MISI

***************** A MAN WHO WANT TO CREATE AN EDEN IN THE WORLD *****************

Sabtu, 28 Juni 2014

JOKOWI MUSLIM PEMBELAJAR

Pada rubrik politik kompasiana edisi 18 May 2014, dengan judul Jokowi Dikuya-Kuya, Jokowi Kian Perkasa kami menulis :“Dengan demikian Apa yang dilakukan Jokowi dalam kepemimpinannya sudah menunjukan “hanifan Musliman” , yakni kepemimpinan yang condong pada kebenaran dan penciptaan kedamaian (kepatuhan). Oleh karena itu Para Kyai, Penasihat, Kualisi dari partai Islam semoga mampu membuat Jokowi semakin menegaskan ” Qul Inna sholati, wanusuki wamahyaya wamamati lillahi robbil ‘alamin, dan laa syarii kalahu wa bidzalika umirtui wa anna awwalul musalimin . Dalam artian, apa yang akan Jokowi lkukan ke depan akan lebih memperkokoh dirinya sebagai sebagai pemimpin Islam yang sadar bahwa semua yang dilakukannya terkait dengan pengabdian kepada Allah SWT, sehingga bukan karya garing, tetapi karya yang beruh Ketuhanan Yang Maha Esa. Jokowi semakin memiliki komitmen membumikan nilai-nilai rahmatan lil almin, dengan kesadaran penuh sebagai pemimpin Islam di negara yang berbineka tunggal ika.
Jalan demikian sebaiknya kita tempuh ketimbang terus mendiskiditkan Jokowi, yang boleh jadi bisa semakin jauh dari apa yang kita harapkan. Ini sebuah jalan tengah, saat dimana “pemimpin Islam formalisme” yang mengibarkan simbul-simbul agama namun justru perilakunya lain kata dan perbuatan sehingga kurang mendapat dukungan umat. Dan tugas kita bersama ke depan, bagaimana kita dapat lebih memunculkan pemimpin-pemimpin sesuai nilai-nilai ideal kita. Tentu saja hal ini tidak dapat dilakukan oleh mereka yang memiliki jiwa hipokrit, yang saat ini banyak bergentayangan.”
Melalui siaran pers hari ni, Sabtu, tanggal 24 mei 2014 yang dikutip Kompasiana, Jokowi menegaskan : “Saya Jokowi, bagian dari Islam yang Rahmatan Lil Alamin. Islam yang hidup berketurunan dan berkarya di Negara RI yang memegang teguh UUD 45. Bhinneka Tunggal Ika adalah rahmat dari Tuhan,” kata Jokowi dalam siaran pers yang diterima media. Dalam siaran pers itu Jokowi seakan menjawab berbagai tudingan yang dialamatkan pada Jokowi di media sosial. Jokowi kerap disebut sebagai antek Zionis, Amerika, Tiongkok dan mafia. ”Semua orang boleh ragu dengan agamaku tapi saya tidak ragu dengan iman dan imamku dan saya tidak pernah ragu dengan Islam agamaku,” ujarnya. Jokowi juga mengatakan dirinya bukan bagian dari kelompok yang mengaku Islam yang punya tujuan mewujudkan negara Islam. Dirinya pun menyatakan bukan bagian dari yang mengaku Islam tapi suka menebar teror dan kebencian.
Lebih jauh Ir. Joko Widodo itu menegaskan : “Saya bukan bagian dari kelompok Islam yang sesuka hatinya mengkafirkan saudaranya sendiri,” katanya. Jokowi juga mengatakan dirinya bukan bagian dari segelintir Islam yang menutupi perampokan hartanya, menutupi pedang berlumuran darah dengan gamis dan sorban. Jokowi juga bukan bagian dari Islam yang membawa ayat-ayat Tuhan untuk menipu rakyat. Dirinya mengaku bukan bagian dari Islam yang membawa azas partainya untuk korupsi dan hidup bermewah-mewah. Dirinya juga menyatakan bukan bagian dari Islam yang menciptakan perang bagi sesama Islam. ”Saya bukan bagian dari Islam yang menindas agama lain. Saya bukan bagian dari Islam yang arogan dan menghunus pedang di tangan dan di mulut. Saya bukan bagian dari Islam yang suka menjejerkan fustun-fustunnya,” ujarnya.
Jika kita rujuk dengan paparan penulis di atas, siaran pers Jokowi itu sekana semakin mempertegas bahwa dirinaya adalah Hanifan Musliman, sebagaimana telah penulis ungkapan. Nah saatnya para tokoh Islam Rahmatan Lil SAlamin, yang jujur dan tulus, mau terus bersama-sama melakukan check and balance, tausiah mengawal Jokowi agar semakin benar-benar menebar berkah bagi bangsa yang berketuhanan yang maha Esa, dengan semakin sadar akan posisinya, akan amanah ke abidan dan kekhalifahannya. Sehingga Jokowi benar-benar dapat membumikan “inna sholati, wanusuki wamahyaya wama maati lillahi robil alamin” , sehingga sangkan paraning dumadi Jokowi tetap dalam koridor memenuhi panggilan “gusti kang Mrubeng Dumadi” Dilihat dari karakternya, maka Jokowi memungkinkan lebih mudah diberi “tausiah” para penyuluh budi untuk tetap berjalan dalam memegang manah kekhalifahan, dibandingkan jika orang yang memiliki kecenderungan membangkang. Kecenderungan-kecenderungan ini dapat kita ikuti melal;ui trck record yang ada.
Jokowi Sang Pembelajar Upaya Jokowi untuk mempersiapkan debat tersebut, mendapat sorotan dan banyak menuai komentar sinis ditujukan kepadanya terkait hal itu. Pertanyaannya adalah, benarkah sikap kita dalam menilai seoramng yang mau belajar ? Sebagai guru, kami selalu mengapresiasi kemaun belajar siapapun, termasuk kemauan belajar Jokowi. Kemauan belajar tentu sangat terkait dengan kejujuran menilai diri (muhasabah), pribadi yang jujur menilai dirinya dan menemukan berbagai kekurangannya sangat terbuka jalan lebar untuk mengantarkan dirinya ke level (grade) lebih baik. Kejujuran seperti ityu pernah terjadi pada diri Rasulullah yang sadar dirinya tidak dapat membaca. Ketika jibril menyuruhnya untuk membaca, Iqro ! rasulullah menjawab dengan jujur Maa ana biqori, saya tyidak dapat menjawab. Dari jawaban jujur itulah Rasulullah terbimbing untuk dapat membaca, membaca atas nama tuhan yang telah menciptakan.
Meski Jokowi memiliki kekuatan lain diluar kekuatan berdebat/retorika, namun karena Jokowi sadar bahawa hal itu juga perlu ditingkatkan maka Jokowi mau terus menmgasah dirinya. Bagi orang yang memiliki emphati, berapapun kemajuan Jokowi dalam berdebat nantinya, tetap akan mengapresiasinya dengan baik. Namun, bagi mereka yang tidak memiliki emphati berapapun besarnya perubahan itu tetap akan menanggapinya dengan sinis dan olok-olok. Berapapun peningkatan kemampuan debat dan retorika Jokowi nantinya, penulis yakin, Sebagai manusia pembelajar, yang mau terus belajar, maka Jokowi bagaikan bunga, ia akan mekar dan menampilkan keindahan dan keharuman.bagi sekelilingnya.
Lebih dari itu, Jokowi harus tetap menjadi dirinya sendiri, be yourself bro ! tidak perlu terpaku apalagi semakin tersudut dengan “kekurangan bahasa lisannya”, kekuatan anda bukan pada retorika, ataupun permainan kata. tetapi pada karya nyata. Sebagai orang Jawa kita tentu memahami makna “Becik ketitik ala ketara” . Kekuatan karya itulah yang akan mampu menyambangi dan memahat namanya di hati setiap pemilih. Belajar dari apa yang terjadi pada pidato pembukaan kampanye damai di bidakara, dimana “kekuranagan” penampilan Jokowi saat itu lebih banyak disebabkan oleh “psywar” yang ditaburkan kompetitor, terkait dengan serangan terhadap Ibundanya yang sangat dihormatinya, maka untuk debat ke depan, harus diantisipasi baik oleh Jokowi maupun tim suksesnya, agar “psywar” betapapun kejinya tidak menggoyahkan dirinya sehingga tampil “bloko suto”. Oleh karena itu, selain persiapan kontens, teknik debat, juga hal-hal non teknis yang sudah barang tentu semakin komplek. Tebaran ranjau yang akan dilakukan pihak kompetitor tentu tidak lagi dalam grade yang pernah mereka lakukan.
Jokowi Lebih "Know How" Debat Capres 9 Juni 2014 yang disiarkan langsung oleh SCTV, Indosiar, dan Berita Satu, menampilkan thema Pembangunan Demokrasi, Pemerintahan yang Bersih, dan Kepastian Hukum. Daua pasangan Capres-Cawapres Jokowi _ JK dan Prahara telah menyampaikan thema itu dengan caranya masising-masing, termasuk dalam konteks positioning masing-masing. hal ini wajar saja, karena masing-masing punya fragment sasaran yang tertentu. Terkait dengan positioning ini, terlihat bahwa pasangan Jokowi lebih mengambil posisi Eksekutif sebagaimana tuntutan peran presiden nantinya. Dengan merngambil posisi ini, Jokowi_JK dalam setiap penjelasananya terasa lebih “Know How”. Sementara itu pasangan Prahara, Prabowo Hata rajasa lebih tampil konseptual. Dalam bahasa lain, Jokowi-JK berusaha membumikan setiap masalah, sementara Prahara menyampaikan gagasan-gagasan abstrak.
Kebijakan mengambil positioning demikian tetntu saja tidak terlepas dari target sasaran yang ingion direkrut untuk mendukung kedua pasangan capres-cawapres tersebut. Prahara lebih berorientasi pada masyarakat “konseptual” , yang tentu saja amat sangat digandrungi para pengamat, sementara Jokowi-JK lebih berorientasi pada mereka yang bergulat dengan maslah sehari-hari, masyarakat kebanyakan yang lebih membutuhkan penjelasan praktis. Jika hal ini yang diambil, maka dengan realitas struktur masyarakat yang ada, Prahara akan memuaskan para pengamat, sementara JWJK akan lebih memuaskan masyarakat kebanyakan.
Posisioning yang demikian sangat terlihat dalam penampilan kedua pasanga itu, meski terlihat hati-hati, Jokowi JK berusaha tampil menggunakan komunikasi emphatik dalam mendengarkan paparan kompetitor, memaparkan maupun, mengajukan pertanyaan maupun menjelaskan. Jokowi = JK telah berhasil tampil sebagai team, sedang Prahara telah menampilkan 2 orang dengan berbagai perbedaannya. Ini sangat terlihat saat mereka berdua salaing berselisih dalam menyoroti demokrasi. Prabowo mengungkapkan bahwa demokrasi hanya sekedar alat, sedang Hata rajasa mengungkapkan bahwa demokrasi bukan sekedar alat dalam konteks berbangsa. Sementara itu, Jokowi menekankan dalam pengertian operasional bahwa demokrasi adalah memperjuangkan kepentingan rakyat oleh karena itu kita harus mendengarkan apa maunya rakyat dan melaksanakan dalam program-program pembangunannya, yang dipertegas dengan pemberian contoh dengan apa yang telah Jokowi lakukan terkait dengan tugasnya sebagai Wali kota Solo maupun Gubernur DKI.
Sementara itu, dari body laguage Jokowi dan JK nampak pasangan ini mencoba menerapkan bagaimana mendengarkan dengan emphatik saat Prahara menyampaikan penjelasannya.endengarkan dengan empatik (dari kata empathy) maksudnya adalah berusaha lebih dulu untuk mengerti, untuk benar-benar mengerti; masuk ke dalam kerangka acuan orang lain. Kita memandang keluar melewati kerangka acuan itu, kita melihat dunia dengan cara mereka melihat dunia, kita mengerti paradigma mereka, kita mengerti bagaimana perasaan mereka. Intisari dari mendengarkan dengan empatik bukanlah bahwa Anda selalu setuju dengan seseorang, tetapi bahwa Anda sepenuhnya, secara mendalam, mengerti orang itu secara emosional sekaligus intelektual. Mendengarkan secara empatik memerlukan jauh lebih banyak daripada sekedar merekam, merenungkan, atau bahkan mengerti kata-kata yang diucapkan. Para ahli komunikasi memperkirakan bahwa hanya 10% komunikasi kita diwakili oleh kata-kata yang diucapkan; 30% oleh suara; dan 60% oleh bahasa tubuh kita. Dalam mendengarkan secara empatik memang kita mendengarkan dengan telinga kita, tetapi lebih penting lagi kita juga mendengarkan dengan hati kita…
Ketika Anda mendengarkan orang lain dengan empati, Anda memberi kepada orang tersebut udara psikoligis. Segera sesudah kebutuhan penting itu terpenuhi, barulah Anda dapat berfokus pada pemberian pengaruh atau pemecahan masalah. Dengan komuniklasi emphatik, maka kita dapat memahami sekaligus memberi pemahaman berbagai hal yang mungkin berbeda. Kita dapat memberikan pemahaman tentang perda, kebijakan dan lain-lain yang mungkin belum bisa diterima oleh masyarakat dengan cara yang masyakat pahami. JIka demikan yang terjadi semalam, maka pasngan JWJK akan merebut hati masyarakat luas meski untuk kalangan pengamat terutama yang lebih cenderng pada pendekatan theoritik terutama teori-teori retorika maka pasangan Prahara lebih enank untuk didengarkan. Namun demikian, sudah barang tentu kita harus memilih sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh Indonesia. Dalam berbagai kesempatan kita selalu menyatakan bahwa Indonesia itu mengalami salah pengelolaan, oleh karena itu, yang lebih dibutuhkan bangsa ini adalah pemimpin yang mampu mengelola dengan benar, pemimpin yang “Know How” mengelola Indonesia sesuai nilai-nilai ideal bangsa.
Jokowi Laksana Nabi Musa Untuk menyelamatkan Musa kecil dari kecurigaan Firaun, maka Allah membimbing Musa untuk mengambil bara api dan menjilatnya. Pilihan ini memang menghindarkan Musa dari pembunuhan yang akan dilakukan oleh Firaun karena Musa kecil sudah berani “kurang ajar” kepada firaun dengan perilakunya. JIlatan bara api itu konon mengakibatkan Musa memiliki kekurangan dalam bahasa lisannya.Kesadaran akan kelemahan lisannya inim yang sudah barang tentu, menjadi salah satu kelemahan dalam tugasnya sebagai Rasul untuk bertabligh. Namun Allah SWT tetap memilihnya sebagai Pemimpin Umatnya tentu dengan keunggulan keunggulan yang ada pada Nabi Musa AS. Untuk menutupi kekurangan ini, Nabi Musa memohon agar adiknya Nabi Harun sebagai wazirnya, Dan sesungguhnya Kami telah memberikan Al Kitab 9taurat) kepada Musa dan Kami telah menjadikan Harun saudaranya, menyertai dia sebagai wazir (pembantu). “(Q.S Al Furqaan : 35) seakan menjawab doa Nabi Musa yang khawatir dengan kelemahan lisannya : Dan saudaraku Harun dia lebih fasih lidahnya daripadaku , maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkataan)ku; sesungguhnya aku khawatir mereka akan mendustakanku” (Q>S ALqoshas : 34)
Bahkan secara eklisit untuk menghadapi tentangan DEBAT dengan Firaun dan para penyihirnya Nabi Musa berdoa khusus sebagaimana termaktub dalam Al Quran Surat Thaha (20) : s5 = 35 yang artinya : “Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku, dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku, supaya kami banyak bertasbih kepada Engkau, dan banyak mengingat Engkau. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Melihat (keadaan) kami.” Kekemahan lisan Musa di hadapam manusia justru menempatkan keistimewaan Nabi Musa yang dapat BERDIALOG langsung dengan Allah SWT. Musa AS lah satu satunya Nabi yang diyakini bersama pernah berdialog dengan Allah langsung. Nabi Musa tampil menjadi pemimpin yang Spiritualis, yang sangat visioner. Penyiapan Musa sebagai pemimpin yang memahami makna dari hal-hal yang nampak sebelum terjadi dilakukan dengan pengutusan Nabi Khidr sebagai mentornya.
Blusukan Nabi Khir dan Musa AS ke kampung nelayan menyaksikan Peristiwa perusakan perahu, pemukiman melihat peristiwa pembunuhan anak muda dll yang dikisahkan dalam Al Quran Surah Al Kahfi, merupakan penyiapan khusus kemampuan Nabi Musa AS sebagai Pemimpinn, bukan dalam bahasa lisan. Bahkan selama bermentor dengan Nabi Khidr AS, Musa AS dilarang untuk bertanya. Pada ahirnya Musa AS diberi pemahaman tentang makna-makna peristiwa tersebut. Sebagai pemimpin yang spiritualis, Musa AS benar-benar selalu berdialog (memohon dengan doa) kepada Allah dalam setiap langkahnya. Saat terjepit dikejar pasukan Firaun Nabi Musa berdoa sebagaimana diriwayatkan : Suatu hari, Rasulullah saw. berkata kepada para sahabatnya, ‘Maukah kalian aku beritahu tentang ucapan yang diucapkan Musa alayhissalam ketika beliau menyeberangi laut bersama kaumnya, Bani Israil?’ Para sahabat menjawab, ‘Tentu saja kami mau, wahai Rasulullah’ Rasulullah berkata, ‘Nabi Musa berdoa: Allahumma laka al-hamdu, wa ilayka al-musytaka, wa anta al-musta’an, wa la hawla wa la quwwata illa billah al-’aliyy al-azhim’.
Itulah doa yang diucapkan Nabi Musa ketika ia sampai di pinggir laut Merah karena dikejar-kejar tentara Firaun. Allah mengabulkan doanya dengan memerintahkan Musa untuk mengetukkan tongkatnya ke air laut. Seketika, laut terbelah menjadi daratan. Musa beserta kaumnya melintasi lautan yang berubah menjadi daratan itu. Firaun dan tentaranya juga mengikutinya dari belakang. Ketika Musa dan seluruh kaumnya berhasil melintasi lautan itu, maka Allah kembali menutup laut itu dengan air. Maka, tenggelamlah Firaun dan tentaranya.
Hikmah kisah Musa AS mengajarkan kepada kita, bahwa Kelemahan Lisan, kekurang mampuan beretorika dan sejenisnya jangan dijadikan alasan untuk tidak mengangkatnya menjadi seorang pemimpin. Karena pemimpin yang sadar akan kelemahannya akan menutupinya dengan kemampuan lain, melalui langkah-langkah lahir maupun batin. Musa AS memohon Harus sebagai Wazirnya dan memohon kekuatan Allah dalam setiap langkahnya. Jika kisah di atas dianalogkan dengan konteks mutahir bangsa kita yang sedang berproses mengangkat Pemimpin bangsa, maka analog Nabi Musa adalah Jokowi. Kelemaham Lisan Jokowi dibanding lawannya, tidak perlu dijadikan alasan untuk tidak memilihnya untuk menjadi Presiden. Kekuatan-kekuatan lain yang ada pada Jokowilah yang harus menjadi dijadikan untuk memilihnya.
Kesadaran Jokowi akan kelemahan lisannya tentu harus pula selalu ditutupi. Dan rupanya Jokowi sadar, doa nabi musa yang dititipkan oleh Ibundanya saat debat pertama adalah contoh riilnya. Dan jika Nabi Musa mengangkat adiknya Harun untuk membantunya, Jokowi pun telah mengangkan ADIK ALMAMATERNYA, UGM , Anies Baswedan, tokoh muda yang cerdasm santunm komunikatif menjadi juru bicaranya, wazirnya. Mudah-mudahan analogi yang tercipta benar0benar melepaskan bangsa ini dari segala penderitaan, menjadi bangsa yang merdeka, seperti Musa AS, melepaskan umatnya dari penindasan Fir’aun beserta para pendukung kekuasaannya, team suksesnya. Yakani 3 pilar kekuatan Fir’aun, Ulama, Konglemerat dan Bala tentaranya. Dengan kehanifan Jokowi (baca Jokowi Muslim Rahmatan Lil Alamin pada edisi sebelumnya), Jokowi akan mampu meningkatkan kepemimpinan Spiritualnya sehingga diberi kekuatan oleh Allah SWT. Amin !

Tidak ada komentar: