumbuhkan kepemimpinan dengan pendekatan ayakan, yang kuat muncul di atas, seperti juga topping hisan, coklat atau gula-gula yang kelihatan menarik pada puncak es krim "kepemimpinan nasional". Suksesi kepemiminan memang berjalan, namun hasil suksesi yang mayoritas berasal dari penghuni menara gading ini tidak mengakar, menghujam ke akar rumput dan bernafas sebagaimana degup jantung akar rumput. Ironisnya pemimpin (tepatnya petinggi/topper) hasil proses yang demikian ini merasa merekalah penentu segalanya atas arah perjalanan biduk bangsa. Tragisnya, karena mereka merasa dipilih seara syah, maka senjata ampuhnya adalah menjadikan “pemilih/pendukung” sebagai kambing hitam, sehingga anak-anak bangsa sering diadu dalam berbagai kasus kebijakan yang kontroversi. Sebuah langkah yang jauh dari sikap kenegarawanan.

Reformasi tahun 98, telah melahirkan banyak sosok yang mengaku layak menjadi Pemimpin namun tidak didukung oleh karakter yang baik serta integritas yang dapat diandalkan. Budaya politik bangsa Indonesia masih dibangun atas pemikiran yang menilai bahwa Kepemimpinan itu tunggal bahkan identik dengan kekayaan. Orang yang memegang kekuasaan politik cenderung memperbesar simpanan harta dan kekayaannya selain untuk kepentingannya sendiri juga untuk mempertahankan jumlah bawahan dan pengikut yang berjuang bersamanya. Pusat kekuasaan bukan lagi pada sistem melainkan lebih kepada orang perorang. Elite politik berusaha agar selalu dekat dengan pucuk Pimpinan sehingga posisinya dalam sistem politik selalu terjaga. Akibatnya, gagal menjadi perwakilan kepentingan rakyat. Dan masyarakatpun seringkali mementingkan orang-perorang daripada kelembagaan. Krisis multi dimensional telah bermetamorfosis menjadi krisis intelektual dan krisis nurani *CensureBlock* yang bermuara pada krisis identitas dan krisis jati diri.



Saat ini kita dapat mersakan ditengah-tengah kita begitu banyak pemimpin-pemimpin palsu, yang tak seia-sekata antara ucapan dan perbuatan, antara janji politik dan realitas politik setelah mereka terpilih. Kita dengan mudah meneukan kasus kasus yang meprihatinkan, petinggi yang lebih memilih jalan-jalan ketimbang menangani hal-hal yang urgent dan darurat atas apa yang menimpa rakyatnya. Petinggi yang memilih silau dengan pujian-pujian international dari pada melidungi rakyatnya atas kebijakan yang diambilnya.


Kepemimpinan adalah Amanah


Pada dasarnya, setiap orang adalah Pemimpin, paling tidak yang memimpin dirinya sendiri yang akan dimintai pertanggung jawaban. Dngan demikian sesungguhnya kepemimpinan itu adalah amanah, dan amanah adalah ruh dai kepemimpinan. Seorang Pemimpin masyarakat tidak lahir serta merta tetapi melalui suatu proses yang panjang yang bertumpu pada soal penyiapan diri. Untuk menjalankan peran sebagai pemimpin diperlukan kualitas diri yang utama antara lain : amanah (bertanggung jawab), sidik (benar/jujur), fatonah, cerdas, mampu berpikir secara akal sehat (logik) dan jernih, menguasai keterampilan berorganisasi, tabligh, menyampaikan pesan-pesan ilahiah, yang visioner yang mungkin belum ditangkap/dipahami oleh penkutnya.


Benang merah urain di atas adalah bahwa sosok Pemimpin adalah dia/mereka yang memiliki kualifikasi atau kompetensi dalam bidang pengetahuan dan keterampilan, watak terpuji dan berkarakter baik, mempunyai jiwa kerohanian dan spiritualitas. Watak yang baik itu hanya akan didapat apabila dibina, dibangun dan ditempa dengan kebiasaan baik secara berkelanjutan dan dijadikan tuntunan perubahan untuk menghasilkan sifat-sifat yang pada umumnya diharapkan untuk dimiliki oleh seorang pemimpin seperti : (1) dapat diteladani; (2) berwibawa; (3) jujur/terpercaya; (4) berpandangan jauh kedepan; (5) adil; (6) bijaksana; (7) berani; (8) bertanggungjawab; (9) berjiwa besar; (10) inovatif; (11) mampu memberikan inspirasi; (12) selalu ingin belajar terus menerus.


Kepemimpinan Berjenjang



Sudah menjadi kebutuhan dasar bahwa setiap kelompok, masyarakat, bangsa atau Negara membutuhkan kehadiran pemimpin yang dianggap dapat membawa kelompok, masyarakat, bangsa atau negaranya itu untuk mencapai cita-cita bersama yang telah disepakatinya. Secara nasional dibutuhkan pemimpin yang mampu menggerkkan seluruh komponen bangsa untuk mencapai tujuan nasional bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam alenia ke empat mukadimah UUD tahun 1945 yakni : melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.


Secara eksplisit penggalan alenia itu merupakan tujun dibentuknya Pemerintah (untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang….). Dengan demikian , jika ada bangsa Indonesia (di dalam maupun di luar negeri) yang tidak dilindungi, ada wilayah yang diambil oleh negara lain, kurangnya kesejahteraan bangsa, hanya kelompok tertentu yang cerdas dan sebagainya, itu adalah pelanggaran konstitusional dari pemerintah. Dan pucuk pimpinan pemerintahan (presiden) yang melaukan hal ini secara legowo harus mundur atau diundurkan , karena tidak mampu menjalankan amanah konstitusi.


Mengingat negara dibentuk dari komponen-komponen yang lebih kecil yang berjenjang, maka dibutuhkan kepemimpinan yang berjenjang pula. Mulai dari unit trkecil dari bangsa ini, yakni individu, harus dapat memimpin dirinya untuk mewujudkan tujuan-tujuan berjenjang, yang muaranya adalah tujuan nasional. Jika setiap komponen bangsa memimpin dirinya mencapai tujuan nasional, maka pada jenjang organisasi yang lebih tinggi hingga samapai pada jenjang nasional, akan menjadi mudah dalam mewujudkan kepemimpinan nasional. Oleh karenanya, penyadaran akan tujuan nasional yang harus dicapai bersama pada setiap individu harus selalu dlakukan melalui pendidikan dan pembudayaan dalam kehidupan sehari-hari.



Untuk mewujudkan kepemimpinan nasional dengan munculnya pemimpin nasional yang dibutuhkan bangsa ini, diperlukan proses pembinaan kepemimpinan yang berjenjang dan perkelanjutan sesuai nilai-nilai luhur tujuan nasioal, dengan disertai proses-proses pemilihan pemimpin secara berjenjang dan berkelanjutan pula. Melalui proses yang demikian, secara nasional akan dihasilkan pemimpin nasional yang benar-benar barasal dan terbina dari akar rumput, bukan pemimpin dropping atau toppig seperti yang kita rasakan saat ini.


Pemmpin-pemimpin nasional yang muncl melalui mekanisme berjenjang ini akan memiliki sifat : memahami tujuan nasional, tangguh karena melalui seleksi berjenjang, memahami denyut nadi masyarakatnya, memiliki keterikatan (amanah, tanggung jawab) konstituen maupun wialayah yang membesarkannya.


Melalui mekanisme pembinaan/pengkaderan kepemimpinan dan proses peralihan pemimpin yang demikian imbasnya adalah bangsa kita terhindar dari pola kepemimpinan selebritas yang menarik dilihat tetapi tidak memiliki ruh dan tidak mengakar.

Kaderisasi Pemimpin Berjenjang

Uraian di atas menunjukan adanya kebutuhan kaderisasi pemimpin secara berjenjang. Sifat kaderisasi kepemimpinan ini harus mutlak membentuk berorientasi untuk mampu melahirkan pemimpin-pemimpin yang punya komitment dan amanah mewujudkan tujuan nasional Indonesia.

Memang selama ini kita mengenal berbagai kaderisasi berjenjang dari tingkat ranting hingga tingkat nasional, namun karena sifatnya adalah sektoral, partial, bahkan primordial, maka kaderisasi kepemimpinan itu tidak dapat melahirkan pemimpin yang komit terhadap tujuan nasional. Pola-pola seperti kirab remaja, atau sejenisnya, yang terkooptasi oleh partai atau golongan tertentu, hanya melahirkan komitment semu, karena pada dasarnya peserta hanya disuguhkan pada "hutang Budi" untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan golongan, bahkan sampai pada kultus terhadap petinggi-petinggi golongan itu.

Demikian juga berbagai kaderisasi yang seharusnya berjalan "nonline", netral dan non partisan selama ini, banyak dimobilisir untuk kepentingan-kepentingan status quo. Potensi jalur-jalur ini sangat besar untuk menjadi wadah kawah candradimuka bagi kaderisasi kepemimpinan nasional, oleh karenanya proses-proses pembersihan berbagai wadfah, institusi, lembaga netral untuk kembali pada jati dirinya sangat perlu dilakukan secara jujur dan seksama.



Sementara itu, berbagai komponen kederisasi kepemimpinan yang berlandaslkan berbagai latar belakang, perlu terus ditingkatkan ditambah dengan komitmen pada essensi kepemimpinan nasional. Berbagai perbedaan yang ada tetap dipertahankan sebagai ciri khas, dengan catatan perbedaan-perbedaan itu harus dapat mereka sikapi secara dewasa
jika mereka ingin muncul sebagai pemimpin nasional yang inclusif.

Dengan kepemimpinan nasional yang bersifat inclusif inilah, hakekat Bhineka Tunggal Ika, akan dapat mengerucut dalam satu langkah mewujudkan tujuan nasional.

Mudah-mudahan.

Tidak ada komentar: