MISI

***************** A MAN WHO WANT TO CREATE AN EDEN IN THE WORLD *****************

Senin, 22 Januari 2018

DULU ISTANA, KINI SENAYAN

Mengamati konstelasi politik menjelang pilkada , kita dibuat terpana dengan fakta bahwa thesa tidak ada partai idealis semakin menunjukan buktinya. Perilaku partai dalam melakukan kualisi kita lihat hanyalah berdasar pragmatisme belaka. Kepentingan meraih kekuasaan, sangat menonjol dengan upaya partai bergandengan untuk meraih kemenangan dalam pilkada. Tidak ada satupun partai yang berani turun ke gelanggang walau seorang, turun dengan idealisme tinggi, turun dengan politik identitas.
Politik identitas pada prinsipnya berpusat pada identitas bersama atau perasaan kekitaan, yang menjadi basis utama perekat kolektivitas kelompok. Dengan demikian ia adalah sebuah gerakan yang berlandaskan identitas, gerakan amar Maruf nahi Munkar yang dilakukan Parati Islam pada era Orde baru yang dinilai banyak penyimpangan berdasarkan kekitaan sebagai umat Islam, untuk meneguhkan identitas keislaman dalam berpolitik adalah politik identitas. Gerakan gaung Marhaenisme ditengah penguasa dan dominasi kapitalis Orba adalah politik identitas.
Dari pengertian di atas, maka gaung kebebasan, dengan segala bentuknya, kebebasan dalam kehidupan manusia yang seolah tanpa nilai, tanpa ikatan ikatan identitas keagamaan atau religiusitas, gerakan kebebasan yang mendobrak nilai nilai ketuhanan yang maha esa, nilai nilai Pancasila, seperti, gerakan pergaulan bebas, sex bebas, pernikahan sejenis, LGBT, pembauran gender yang melawan perasaan kekitaan yang yakin Tuhan menciptakan pria - wanita tidak sana, adalah politik identitas. Gerakan dengan jargon I want to be free, juga adalah politik dengan dengan identitas kebebasannya, liberalisme.
Dengan demikian sesungguhnya di dunia ini gerakan politik apapun pasti ada label yang melekat padanya, itulah identitasnya. Artinya sesungguhnya berpolitik pasti menjalankan kekitaan yang melandasi partai bersangkutan berpartai pasti melakukan politik identitas sebagai penuntun arah gerakannya. Oleh karena itu, meski menurut undang undang politik bahwa semua partai politik secara nasional identitasnya nasionalisme Indonesia, yang digariskan oleh dasar negara Pancasila dan Undang Undang 45, namun bukan berarti partai politik dengan identitas tertentu yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45 tidak dibolehkan.
Hal itu mengingat dalam Pancasila dan UUD 45 terdapat Bhineka Tunggal Ika. Artinya Kebinekaan tetap diakui, termasuk Kebinekaan dalam kepercayaan kepada Tuhan Yang maha Esa. Artinya menjalankan gerakan politik yang terartikulasikan melalu partai politik dengan politik identitas keagamaan bukanlah hal yang dilarang, kecuali jika gerakan politik itu anti tuhan, sebagaimana pernah ada di Indonesia dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai contoh konkretnya.
Perkembangan zaman dengan segala dinamika perubahan yang terjadi, sudah barang tentu mengubah strategy isme isme di dunia pun selalu berkuflase sesuai kebutuhan zaman. Jargon keterbukaan, kebebasan, adalah fara Morgana yang memikat bagi para pengelana yang sedang mencari identitas diri. Sadar akan hal itu sangat dominan mewarnai kehidupan generasi muda, menggunakan label terbuka adalah pilihan strategis. Oleh karena itu, para penggerak politik anti tuhan, menggunakan term terbuka, kebebasan, sebagai label gerakannya, yang semakin hari semakin terasa liar dalam kebebasan yang kemudian kita labelisasi dengan gerakan liberalisme.
Sebagaimana terjadi pada bidang lain, dalam dunia politik pun terjadi distorsi. Politik identitas yang sesungguhnya mewarnai semua partai politik, termasuk partai politik dengan identitas terbuka, nasionalis maupun liberalisme, distorsi sebatas pada partai yang gerakannya menggunakan kesepakatan kekitaan sesuai ajaran agama. Seolah olah hanya partai partai agama yang melakukan politik identitas, sebagai kelompok eksklusif yang tertutup. Akhiratnya partai partai berbondong bondong melabelisasi dirinya sebagai partai terbuka. Oleh karenanya menjadi serba rancu dan nyaris tidak ada beda gerak politik di antara partai partai yang ada.
Dunia saat ini dihadapkan pada dampak ikutan globalisasi dimana seakan tidak ada batas dalam segala hal, terkait keterbukaan, kebebasan yang lahr dari rahim liberalisme mendapatkan lahan suburnya untuk tumbuh. Gerakan politik yang sesungguhnya adalah gerakan politk identitas bebas nilai, yang memperjuangkan berbagai kepentingan yang melanggar identitas nilai-nilai ketuhanan, ilahiah, religiusitas mendapat ruang gerak yang luar biasa. Sebaliknya, politik identitas yang sesungguhnya melindungi manusia dan dunia dari keserakahan kebabasan nafsu manusia itu sendiri, dengan melansadkan pada nilai-nilai samawi tekanan, pengekangan dan pengebirian luar biasa.
Kondisi tersebut dapat menghasilkan berbagai amunisi penghancuran umat manusia dan dunia. Kita saat ini berada pada era dimana kebebasan nafsu manusia membuat tatanan bagi kehancuran dirinya. Lesbianisme, Gay, Bisex dan Transgender (LGBT), perkawinan sejenis pada hakikatnya adalah upaya penghancuran masa depan ras manusia (lihat tulisan "LGBT Ancam Punahnya Manusia, kompasiana edisi 5 April 2016) karena dengan alsan apapun,aktivitas sexual LGBT jelas infertil yang tidak memungkinkan terjadinya generasi baru. Oleh karena itu, dalam konsep biologi, aktivitas LGBT sangat meningkari hakekat mahluk hidup itu sendiri yang memiliki ciri Reproduksi, berketurunan.Menghadapi ancaman serius demikian, maka politik identitas yang memperjuangkan nilai-nilai ketuhanan yang Maha Esa, dari umat beragama sangat perlu turun ke gelanggang meski seorang utuk menghadang upaya politik identitas bebas nilai.Membaca fenomena semacam itu, terutama terkait dengan rombongan anggota DPR RI yang diduga menyeberang ke Belanda dari acara kunjungan resmi belajar Etika di Yunani pada era dimana DPR RI dipimpin oleh Marzuki Ali - Anies Matta, penulis menekankan agar pada pemilu 2014, politik identitas kaum muslimin untuk didukung sehingga DPR hasil pemilu bisa menolak oknum-okum yang berusaha menggoalkan UU perkawinan sejenis di Indonesia.
Pada tulisan di kompasian edis 5 Juni 2013, penulis mengungkapkan"Lantas, Siapa penyambung suara kaum santri di Senayan kelak ? Kejayaan kaum Santri untuk menjaga nilai nilai Ketuhan Yang Maha Esa dalam makna Tauhid tidak mau tidak harus dilakukan oleh kaum bertauhid (santri) sendiri.Jika Perindo menamakan dirinya sbg Rumah kaum Merdeka (Liberal ?) adakah Rumah Kaum Beragama ? Atau Rumah Umat Tuhan ? Rumah kaum Beragama, kekuatan parlementer umat beragama sangat diperlukan ditengah tantangan dan upaya kaum liberal memproduk undang undang yang melanggar aturan tuhan yg universal seperti perjudian, prostitusi, pernikahan sejenis dl
Masyarakat Indonesia saat ini dihentakkan oleh pernyataan dari Zulkifli Hasan, Ketua MPR RI saat ini, yang intinya ada sejumlah fraksi yang mendukung LGBT. dari sosial media, kita dapat membaca fraksi-fraksi mana yang konon mendukung LGBT. MUngkin masyarakat menjadi kaget, namun enulis yang menolak lupa dengan apa yang terjadi beberapa tahun lalu, tentu saja sudah memprediksi kemungkinan seperti itu. Oleh karena itu, Kita memerlukan rumah umat beragama, tempat perjuangan bangsa Indonesia yang berkomitmen pada Pancasila dan UUD 1945 dengan ketuhanan Yang Maha Esa dan nilai keagamaan agar Indonesia tetap dalam berkah rahmah tuhan yang maha kuasa.
Namun nampaknya partai-partai lebih memilih berada di zona abu-abu, dan berpegang pada identitas kepentingan pragmatismenya. Dalam kondisi yang demikian, penulis menyeru kembali, pada pemilu 2019 nanti, umat beraga perlu sangat selektif dalam memilih. Mengenal seliruh kandidat akan komitmennya pada ilai-nilai ketuhanan adalah hal mutlak untuk menyelamtakan bangsa ini dari tatanan yang lengesampingkan nilai-nilai ketuhanan Yang Maha Esa.

Tidak ada komentar: