MISI

***************** A MAN WHO WANT TO CREATE AN EDEN IN THE WORLD *****************

Jumat, 26 Februari 2010

NATION'S CHARACTER BUILDING




Missi utama kehadiran dan kerasulan Muhammad SAW adalah untuk menjadi rahmat bagi alam semesta, wamaa arsalnaaka illaa rahmatan lil ‘alamiin demikian kitabuullah menegaskan. Untuk mewujudkan missi kerisalahan ini hal utama yang dilakukan adalah menyempurnakan akhlaq mulia, membangun karakter umat manusia, membangun jati diri umat manusia sebagai ‘abdullah dan khalifatullah. Oleh karenanya, penilaian terhadap suatu kaumpun berlandaskan pada konteks ini, Suatu kaum akan kokoh, kalau kuat akhlaknya dan akan hancur jika hancur akhlaqnya. Dalam frame berbangsa, maka kuat tidaknya suatu bangsa ditentukan oleh kekuatan akhlaknya, kekuatan jati diri bangsa itu. Untuk itu, pembangunan suatu bangsa akan selalu berbarengan dengan pembangunan karakter bangsa (Nation Chatacter building).

Kesadaran ini sangat kentara disadari oleh para Founding Fathers, Pembangunan Karakter Bangsa menjadi tema central dalam tiap tahapan pembangunan. Bagi para founding farhers, karakter atau jati diri bangsa Indonesia tercermin pada pandangan hidup bangsa Indonesia yakni : bangsa yang berketuhanan yang maha esa, manusia yang beradab, spirit kesatuan, merakyat dan adil. Pengejawantahan dari cita-cita mewujudkan bangsa yang demikian dalam tema lain kita kenal sebagai Pembangunan Manusia Seutuhnya.

Pergantian kepemimpinan National dari periode ke periode idealnya semakin memperkokoh cita-cita mewujudkan manusia indonesia ideal, manusia Indonesia yang dilandasi oleh Idealisme kebangsaannya. Sayangnya pergantian kepemimpinan Nasional justru sering disertai dengan pergantian atau pergeseran kualitas dan idealismenya, sehingga pembangunan karakter bangsa direduksi nilainya. Ini bisa kita lihat dari pergeseran wacana pembangunan yang lebih artifisial, Pembangunan Bangsa yang bermartabat.

Jika kita klik, di google translate, bermartabat diartikan sebaagai “have a grade”, punya kelas, yang bisa juga dikatakan berkelas. Dalam kehidupan sehari-hari, terutama dilingkungan keluarga Jawa, diantara nasihat orang tua kepada anaknya mengatakan : jaga martabat keluarga, artinya, jaga harga diri, gengsi dan sejenisnya, sesuatu yang diukur dan dibandingkan dengan faktor eksternal.

Jika kita melihat bentuk kata asalnya, martabat, tentu berupa kata serapan dari bahasa Arab Martabathun. Kata ini sebentuk dengan marhamathun . Kata Marhamathun (diwakof jadi marhamah) terdapat dalam Q.S Al Balad : tawa shaubishobri wa tawaa shaubil marhamah yang di artikan sebagai berwasiat dalam kesabaran dan dalam kasih sayang. Merujuk kepada hal itu, Martabathun, yang akar katanya Rotaba, yang bisa jadi Tartib (berurutan)dalam makna prosedural atau tata cara, bukan dalam nilai (darojah) atau kemuliaan (karomah) atau hukum (tahkim, mahkamah)maupun kehormatan (marwah) dapat dimaknai keteraturan, jadi bangsa yang bermartabat bisa dimaknai sebagai bangsa yang teratur berurutan. Sebagai contoh, salah satu rukun sholat adalah tartib, maka sholat dilakukan dengan urutan dari takbirotul ikhrom hingga salam. Bukan takborotul ikrom terus salam baru baca alfatihah.

Melihat pengertian di atas, maka konsep pembangunan bangsa bermartabat, yang dimaknai bangsa berkelas, mengingatkan kita pada wacana sosiologis jaman perbudakan. Kelas, dalam wacana sosiologis, diartikan sebagai strata sosial. Pada zaman itu, ada kelas budak ada kelas tuan, wacana lain kelas proleterat dan kelas borjuis, wong cilik dan bangsawan. Pertentangan kelas melahirkan berbagai perang dan juga melahirkan dinamika sosial secara vertikal, kelas budak ingin menjadi tuan, buruh ingin menjadi majikan, atau kere ingin munggah bale. Obsesi-obsesi naik kelas, menjadi kelompok yang dihargai, yang bermartabat, bisa mengahalalkan segala cara, sehingga melahirkan berbagai “luka sejarah”.

Adakah konsep Pembangunan Bangsa Bermartabat, merupakan kesadaran kelas, bangsa berkelas rendah menuju bangsa berkelas tinggi ? Apakah ini sebuah “inferiority Syndrome” dari bangsa besar yang bernama Indonesia yang silau memandang klas “super power’ ? Layakkah kita menggunakan konsep ini mengingat bangsa kita adalah bangsa yang memiliki budaya Adiluhung, tumpah darah yang laksana surga diteteskan di atas khatulistiwa ? Atau memang ini kesadaran kolektif, kita bangsa budak karena mau diperbudak bangsa lain ?

Atau Jika kita diberikan pilihan : apakah membangun bangsa yang berkarakter dengan segala karakteristik khasnya atau membangun bangsa berkelas yang selalu dibandingkan dengan bangsa pembandingnya ?

Nation character building, akan melahirkan bangsa yang punya karakter yang sadar akan karakteristik-karakteristik bangsanya, alamnya, budayanya, falsafah bangsanya dan aturan, nilai, norma dan segala yang khas bangsanya. Manusia Indonesia yang berkarakter, yang punya jati diri, akan selalu mempertimbangkan setiap langkah hidupnya dengan keindonesiaannya, bukan dengan keeropaan, keamerikaan atau keaustraliaan. Manusia Indonesia yang berkarakter, tidak sekedar mengejar kelas, martabat atau gengsi dengan meninggalkan nilai, norma, hukum nasionalnya.
Manusia Indonesia yang berkarakter, tidak terobsesi melakukan dinamika kelas ke atas, naik kelas Sosial ekonominya, dengan korupsi, manipulasi dan konspirasi karena itu semua bukan jati diri manusia yang berketuhanan yang maha esa.

Renungan Maulid ini, semoga menyadarkan kita, bahwa bangsa kita sedang direduksi, digradasi oleh pemimpinnya sendiri hanya demi mengejar gengsi.

Atau memang kita dibangun sekedar menjadi bangsa yang mau teratur berurutan seperti teratur berurutan dalam antre BLT, antre pemberian zakat, teratur menunggu giliran pemadaman listrik dll ?

Wallahu ‘alam.


Tidak ada komentar: