MISI

***************** A MAN WHO WANT TO CREATE AN EDEN IN THE WORLD *****************

Minggu, 12 Juli 2009

PENDIDIKAN BERBASIS LINGKUNGAN

Ketika Wapres JK mengungkapkan tentang “Anak yang bodoh harus minggir” hati saya yang sudah terluka oleh system pendidikan yang semakin Neoliberal (semuanya dirancang untuk kepentingan Pasar), semakin perih seakan disiram kuah empek-empek (air garam, cuka, cabai). Betapa tidak, berpuluh-puluh tahun berkutat dalam pendidikan yang peserta didiknya berasal dari kaum marginal (dhuafa dalam berbagai aspek termasuk IQ nya) dan selalu beremphati untuk tidak mengucapkan kata-kata yang bernada pelecehan, tiba-tiba orang yang dianggap pemimpin negeri ini berkata seenak pusernya.

Keprihatinan semakin menumpuk ketika kita melihat realitas “Pendidikan Berbasis Pasar” di setiap tahun ajaran ini. Hampir dipastikan, yang dapat masuk ke sekolah-sekolah unggulan, adalah mereka-mereka yang secara financial juga unggul dan tetep saja anak-anak bangsa dari saudara-saudara kita yang papa hanya dapat masuk ke sekolah-sekolah dhuafa juga.

Proses Marjinalisasi pendidikan seolah berjalan secara demokratis, tapi sesungguhnya merupakan pelumpuhan sistemik terhadap anak bangsa yang tidak mampu. Bagi mereka yang kaya, proses penguatan kompetisi dilakukan sejak dini, dengan uangnya mereka dapat mengundang guru privat sampai ke bimbingan belajar ternama sehingga wajar saja memperoleh NUM tinggi akan menjadi mudah. Apalagi, kita tidak bisa menutup mata, banyak BIMBEL "nakal" yang dengan segala cara "Membantu" peserta bimbel nya untuk memperoleh NUM tinggi.

Ironisnya, sekolah-sekolah unggulan terutama sekolah negeri, yang murid-muridnya mayoritas orang mampu, mendapat perhatian dan support besar-besaran dari pemerintah. Berbagai alokasi dana, tersedia untuk meningkatkan sekolah unggul ini. Hal ini berarti, bagian besar uang rakyat teralokasikan untuk membentu anak-anak orang kaya. Sebuah paradoks yang sanggat gila !. Kita membantu orang yang mampu. Sebuah proses pendidikan berketidakadilan.

Selain menampilkan ketidak adilan pendidikan, pendidikan berbasis pasar, dimana orang-orang yang mampu (bermobil) akan mencari sekolah favorit dimanapun (bagian Mana saja di Jkt – pen), akan menyumbangkan deretan kemacetan yang berarti inefisiensi energy, dan juga semakin membumbungkan konstribusi emisi polutan udara. Sementara itu, peserta didik dari kelompok marginal di lingkungan sekolah unggul juga harus mengeluarkan biaya transportasi dll yang berarti semakin menambah beban keluarga.

Berpijak pada realitas tersebut, menurut hemat saya, sebaiknya pola penerimaan peserta didik di Jakarta bukan dilandasi oleh “Pendidikan Berbasis Managemen Pasar” tetapi berdasar Pendidikan Berbasis Lingkungan, Sekolah-sekolah di lingkungan tertentu, terutama yang negeri, merekrut peserta didik (dari latar belakang apa saja, tidak juga berdasar nilai UN) seleksi dilandasi oleh domisili siswa terhadap sekolah itu (radius).

Dengan cara itu, maka :

1.Sekolah negeri peserta didiknya adalah heterogen sehingga sekolah mencerminkan kondisi riil lingkungan. Proses pendidikan diarahkan untuk dapat saling bertoleransi, menghargai perbedaan sesuai prinsip Bhineka Tunggal Ika, sehingga pendidikan bukan saja preoses pembelajaran menjadi pintar, tapi juga pendidikan menjadi warga Negara yang bersemangat Kebangsaan.

2.Berbagai inefisiensi dan dampak dari mobilisasi (lalu lalang siswa) dapat dikurangi, termasuk dampak-dampak pada lingkungan hidup kita.

3.Memang, managemen kelas akan menjadi komplek, dan guru harus mengerahkan segala kemampuannya dalam proses pembelajaran. Bagi guru negeri, ini adalah suatu konsekuensi dari berbagai fasilitas yang diterimanya yang berasal dari uang rakyat.

Mudah-mudahan ada manfaatnya.

Tidak ada komentar: