MISI

***************** A MAN WHO WANT TO CREATE AN EDEN IN THE WORLD *****************

Rabu, 30 April 2014

KECURANGAN MASIF, KPU HARUS TEGAS DISKUALIFIKASI CALEG TERLIBAT

Menjelang peringatan Hari Pendidikan Nasonal 2014 kita disuguhi fakta sangat pahit, bahwa 90 % Caleg Pemilu 2014 terlibat dalam kecurangan massif berupa kecurangan yang diharamkan (money Politic) dan tindakan sangat tidak terpuji manipulasi suara. Mengapa fenomena ini dikaitkan dengan dunia pendidikan kita ? Apa kaitan perilaku egoisme caleg dengan sistem pendidikan kita ? Dan langkah apa saja yang diperlukan untuk mengatasi hal ini ? Tulisan berikut sekedar memberikan wacana dari pokok-pokok pikiran kami.
Persyaratan caleg dengan pendidikan minimalnya, tentu saja tidak sekedar terkait dengan kemampuan baca tulis belaka. Asumsi kita semua adalah bahwa semakin tinggi pendidikan, semakin banyak mengenyam dunia pendidikan, seorang Calon akan semakin terdidik (Educated). Semakin tinggi pendidikan seseorang semakin tinggi pula kemampuan/kompetensi kognisi (pengetahuan), Psikomotor (terampil) dan afektifnya (sikapnya). Oleh karenanya sudah sewajarnaya persyaratan pendidikan ini tercermin pada semua ranah tersebut dalam performa seorang caleg.
Caleg-Caleg Pemilu 2014, dengan batas minimal pendidikan SMA (SLTA) , dan rana-rata berpendidikan sarjana (pendidikan tinggi) sangat wajar jika dituntut menampilkan performa yang mencerminkan keterdidikannya itu. Ironisnya, apa yang terjadi justru sangat mencengangkan. Hampir terjadi dominasi mutlak (90%) caleg-caleg tersebut menampilkan performa tidak terdidik dengan berbagai kecurangan masifnya. Ini sudah barang tentu mencuatkan pertanyaan dimana peran pendidikan kita dalam membangun karakter bangsa ?
Jika kita telisik, maka berbagai kecurangan tersebut berpangkal pada sikap egois pribadi-pribadi bersangkutan yang menginginkan kepentingannya terpenuhi dengan menghalalkan segala cara. Dengan pendidikan rata-rata sarjana (strata satu) sudah barang tentu fenomena ini akan mengarah pada pendidikan tinggi kita, yang tidak jarang mengkalaim sebagai “candradimuka kepemimpinan” masa depan.
Mengingat umur rata-rata caleg berkisar anatara 40 -45 tahun, maka dapat ditarik ke belakang para caleg ini menjalani proses perguan tingginya sekitar 20 - 25 tahun lalu ( antara angatan 1989 hingga 1994 dan sesudahnya). Pada periode ini telah berjalan 10 tahun “Pembangunan Menara gading” di dunia perguruan tinggi melalui Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK, 1978) yang dibangun rezim orde baru melalui mendikbud Daud Yosoef. Dimana para calon pemimpin terpaksa dicabut akar-akarnya dari degup jantung dinamika sosial untuk berkonsentrasi mengejar Indek Prestasi. Sistem SKS telah mengasingkan calon-calon pemimpin dari masyarakatnya. c
Egoisme yang ditumbuh suburkan di dunia kampus ini membentuk sikap intelektual-intelektual itu sehingga out come kampus lebih “berwarna individualistis” dan mengingat usia mahasiswa adalah usia defenitif terbentuknya sikap, maka sikasp individualistis itulah yang mendominasi dirinya, dan terbawa dalam setiap detak kehidupannya termasuk dalam berbangsa dan bernegara, tidak terkecuali saat membutuhkan dukungan orang lain.
Guru, Dosen, Ustadz, Romo di INDONESIA mestinya PRIHATIN dengan realitas bangsa kita yg tidak mencerminkan Bangsa yang Berpendidikan. Hal ini tentu bersumber pada sistem pendidikan kita yg bergeser dari nilai 2 luhur sbg bangsa yang Berketuhanan yang Maha Esa. Copy paste sistem pendidikan negara dengan berbagai kebebasannya yang dilandasi asumsi menumbuhkan Karakter Peserta Didik untuk kreatif dan Inovatiof, adalah SALAH BESAR, Karena sesungguhnya yang terjadi di negara itu adalah pembunuhan tiap detik, pelecehan, rasisme, anti demokrasi, kebebasan sex dan berbagai penyimpangan yg minta dilindungi secara legal dan berbagai hal yang menuju dehumanisasi.
Kita harus berani mengubah sistem pendidikan sesuai filosofi bangsa, sistem pendidikan yang mengembangan manusia seutuhnya, manusia yang utuh dengan nilai-nilai kemanusiaannya, yakni Insan kamil. Bukan sekedar manusia Indonesia yang memiliki kemampun-kemampuan parsial, sekedar berkompeten terhadap sebagian dari keutuhannya sebagai manusia.
Kita memang akui, Tiap orang memiliki kecenderungan, namun demikian kecenderungan berani melakukan kecurangan demi keuntungannya SUNGGUH SANGAT MEMBAHAYAKAN KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA. Apalagi mereka yang akan membuat “aturan main” di negeri ini. O;leh karena itu, untuk menyelamatkan bangsa ini lebih luas.
Mari bersatu mendukung Bawaslu dan KPU untuk menindak tegas 90% Caleg Curang itu. Kalau KPU dapat mengeliminir Caleg terpilih hanya karena tidak melaporkan dana kampanye, masa yang jelas jelas MELAKUKAN KECURANGAN DIBIARKAN MELENGGANG KE SENAYAN ? KPU jangan terburu buru menetapkan hasil Pileg 2014, sebelum semua kecurangan diberi sangsi dan dieliminasi sesuai porsinya. Penentuan persentase, PT dll, harus dilakukan setelah semua kecurangan dibereskan, setelah poroses diskualifikasi ditetapkan.
Mari kita mendidik semua komponen bangsa dimulai dari mendidik diri kita sendiri, membersihkan semua kotoran hati. Karena cermin yang berdebu, tidak m,ungkin menyerap cahaya ilahi apalagi memancarkannya kembali.

Tidak ada komentar: