MISI

***************** A MAN WHO WANT TO CREATE AN EDEN IN THE WORLD *****************

Sabtu, 15 November 2014

BELENGGU BERATRIBUT KEBEBASAN

Penjajahan yang paling halus dan tak terasa adalah melalui pendidikan. Sejak awal 80 =an, munculnya Mahzab Freirian (Paulo Freir) dengan konsep pendidikan yang membebaskan muncullah ide-ide pendidikan metoda, pendekatan dan pembelajaran yang “memanjakan kebebasan”. tentu saja kemunculan madzab itu dipengaruhi olejh banyak hal termasuk paradigma dan keyakinan serta maksud dan tujuan pencetusnya meski dalam penyebarannya berbagai hal itu tidak diungkapkan bahkan mungkin disembunyikan
Ide ini sungguh laris manis, bahkan pada tahun 80, saat penulis masih aktif sebagai koordinator Analisis dan Kajian Laboratorium dakwah Shalahuddin, sempat membedah buku karaya Paulo Freira bergambar tangan mengepal itu. Ide Kemerdekaan peserta didik dari “penjara Pendidikan” itu begitu mempesona hingga kemudian diderivasikan melalui berbagai “Hasil Turunan” seperti sekolah Merdeka, sampai diwujukan dalam “enjoy Learning” yang pada akhirnya didistorsikan kemudian menjadi “Learning with Enjoy”, “Belajar dengan bersenang-seang’, kalau belajar tidak bersenang-senang itu menyiksa siswa, seakan kurang memberi kesempatan siswa berekspresi.
Belajar dengan senang hati sebenarnya lebih dipengaruhi oleh faktor internal, yakni “minat”, seorang yang sangat berminat di MIPA, maka dia akan merasa “Happy” berkutat dengan serangkaian ketekunan eksperimen. Sementara itu Enjoy Learning yang ada justru ukurannya dinamika kehebohan, kelas seakan bukan hal yang menyenangkan jika “ayem tentrem”, tak ada sorak sorai, senda tawa dan tepuk tangan.
Sudah barang tentu distorsi ini sangat dipengaruhi oleh paradigma pembawa “kebebasan belajar Itu sendiri”, yang lebih ke arah “pantekostik’, yang berparadigma, hanya dengan kehebohan “Ruh penyelamat dan kebenaran akan hadir” maka sambutlah dengan bertepuk tangan, bernyanyi dan bersorak. Hali ini Sungguh berseberangan dengan konsep timur yang meyakini hakekat akan hadir dan dapat diraih dalam suasana hikmad, tenang. Maka butuh kontemlasi, tahanut, keheningan dalam kondisi fokus tafakur dan sejenisnya.
Sudah barang tentu kebiasaan apa yang terjadi di dalam kelas akan menjadi budaya, dan kemudian menjadi karakter. Karakter kebebasan tanpa batas inilah muara dari paradigma “pendidikan Yang membebaskan”, jangan diartikan sekedar membebaskan dari kebodohan, atau kelemahan manusiawi, lebih jauh dari itu. Budaya serba bebas inilah yang memang menyenangkan, dan sudah terindikasi dari ekpresi kebebasan pergaulan pelajar, dimana kelas-kelas telah menjadi ruang-ruang bordil, pojok-pojok mesum Seperti yang terjadi di berbagai sekolah, terutama sekolah negeri dri berbagai video yang beredar, baik dari sekolah negeri umu maupun negeri bernafasakan agama
Kurikulum 2013 sangat berpotensi mengarah kesana, meskipun ada apa yang disebut Kompetensi Inti sporitual (KI 1), tapi itu sekedar pada formalitas pelaksanaan ibadah di sekolah. Agama tidak lagi menjadi bagian intigral dari seluruh bangunan keilmuan dan kreatifitas, dan inilah yang kami sebut sebagai Poptensi sekuleritas kurikulum 2013. Memang penulis akui, dengan kurikulum 2013, kebebasan kreatifitas dimanjakan besar-besaran. posisi kebebasan siswa sangat sentral, bahkan guru direduksi hingga pada posisi sekedar fasilitator, namun kresatifitas yang tidak terbimbing oleh nilai-nilai religius (terutama Islam), maka kreatifitas itu akan tumbuh menjadi kreatifitas bermakna negatif, yakni sikap licik, yang implikasinya adalah “orang-orang pintar” yang keminter dan suka “ngakalin”, akal-akalan, itulah fenomena riil yang kita amati saat ini.
Kembali pada pembangunan manusia seutuhnya, sebagai abdullah (yang tunduk) dsan khalifatullah (yang kreatif dan manfaat) dengan posisi guru tetap sebagai figur “yang digugu dan ditiru” adalah kebutuhan utama pendidikan Indonesia saat ini. Tentu saja hal ini adalah tanggung jawab kita semua, namun demikian Mendikdasmen lah yang harus mengambil kebijakan, memange hutang kemerdekaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan paramater spiritual bahwa manusia yang cerdas adalah manusia yang mampu mengekang potensi nafsunya dan berkarya dengan orientasi akhirat, sebagai amanat bangsa yang berketuhanan yang maha esa.
Oleh karena itu, agar kita tidak tergerus oleh arus deras “kebebasan” yang telah menjadi arus utama (main stream) pendidikan dunia, dimana muaranya adalah eksprersi kebebasan nafsu kita maka kita harus segera memperbaiki kekeliruan perjalan pendidikan kita. Pemilihan mahdzab pendidikan yang sesuai dengan dasar philosofi bangsa sebenarnya dijamin oleh Unesco sendiri, sebagai organisasi Pendidikan dan kebudayaan Internasional, sayangnya budaya Copy paste yang telah mengakar di serabut syaraf pikir para ahli pendidikan kita, lebih mendoroing dunis pendidikan Indonesia merambah jalan latah dan membiarkan kebebasan justru menjadi penjajah.
Terserah pilihan kita yang mana !.

Tidak ada komentar: