MISI

***************** A MAN WHO WANT TO CREATE AN EDEN IN THE WORLD *****************

Minggu, 27 Oktober 2013

MENYAMBUT 35 TAHUN ABAD KEBANGKITAN ISLAM (1400 H - 1435 H)

Memasuki abad XV Hijriah 35 (tiga puluh lima) tahun lalu, dunia Islam menyambutnya dengan kebersamaan tekad, menjadikan abad XV H sebagai abad kebangkitan Islam ke 2. Tema tunggal kebangkitan Islam adalah seruan Ruju’ ilal Qur’an Wassunnah. Kesadaran akan kemunduran dan ketertinggalan kaum muslimin di seluruh dunia hampir di semua bidang kehidupan, telah mengobarkan semangat kebangkitan umat terutama kaum intelektualnya.
Tidak heran, jika kebangkitan Islam benar-benar berdegup di kampus-kampus utama negeri ini. UGM Yogyakarta dengan Jama’ah Shalahuddinnya, ITB dengan Jama’ah Masjid Salmannya, IPB dengan Jama’ah Al Ghifarinya, UNY yang waktu itu masih sebagai IKIP Yogyakarta dengan Jama’ah Mujahidinnya juga Jama’ah jama’ah masjid di kampus-kampus lain. Kesadaran akan “Tugas Cendikiawab Muslim” dipertegas melalui peran-peran untuk menjalankan tanggung jawab sosialnya. Keseimbangan akan aktivitas dzikir dan fikir diejawantahkan dalam kreatifitas intelektualnya.
Demikian juga dalam konteks dakwah, sadar akan fungsi kekuatan dan kesatuan dakwah dalam “memanggil” dan “menyeru” umat ke jalan Allah, pada pertengahan tahun 80 an, Jama’ah Shalahudiin UGM memrakarsai dan sekeligus menjadi tuan rumah pembentukan forum Lembaga Dakwah Kampus se Jawa bekerja sama dengan Pondok Pesantren Budi Mulia Yogyakarta, sebagai Pondok Pesantren Mahasiswa berprestasi baik akademik maupun non akademik. LDK ini kemudian berkembang pada tingkat nasional di awal tahun 90 an. Bahkan, keberhasilan memanfaatkan tugas mandiri mata kuliah Agama yang hanya 2 SKS menjadi mentoring resmi yang dirintis di Fakultas Kedokteran UGM oleh Ali Ghufron Mukti (sekarang Wamenkes), Awaluddin Nur dan Gunawan Wibisono yang waktu itu adalah juga santri Pondok Pesantren Budi Mulia disosialisasikan kepada LDK se Jawa Tersebut.
Tokoh-tokoh intelektual muslim kampus, seperti Saefullah Mahyudin, Sahirul Alim, Amin Rais, Djamaluddin Ancok, Achmad Muhammad Djoyosugito dan Kuntowidjyo (Yogya), AM Syaifuddin dan Hidayat Nata Atmaja Bogor, Kang Jalal (Jalaluddin Rachmat) dan Miftah Farid (Bandung), Fuad Amsyari (Surabaya), Muhtar Naim, Deliar Noer (Padang) bahkan Amri Yahya, Taufik Imail, MH Ainun Najib dan Bimbo dari kalangan budayawan dan seni adalah tokoh-tokoh penggerak Kebangkitan Islam melalui didang masing-masing. Adagium “La syarkiyyah walaa ghorbiyyah walakin Islamiyah”, bukan Timur dan Juga Bukan Barat tetapi Islam, dicoba diterapkan dalam semua bidang kehudipun. Islam yang menjadi warna kehidupan sehari-hari merupakan tema sentral gerakan kebangkitan Islam awal abad XV H. Oleh karena itu, pada awal kebangkitan ini kajian-kajian bahkan pesantren-pesantren kilat di kampus-kampus yang memanfaatkan moment-moment hari besar Islam terutamanya Ramadhan di Kamupus, sungguh berfaruasi. Di jama’ah Shalahuddin UGM dimana penulis berkiprah, terdapat berbagai pesantren Ramadhan seperti Pesantren Ramadhan umum, Pesantren Seni Budaya, Pesantren Jurnalistik, Pesantren Akhlaq, dll. Oleh karenanya, tokoh sekelas Noerkholis Majid yang dianggap sekuler, tidak banyak terlibat dalam gerakan kebangkitan Islam abad XV H itu dalam artian “kurang laku” pada moment moment yang terkait dengan Gema Kebangkitan Islam. Bahkan kehadiran Nurcholis Majid di Gedung PDHI Yogyakarta dalam rangka Halal Bi Halal, menuai protes dari kadert-kader HMI Yogyakarta dengan teror amoniak.
Ciri Gerakan Kebangkitan Islam yang diselenggarakan resmi di kampus-kampus adalah gerakan dakwah terbuka, dengan kaderisasi berjenjang, memiliki tujuan jangka panjang, dan terlepas dari kooptasi kekuatan politik yang saat itu dikuasai Golkar. Dengan karakter ini, gerakan kebangkitan Islam yang dimulai dari kampuspun melalui program-program pengembangan masyarakat spiritnya meluas ke keidupan masyarakat. Diharapkan, melalui dakwah dan pengembangan masyarakat yang sadar akan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil alamin, pada akhirnya nilai-nilai syariah itu akan terejawantah dalam kehidupan masyarakat dengan sendirinya, termasuk di dalamnya spirit amar ma’ruf nahi munkar.
Spirit amar ma’ruf nahi munkar yang telah dipupuk melalui spirit kebangkitan Islam tersebut pada akhirnya mengkristal untuk melakukan reformasi agar kehidupan berbangsa dapat diperbaiki. Bisa dipahami mengapa pada reformasi 1998, Amin Rais mendapat dukungan luas terutama oleh aktivis-aktivis mahasiswa muslim melalui berbagai kesatuan aksinya. Selain Amien Rais sebagai Ketua Dewan Pakar ICMI yang saat itu “dikuya-kuya” raezim Orde Baru. Juga pada dasarnya Amin Rais bersama para Cendikiawan Muslim kampus telah menyemai spirit kebangkitan, spirit amar ma’ruf nahi munkar dari kampus ke kampus seluruh Indonesia melalui Lembaga Dakwah kamusnya juga melalui tokoh-tokoh aktivis kampus seluruh Indonesia melalui Pengajian Itikaf Ramadhan sejak Awal tahun 80 an di Pondok Pesantren Budi Mulia Yogyakarta.
Sayangnya potensi “kader-kader” aktivis kampus yang tersebar di seluruh Indonesia kurang di sadari oleh Amin Rais, sehingga Amien Rais ketila ditawari memimpin sebuah Partai Dengan dasar Islam, merasa kesempitan dan lebih memilih PAN sebagai Partai terbuka. Pilihan itu terbukti sebagai pilahan tragis, karena PAN yang waktu itu dibidani Muhammadiyyah, dengan anggota 25 Juta, artinya sebagai boleh dibilang basic Constituen PAN 25 Juta, namun hasil Pemilu 1999 menunjukan bahawa PAN mendapatkan jauh di bawah itu, artinya, Amien Rais berusaha merangkul kelompok lain, tetapi pada realitasnya malah ditinggalkan basic konstituennya. Dalam bahasa teman-teman, Amien Rais telah dicelakakan oleh kader-kader jalannanya, bukan kader yang selama ini dibinanya.
Perjalanan reformasi yang pada awalnya juga diwarnai spirit amar ma’ruf nahi munkar sebagai komitmen pada kebangkitan Islam Ruju Ilaa Qur’an Wassunah, semakin mengenaskan sehingga mati suri dan bangkit sebagai zombi. Akhibat tidak ada sanksi tegas terhadap oknum-oknum pendukung rezim Orde Baru, oknum-oknum tersebut melakukan Diaspora dan berlindung di bawah payung berbagai partai politik.
Dengan memanfaatkan kepiawaian gerakan politiknya, oknum-oknum berpengalaman murid-murid penguasa Orde baru itu pada akhirnya menduduki posisi-posisi strategis hampir di semua partai dan berhasil mewarnai partai dengan warna ideologi kapitalisnya. Oknum-oknum ini berhasil menyeret partai-partai itu ke dalam mavia perampokan bersama kekayaan bangsa, dengan kesepakatan bersama berbagi-bagi proyek, sehingga tercipta realitas, semua fraksi DPR adalah maklar proyek.
Menjelang tiga puluh lima tahun kebangkitan Islam yang sekitar seminggu lagi (1 Muharram 1435 H), oknum-oknum yang entah datang dari mana, dan berbaju partai mengatas namakan Islam, justru menjadikan keindahan Islam tertutupi oleh perilaku oknum-oknum tersebut. Sehingga sungguh sungguh Islam di negara yang berdasar pada tauhid ini, benar-benar dipermainkan. Islam ditutupi oleh kaum muslimin (oknum) sungguh-sungguh terjadi setelah 35 tahun dibangun setahap demi setahap. Bahkan kelompok minoritas berani melakukan perang terbuka melalui selebaran-selebaran dan sosial media.
Oleh karena itu, meski terasa berat, bagi kita, kaum muslimin yang sangat yakin pada keagungan Al Islam, Pada keindahan Al Islam, kita harus terpanggil kembali, membangkitkan spirit kebangkitan Islam, mempertegas Ruju’ Ilaa Quran Wassunah, melalui karya=karya kemuliaan kita, untuk mengibarkan panji-panji rahmatan lil ‘alamin. JIka kita belum bisa terlibat langsung melakukannya, maka bantulah dan support saudara-saudara kita yang serius melakukannya.Insya Allah, Allah menolong kita.
Sumber : http://politik.kompasiana.com/2013/10/25/tiga-puluh-lima-tahun-kebangkitan-islam-604754.html, Kompasiana.com/DarwonoGuruKita

Tidak ada komentar: