MISI

***************** A MAN WHO WANT TO CREATE AN EDEN IN THE WORLD *****************

Kamis, 09 Desember 2010

TANPA INDONESIA , YOGYA TETAP ISTIMEWA



Ketika ribut-ribut DPR akan Study banding ke Yunani, penulis menyarankan mereka mengurungkan dan leboih baik pergi ke Yogyakarta untuk belajar Mocopat. Saran ini tentu disamping akan belajar Etika dan estetika, belajar mocopat akan mendapatkan penerangan, tuntunan dan apa yang harus dilakukan sesuai dengan perioda hidup, dari masih benih hingga Megatruh dan Pocung. Sehingga semua tindak tanduk, perilaku, benar-benar holistik, tidak sekedar inilah saya, yang saya maksud begini, rakyat harus mengerti dsb, yang semestinya justru pemimpin harus "Jatmika ing Budi', dalam bahasa Covey, dia harus Seek Understand than to be understood. Harus memahami, bukan ingin dipahami.

Sebelum melontarkan pendapat, pernyataan dsb, seorang pemimpin harus benar-benar memperhatikan dan memahami benar-benar kondisi rakyat. Selain bener, pernyataan juga harus pener. Bukan malah sebaliknya, setelah melontarkan pernyataan, perlu klarifikasi, bahkan perlu curhat untuk dipahami pernyataannya. Saungguh terbalik.



Blunder pernyataan SBY yang mengusik keistimewaan DIY, mulai menampakkan dampak serius. Hal ini tercermin dari langkah riil keluarga Ngarsa Dalem dengan langkah politiknya keluar dari Partai Demokrat. liputan6.com melansir berita adik Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai berikut : Gusti Bendoro Pangeran Haryo Prabukusumo, adik Sri Sultan Hamengku Buwono X, Rabu (8/12) malam, secara resmi mengundurkan diri dari jabatan selaku Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Demokrat Daerah Istimewa Yogyakarta. Ia sekaligus keluar dari keanggotaan partai tersebut.

Selanjutnya diungkapakan : "Alasan pengunduran diri saya ini karena ada perbedaan pemahaman tentang Rancangan Undang-undang Keistimewaan (RUUK) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), antara sikap politik saya dengan kebijakan DPP Partai Demokrat," kata Gusti Bendoro Pangeran Haryo (GBPH) Prabukusumo.

Menurut dia, sikap politiknya selama ini sudah jelas, yakni sejalan dengan amanah ayahandanya yaitu mendiang Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan mendiang Sri Paduka Paku Alam VIII serta almarhum Presiden Pertama RI Soekarno. Mereka pernah mengamanatkan penentuan Gubernur DIY melalui penetapan, bukan pemilihan.

"Saya harus menjaga harga diri almarhum ayahanda, dan Sri Paduka Paku Alam VIII, sebagaimana yang tertuang dalam Amanat 5 September 1945, yakni menyerahkan kekuasaan nagari dalem ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sehingga tidak mungkin saya mengkhianati ayahanda," katanya.

Ia mengatakan arti dari amanah tersebut adalah adanya pengorbanan harga diri dari Sultan HB IX dan Paku Alam VIII yang dulunya merupakan penguasa penuh, dan hanya menjadi gubernur dan wakil gubernur," katanya. "Dengan jadi gubernur dan wakil gubernur, yang tadinya kekuasaan penuh menjadi terbatas, karena harus taat pada UUD 1945, keppres dan undang-undang lainnya. Ini merupakan pengorbanan harga diri, apa iya sekarang masih mau dipotong lagi," katanya.

Prabukusumo mengatakan dalam amanat tersebut terjadi posisi tawar, yakni tetap menjadi orang yang berkuasa penuh di wilayahnya. "Jika hal ini menjadi tolok ukur pemerintah, maka sebenarnya masalah ini akan selesai, namun jika itu dikurangi lagi maka ini sudah melenceng dari amanat," katanya.

Lebih jauh ia mengatakan, tawaran pemerintah untuk menjadikan Sultan dan Paku Alam sebagai orang yang dihormati di atas gubernur dan wakil gubernur adalah hanya rekayasa dan menjadikan mereka seperti macan ompong. "Dengan konsep seperti itu, maka membatasi Sultan dan Paku Alam dengan rakyatnya," katanya.

Rencananya pengunduran diri tersebut juga akan diikuti dengan penyerahan kartu tanda anggota (KTA) Partai Demokrat yang akan diserahkan di Kantor DPD Partai Demokrat pada Kamis pagi. "KTA saya akan saya serahkan kepada orang yang paling saya percaya dan menjadi panutan kami selama ini di jajaran DPD Partai Demokrat DIY, dan nanti pengurus daerah yang akan mengembalikan KTA saya ke pusat," katanya.

Menurut dia, selain alasan tersebut dirinya juga merasa sakit hati atas ucapan salah satu pengurus Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat Ruhut Sitompul dan pengurus lainnya terkait dengan istilah darah biru serta dari Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi yang cenderung berubah-ubah. Demikian liputan6.com menulis.

Bagi penulis, sikap puritan SBY tentang demokrasi yang seolah-olah hanya satu wajah, tanpa varian-varian yang memungkinkan sehingga mempertentangkan Demokrasi dengan "Kesultanan Yogya" vis at vis, menunjukan bahwa SBY kurang memahami :

1. Posisi Keistimewaan Yogyakarta dalam NKRI
2. Hakekat Amanah kerakyatan dalam dalam kontek Republika Indonesia.

Yogyakarta Yang Istimewa

Mengusik keistimewaan Yogyakarta saat berkuasa dan mengendalikan kekuatan parlemen untuk melahirkan Undang-Undang, sama saja mencoba merampas harta milik seseorang melalui pengadilan dimana kekuatan pengadilan ada dalam genggamannya. Keputusan perampasan itu mungkin syah secara legal formal, namun haram disisi kemanusiaan dan nurani.


Sebagai manusia yang berhati nurani, kita dapat menggunakan logika balik, bagaimana jika pada saat Republik Indonesia masih sempoyongan, dan harus "tetirah" ke Yogyakarta pada saat yang sama Sultan menikamnya ? tentu Indonesia akan layu sebelum berkembang. Layakkah SBY, pada saat Yogyakarta harus berduka dan Sultan bersama rakyat Yogya yang sangat dicintainya harus membangun Yogya untuk kembali asri karena dilanda bencana, ujug-ujug SBY membidikkan panah beracun ke jantung "Keistimewaan Yogya" ?

Demokrasi Indonesia Amanah Kerakyatan Mufasyawarah Mufakat

Jika anda suka masakan dari sayuran, berbumbu sambal kacang, anda bisa melahap jenis menu dari bahan itu dalam kemasan karedok, gado-gado ataupun pecel. Pecelpun kita bisa pilih model SGPC (Sego pecel) Deket Gedung Pusat UGM atau kemasan pecel Madiun,bahkan pecel has kreta api ekonomi dengfan lontong dan mendoannya. Demikian juga dengan Demokrasi, ada demokrasi ala Amerika atau negara lain dengan berbagai varian - variannya.

Demokrasi Ala Indonesia, adalah demokrasi yang menekankan pada spirit musyawarah untuk mufakat yang mengikuti mahzab "Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmad kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Founding Fathers yang memahami spirit dan realitas yang ada pada masyarakat menggali ini semua untuk menjadikan Indonesia berbentuk republik dengan warna tersendiri, menjalankan demokrasi dengan varian keindonesiaan.

Dengan demikian mencoba melakukan "pemurnian demokrasi" oleh para "demokrat" dengan copy paste standar negara-negara lain, atau manut grobyug "guru-guru demokrasi" dengan menisbikan akar tumbuh suburnya kerakyatan Indonesia, sama saja akan menumbangkan pohon besar yang bernama Indonesia.

Apakah hal ini yang menjadi tujuan kelompok-kelompok tertentu, para "Demokrat Radikal" dengan isue-isue demokrasinya ? Apakah isue-isue tersebut bukan merupakan bentuk radikalisme dalam wajah lain ?



JIka hal tersebut yang terjadi, maka sesungguhnya bukan Daerah Istimewa Yogyakarta atau Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang akan terkoyak, tetapi Indonesialah yang akan tercabik-cabik.

Tanpa Indonesia, Ngayogyakarta Hadiningrat telah eksis dan dihormati oleh negara-negara, kesultanan-kesultanan, kerajaan-kerajaan, kekaisaran-kekaisaran lain selama beratus-ratus tahun.Bahkan penjajahpun sangat menjunjung tinggi kesultanna. Sebaliknya, Jika tanpa Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia akan menjadi lebih kecil, dan kehilangan daerah yang kaya dengan budaya, intelektual dan peradabannya.

Tanpa Indonesia, Yogyakarta tetap istimewa, namun tanpa Yogya, Indonesia akan kehilangan sebagian pamornya.



Mungkin itu pernyataan ekstrim, namun hal itu memang realitanya. Karena Ngayogyakarta Hadiningrat telah menunjukan prestasi sesungguhnya sebagai Kraton Untuk Rakyat. Disana ada kampus rakyat yang tumbuh dari Kraton dan menjadi kampus hebat (UGM) bukan hanya di Indonesia, tapi Asia bahkan dunia. Kehidupan harmoni di yogya yang tak ada tandingannya di Indonesia, justru juga dipelihara oleh nilai-nilai luhur yang terpancarkan dari kraton dsb.

Amanat

Untuk menutup tulisan ini, mari kita renungkan amanah Sri Sultan HB IX, yang menjadi semacam "Ijab Qobul" gabungnya Ngayogyakarta Hadiningrat ke NKRI.

AMANAT

SRI PADUKA INGKENG SINUWUN KANGDJENG SULTAN

Kami Hamengku Buwono IX, Sultan Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat menjatakan:

1. Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.

2. Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada ditangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja kami pegang seluruhnya.

3. Bahwa perhubungan antara Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Kami memerintahkan supaja segenap penduduk dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mengindahkan Amanat Kami ini.

Ngajogjakarta Hadiningrat, 28 Puasa Ehe 1876 atau 5-9-1945

HAMENGKU BUWONO IX


AMANAT

SRI PADUKA KANGDJENG GUSTI PANGERAN ADIPATI ARIO PAKU ALAM




Kami Paku Alam VIII Kepala Negeri Paku Alaman, Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat menjatakan:


1. Bahwa Negeri Paku Alaman jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.

2. Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Paku Alaman, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Paku Alaman mulai saat ini berada ditangan Kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja Kami pegang seluruhnja.

3. Bahwa perhubungan antara Negeri Paku Alaman dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Kami memerintahkan supaja segenap penduduk dalam Negeri Paku Alaman mengindahkan Amanat Kami ini.

Paku Alaman, 28 Puasa Ehe 1876 atau 5-9-1945


Jadi kenapa SBY harus bermain bola api ?

Wallahu a'lam bishowab.

Tidak ada komentar: