MISI

***************** A MAN WHO WANT TO CREATE AN EDEN IN THE WORLD *****************

Rabu, 01 Oktober 2014

BERINDONESIA DALAM BERBANGSA

Banyak yang tersentak pada apa yang terjadi di negeri ini. Mereka yang selama ini latah mengocehkan reformasi atret dan jalan mundur berbalik mendorong mobil reformasi ke abatoar demokrasi Orde Baru. Apa yang telah diperjuangkan, dilakukan, bahkan mulai menjadi pilihan dan panutan dengan partisipasi masyarakat yang meningkat sejalan munculnya pemimpin-pemimpin yang diharapkan masyarakat dihentikan dan dipaksa setback dengan berbagai alasan yang dicari-cari, bahakan samapi hal yang sangat subyektif menyesali apa yang telah dilakukan itu.
Kalau Prabowo jelas, dia sampai ndepe ndepe di makam mantan mertuanya di Astana Giri Bangun saat kampanyepun mengibarkan pujian 2pujian ke penguasa orde baru , untuk menarik simpatik mantan kroni dan pengikutnya. Sayangnya fakta menunjukan bahwa Prahara justru ditinggalkan pemilihnya sehingga. Hal ini bisa dilihat dari fakta bhwa meski di Pileg dominan hingga 63 persen, di Pilpres kturun jauh sehingga kalah dari. JWJK. Semestinya. fakta ini dijadikan bahan introspeksi bagi pasangan dan Kualisi Prahara. Bahwa sistem dan menggembar gemborkan apa yang telah terjadi di Orde Baru tidak dikehendaki kebanyakan masyarakat. Jangan membangun dengan kenangan dan jangan kenangan pahit yang penuh dendam dijadikan landasan untuk membangun bangsa dengan mendorong perjalanan bangsa ini mundur.
Meski banyak yang heran dan tak percaya propagandais reformasi berbalik arah, bagi saya wajar saja. Karena pertama, memang reformasi yang selama ini mereka dengang dengungkan itu sekedar Lip service, sekedar propaganda dan selama ini mereka benar 2 dapat menutupi hipokritnya, kemunafikannya yang lain di bibir dan lain di hati. Kedu, boleh jadi memang mereka selama ini reformis kelas teri, sehingga ketika melihat kue kekuasaan yang mungkin direbut maka rame rame balik kanan. Ya hati mereka dibolak balik oleh Yang Muqollibal Qulub.
Sementara itu apa yang terjadi pada perilaku elit politik saat ini juga dapat dipahami sebagai konsekuensi dari apa yang selsama ini terjadi. Anarkisme politik yang menun jukan ketidak dewasaan politik adalah hasil adri proses Depolitisasi selama order baru. Bahkan munculnya para pemimpin yang di kenal sebagai “Topping Leadership” juga akhibet sistem menara gading yang dijalankan di dunia pendidikan tinggi sejak tahun 1978 dengan NKK nya. Harapan untuk membangun bangsa lebih baik, tidak dapat dipikulkan kepada elit politik dan tokoh-tokoh muda yang telah terkooptasi kekuatan-kekuatan manipulatif. harapan perbaikan Indonesia ada pada pemuda dan tunas-tunas bangsa itu sendiri. Oleh karenanya, guru, dosen, mahasiswa dan kaum muda saat ini, benar-benar harus bahu-membahu menciptakan miniatur-miniatur Indonesia di lingkungannya masing-masing.
Guru dan Dosen harus kembali mewarisi patriotoesme dan heroisme guru-guru sekolah bumi putera yang telah mendorong bangkitnya kesadaran nasional untukl bertanah air, berbagngsa dan berbahasa satu, Indonesia. Disinilah bulan Oktober sebagai Bulan Pemuda dan Bulan Bahasa memunculkan relevansinya. Jangan mengaku Indonesia jika kita tidak berselera, berfikir, berperilaku dan bertindak Indopnesiani, yang Indonesia banget. Bahasa Indonesia kita gelopotan, mulailah memperbaiki bahasa Indonesia kita, perilaku kita ngoboi, amrik banget, cobalah terapkan sopan-santun Indonesia. Cara bergaul anda seperti “the wild wild west” kembalilah cara bergaul sebagai bangsa yang berketuhanan yang maha Esa.
Berindonesia juga harus tercermin dalam paradigma, pengelolaan hingga ontologi pendidikan kita. Empat kali berturut-turut pengajian Ulul albab, Komunitas Alumni HMI MPO, mulai dari pengajian di tempat Tamsil Linrung ( 2 kali), Bang Abid, dan terakhir di Vila Balagadena di Cibogo (Egy Sudjana) membahas masalah pendidikan yang rupanya disadari oleh para Alumni HMI MPO itu sebagai hal yang paling penting dalam memperbaiki bangsa Indonesia ke depan.
Para digma Tabularasa, sangat tidak cocok dijadikan pengembangan pendidikan Indonesia yang mayoritas warganya orang beragam, paradigma “Fa alhamaha Fujuroha Wa Taqwa ha” tentu lebih tepat. demikian juga asumsi-asumsi sosiologicz “Homo homini Lupus” , sangat tidak cocok dengan keyakinan “Wa maa arsalnaka” Ill;a Rahmatan lil Alamin” . Penulis yang secara inten mengikuti kajian pendidikan ini, menganggap sesungguhnya pendidikan adalah proses mengembangkan potensi “fujur dan Taqwa’. Pendidika harus menjadi meliu yang tepat bagi tumbuhnya potensi taqwa tersebut, sehingga insan-insan terdidik Indonesia menjadi manusia-manusia mulia dengan ketaqwaanny.
Pendidikan yang mampu menumbuh kembangkan potensi taqwa menjadi potensi dominan yang muncul sebagai karakter mulia Insan terdidik Indonesia, ini kami sebut sebagai pendidikan yang mampu “Mengubah Arang” menjadi Berlian. Dimana arang,. jika diproses dengan meliu yang tepat, tekanan dan suhu yang tepat akan menjelma menjadi Intan berlian yang mengkilat, kuat dan mahal. Namun jika tidak, maka sekedar menjadi batu-batu grafit atau bahkan menjadoi butiran-butiran debu yang mengotori. Orientasi pendidikan juga harus dapat menghasilkan putar-putra Indonesia yang mampu mengelola Indonesia sebagai megabiodiversity country dalam berbagai aspeknya. Itulah para digma, proses dan ontologi pendidikan yang berindonesia.
Satu hal yang terpenting adalah, pendidikan harus benar-benar menjadikan manusia utuh dengan kemanusiaannya. Output pendidikan Indonesia aharus menjadi Insan kamil, manusia Indonesia yang utuh dengan keindonesiaannya. Oleh karena itu paradigma pendidfikan yang telah mengarah menjadi "baud dan mur" dari komponen-komponen mesin Industrialisasi harus dirubah menjadi mendidikan yang mengarah pada keutuhan hakekat manusia sebaga Abdullah dan halifatullah. Disinilah tugas berat kta sebagai suatu bangsa. Namun penulis yakin dengan karakteristik bangsa yang penuh gotong royong, bebal berat bangsa akan dapat dipikul bersama-sama. Semoga.

Tidak ada komentar: