MISI

***************** A MAN WHO WANT TO CREATE AN EDEN IN THE WORLD *****************

Senin, 23 Mei 2011

MEMBANGUN KARAKTER = MEMBANGUN MINDSET

Jiwa Yang Tenang (Annafsu Almuthmainnah) adalah satu-satunya jiwa (Diri) yang dipanggil mesra memasuki surga, Berikut panggilan mesra itu yang terdapat dalam Al Qur'an, surat Al Fajr :

" Wahai jiwa yang tenang (an nafsu al muthmainnah), kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridlo dan ridloi, maka masuklah ke dalam golongan hamba-Ku, dan masuklah ke dalam syurga-Ku".

Untuk memperoleh jiwa yang tenang, nafsul muthmainnah, Rosulullah SAW mencontohkan doa sebagai berikut : Allahumma innii as'alukannafsalmuthma'innah, tu'minuu biliqooika, watardloo biqodooika, wa taqna'u biathooika.Ya Allah, anugerhi hamba nafsul muthmainnah (jiwa yang tenang), yang yakin akan perjumpaan dengan-Mu. dan Puas dengan ketentuanmu (qodloMu), dan menerima segala keputusan-Mu. Amin. (Darwono Tuan Guru)


Ayat-ayat terakhir surat Al Fajr seakan menegaskan, bahwa jiwa hamba Allah dan ahli syurga memiliki karakter tersendiri. Mereka bukan jiwa yang berkobar-kobar, bukan yang meledak-ledak tetapi mereka yang memiliki karakter Muthmainnah.





Karakter Bangsa

Satu Juni , dulu kita peringati sebagai hari lahir pancasila. Pada peringatan ini, kita lebih banyak mereview bagaimana lahirnya “Gentlement Agreement” itu melalui berbagai argumentasi tinggi dari para pendiri bangsa.

Sejalan dengan “kokohnya” rezim Orde Baru, Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober seakan menjadi pengganti perayaannya. Berbeda dengan perayaan Hari Lahir Pancasila, peringatan Hari Kesaktian Pancasila diwarnai oleh “propaganda” tunggal keheroan zang pemimpin rezim. Bahkan, untuk mempertegas hal itu, hampir 20 tahun peringatan Hari Kesaktian Pancasila diwarnai dengan “penanyangan” tunggal film yang meceritakan Sang Rezim.

Tafsir tunggal rezim akan Pancasila yang tertuang dalam “buitir-butir P4” dan diindokrinasi melalui berbagai penataran yang menguras tidak sedikit sumber daya, seakan menjadi sia-sia mana kala kita mengalami dalam realitas berbangsa, butir-butir itu sekedar menjadi hafalan tanpa makna. Ironisnya, nilai-nilai luhur yang tercantum didalamnya, secara terang-terangan dikangkangin oleh ORBA itu sendiri.




Patah arang terhadap nilai-nilai luhur yang sebenarnya ada dalam Pancasila sejak digali, membuat anak-anak bangsa yang kurang “menangkap denyut” urat nadi bangsa Indonesia, yang kebetulan secara mayoritas mereka yang “mendapat asuhan” ideologi barat, membuat langkah pongah, menghapuskan sumber yuridis ketatanegaraan dan dasar falsafah negara dari ranah pendidikan Indonesia. Bahkan, ditengah kegamangan danketidak percayaan itu, untuk membangun karakter bangsa, Pancasila dilupakan, dan anehnya konsep-konsep yang berakar dari ideologi yang berbeda justru banyak dicopy paste.

Karakter Bangsa

Menurut bahasa, karakter adalah tabiat atau kebiasaan. Sedangkan menurut ahli psikologi, karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan kebiasaan yang mengarahkan tindakan seorang individu. Karena itu, jika pengetahuan mengenai karakter seseorang itu dapat diketahui, maka dapat diketahui pula bagaimana individu tersebut akan bersikap untuk kondisi-kondisi tertentu.

Dilihat dari sudut pengertian, ternyata karakter dan akhlak tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Keduanya didefinisikan sebagai suatu tindakan yang terjadi tanpa ada lagi pemikiran lagi karena sudah tertanam dalam pikiran, dan dengan kata lain, keduanya dapat disebut dengan kebiasaan. Dengan demikian karakter bangsa Indonesia adalah kebiasaan bangsa yang dilandasi oleh apa yang tertanam dalam fikiran bangsa Indonesia dalam berkehidupan sebagai bangsa indonesia dan bagian dari bangsa-bangsa di dunia.




Unsur terpenting dalam pembentukan karakter adalah pikiran karena pikiran, yang di dalamnya terdapat seluruh program yang terbentuk dari pengalaman hidupnya, merupakan pelopor segalanya. Program ini kemudian membentuk sistem kepercayaan yang akhirnya dapat membentuk pola berpikirnya yang bisa mempengaruhi perilakunya. Jika program yang tertanam tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran universal, maka perilakunya berjalan selaras dengan hukum alam. Hasilnya, perilaku tersebut membawa ketenangan dan kebahagiaan. Sebaliknya, jika program tersebut tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum universal, maka perilakunya membawa kerusakan dan menghasilkan penderitaan. Oleh karena itu, pikiran harus mendapatkan perhatian serius.

Identitas Nasional





Istilah identitas nasional dapat disamakan dengan identitas kebangsaan. Secara etimologis , identitas nasional berasal dari kata identitas dan nasional. Kata identitas berasal dari bahasa Inggris identity yang memiliki pengertian harfiah; ciri, tanda atau jati diri yang melekat pada seseorang, kelompok atau . sesuatu sehingga membedakan dengan yang lain. Kata nasional merujuk pada konsep kebangsaan.

Kata identitas berasal dari bahasa Inggris identiti yang memiliki pengerian harfiah ciri-ciri, tanda-tanda atau jati diri yang melekat pada seseorang atau sesuatu yang membedakannya dengan yang lain. Jadi, pegertian Identitas Nsaional adalah pandangan hidup bangsa, kepribadian bangsa, filsafat pancasila dan juga sebagai Ideologi Negara sehingga mempunyai kedudukan paling tinggi dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk disini adalah tatanan hukum yang berlaku di Indonesia, dalam arti lain juga sebagai Dasar Negara yang merupakan norma peraturan yang harus dijnjung tinggi oleh semua warga Negara tanpa kecuali rule of law, yang mengatur mengenai hak dan kewajiban warga Negara, demokrasi serta hak asasi manusia yang berkembang semakin dinamis di Indonesia. atau juga Istilah Identitas Nasional adalah suatu ciri yang dimiliki oleh suatu bangsa yang secara filosofis membedakan
bangsa tersebut dengan bangsa lain.



Bangsa Yang Berkarakter Pancasila

Benang merah uraian singkat di atas adalah, bahwa bangsa Indonesia memiliki karakter yang menunjukan identitas nasionalnya jika dalam “mind setnya” yang tercermin dalam kebiasaan hidup sehari-harinya tidak lepas dari pandangan hidup bangsa Indonesia, Pancasila. Oleh karenanya, membangun karakter bangsa dengan. mengesampingkan “way of life” bangsa Indonesia, artinya sama saja membangun karakter “bukan” bangsa Indonesia.


Pancasila sebagai kepribadian bangsa harus mampu mendorong bangsa Indonesia secara
keseluruhan agar tetap berjalan dalam koridornya yang bukan berarti menentang arus
globalisasi, akan tetapi lebih cermat dan bijak dalam menjalani dan menghadapi tantangan dan peluang yang tercipta. Bila menghubungkan kebudayaan sebagai karakteristik bangsa dengan Pancasila sebagai kepribadian bangsa, tentunya kedua hal ini merupakan suatu kesatuan layaknya keseluruhan sila dalam Pancasila yang mampu menggambarkan karakteristik yang membedakan Indonesia dengan negara lain.


Kebiasaan berperilaku secara spontas sesuai nilai-nilai Pancasila inilah, yang deisebut sebagai Berkarakter Indonesia. Dengan demikian membangun Karakter Bangsa, semestinya adalah membangun karakter Pancasila.




Keberhasilan Pembangunan Karakter Bangsa

Indikator-indikator keberhasilan pembangunan karakter bangsa akan terlihat pada kebiasaan hidup warga negaranya. Indikator-indikator itu adalah :
a. Manusia yang Berketuhanan Yang Maha Esa, yakni menjalankan secara spontan ajaran ajaran agamanya.
b. Manusia yang berkemanuasiaan yang beradab,
c. Manusia yang memiliki komitmen Persatuan Indonesia
d. Manusia yang menjunjung tinggi kerakyatan, musyawarah, berhikmad dalam kebijaksanaan ( Wisdom)
e. Manusia yang memiliki kebiasaan berkeadilan sosial.

Mengevaluasi Karakter Bangsa



Indikator-indikator makro di atas tentu saja dapat diderivasi menjadi indikator-indikator lebih detail )mikro) yang operasional. Dengan indikator-indikator operasional ini kita dapat mengevaluasi seseorang telah berperilaku yang menunjukan karakter Pancasila atau tidak tentu saja dalam setting yang beragam.

Sebagai misal, jika dia seorang wakil rakyat, apakah dia sudah menyampaikan aspirasi rakyat atau belum, bagaimanakah dia menyampaikan aspirasi itu sudahkah dia melakukan musyawarah-musyawarah, dalam musyawarah atau sidang, sudahkah dia memegang teguh sopan santun bersidang ? dan seterusnya.

Makna Peringatan I Juni

Tanggal 1 Juni 1945 merupakan momen penting dalam sejarah bangsa Indonesia dalam menentukan ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang baru saja lahir. Kukuhnya Pancasila sebagia dasar NKRI kenyataannya memang banyak mengorbankan nyawa sesama bangsa sendiri. Ini membuktikan bahwa Pancasila adalah hasil kerja keras para pemimpin bangsa dalam menghadapi kondisi pluralitas bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai macam unsur, baik suku bangsa, adat istiadat maupun agama yang berbeda-beda. Nilai-nilai universalitas Pancasila makin tampak ketika menghadapi pluralitas masyarakat Indonesia ketimbang harus mengadopsi kelompok agama tertentu.

Mereka-mereka yang terlibat dalam perdebatan panjang, melalui sidang-sidang yang penuh argumentasi telah membuktikan mampu melebur dan menunjukan jati diri mereka sebagai suatu bangsa yang walaupun berbeda-beda namun tetap satu, Indonesia. Karakter yang dilandasi oleh "mindset" Indonesia inilah yang semestinya harus dikembangkan dan dibangun ditengah gejolak dan propaganda berbagai ideologi dan kepentingan yang mengatasnamakan "globalisasi".



Oleh karenanya, 1 Juni, setiap tahun akan sangat punya makna untuk mereview, mengevaluasi dan melakukan koreksi-koreksi setiap langkah kita sebagai bangsa, apakah kita telah memiliki identitas karakter, dari suatu bangsa yang bernama Indonesia.

Cerita Dari Negeri Sakura

Di tengah karakter bangsa yang kian terpuruk, dimana terjadi berbagai dekadensi moral dari orang-orang yang seharusnya menjadi panutan, seperti kepala daerah yang justru meningglakan wilayahnya yang sedang tertimpa bencana, wakil rakyat yang tidak memiliki kepekaan terhadap "aspirasi" rakyatnya, birokrat yang masih bermain-main dengan tanggung jawabnya, Cerita Seorang Sahabat dari negiri Sakura saat terjadi Tsunami sangat relevan untuk dikedepankan.

Dari cerita itu, nampak bahwa heroisme, kerelaan berkorban, dan karakter mulia lainnya bukan monopoli mereka-meraka yang memakai seragam (militer), sehingga sungguh naif, jika masalah pembangunan karakter bangsa dikondisikan dengan paradigma militerisme. Seolah-olah jiwa disiplin, patriotisme, dan lain-lain harus dengan "warna militer", sampai-sampai tim sepak bola pun harus dimiliteraisasi.

Demikian juga dalam membangun karakter bangsa, latihan-latihan verbal kemeliteran, bukan satu-satunya pilihan, karakter mulia, dapat dikemas melalui cerita, melalui pengamatan mikroskopis, melalui pengamatan mikroskopis, bahkan melalui kegiatan-kegian refreshing dan santai.

Berikut ceritanya :




Di belakang saya itu ada Gedung berwarna merah. Diatas gedung itulah seorang perempuan perempuan bernama Endou san berteriak2 dg mikrophone ketika datang tsunami. ` nigeru..... nigeru..... menyuruh semua orang di daerah Minami Sanriku cho untuk lari... lari... Namun dia sendiri sampai detik terakhir datangnya tsunami tetap bertahan sampai menemuai ajalnya. Dari teriakan lewat mikrophone itu ribuan orang terselamatkan, walaupun dia sendiri meninggal dunia.

Kisah nyata ini mengingatkan saya, ketika mengajar di SD Shiogama. Anak2 dibiasakan dg cerita heroik seorang kepala desa yang tinggal di atas bukit. Suatu hari penduduk desa semua melihat rumah kepala desa terbakar. Kemudian semua penduduk yg tinggal dibawah bukit ditepi pantai berlarian menuju rumah kepala desa. Dan kepala desa menghadang para penduduk didepan pintu.

Ada apakah gerangan...

Lalu kepala desa menjelaskan... rumah saya ini sengaja saya bakar, agar kalian datang kesini. sekarang lihatlah rumah kalian dibawah sana sudah digulung tsunami yang datang..

Dari pemaparan diatas nampak bahwa karakter terkait dengan mindset, dengan demikian membangun karakter lebih menuntut pada "penggarapan" mindset (fikiran) secara intens, sesuai dengan pola kerja fikiran tentunya. Ironisnya, dalam hiruk isue pembangunan karakter bangsa, penggarapan fisik, gedebag-gedebug raga, push up, baris - berbaris, lebih dikedepankan. Absurd memang negeri ini.


"Happy 1 Juni, Happy NKRI" !

Tidak ada komentar: