MISI

***************** A MAN WHO WANT TO CREATE AN EDEN IN THE WORLD *****************

Minggu, 16 Februari 2014

KONDOM HINGGA IMUNISASI DAN MIMPI MIMPI KAMI

Saat kami sama-sama nyantri di Pondok Pesantren Budi Mulia di awal 80-an, ada lagu yang sedang hit, yang dinyanyikan oleh John Travolta, Saturday Night Fever. Tembang-tembang itu biasanya kami nikmati sebagai pengiring belajar, setelah mengaji rutin di Pondok Budi Mulia. Kami, satu kamar bertiga bersama Muhammad Gunawan dan Ali Ghufron ( sekarsang wamenkes) memang bisa belajar seusai seson sore dan ba’da maghrib ngaji rutin di Masjid Abu Bakar Ash Shiddiq Banteng 3 Yogyakarta.
Malam minggu bagi kami, Santri-santri Pondok Pesantren Budi Mulia, yang pada awalnya bernama Padepokan Budi Mulia, memang sering digunakan untuk belajar terutama menyelesaikan tugas-tugas entah laporan praktikum, pembuatan makalah dll. Hal ini dikarenakan jadwal kami tiap hari full kegiatan. Bangun dini hari jam 03.00, tahajjud diteruskan jama’ah subuh kemudian mengaji sesuai jadwal ba’da subuh sampai jam 06.00. Pagi hingga sore kami, yang rata-rata kuliah di fakultas fakultas IPA dipenuhi jadwal kuliah dan praktikum hingga sore hari. Dilanjutkan dengan menngaji hingga jam 20.00.
Setelah itu belajar sesuai kuiliah masing-masing. Inilah resiko yang kami sadari sebagai pemuda yang belajar di dua tempat : kampus dan pondok pesantren mahasiswa. Tetapi kadang kadang malam minggu juga kami “tetap ngaji” di luar pondok, yang sering ke alun-alun diajak Pak Amien Rais (Kini di PAN) dan Pak Ahmad Watik Pratiknya (di THC) untuk berdiskusi barbagai hal. Santri-santri yang sering diajak belajar “di dunia nyata” itu adalah, Pramono (LIPI), Misbah (Temprina) Khusnan (Kehutanan) dan penulis sendiri kadang disertai mentor kami Bang Zul (Zulkifli Halim, Staf Ahli menristek) dan Bang Said (Said Tuhuleley, UMY).
Tidak jarang, karena sering kelelahan atau ngantunk, Misbahul Huda (sekarang di Temprina Group Surabaya), mengaji sambil matanya kadang kiyip-kiyip, makanya Ustadz (panggilan akrab kami kepada KH Suprapto Ibnu Juraimi) sering memberi pertanyaan mendadak dengan terlebih dahulu memanggil namanya : Sentiir ! Yang artinya ceplik atau pelita (bahasa Arabnya Misbah). Tidak kalah dengan itu, Ali Ghufron, sudah jauh melangkah,tubuhnya tersandar di tiang masjid, sambil pecinya sudah dalam posisi miring menutupi salah satu wajahnya. Sedang penulis yang sering ditunjuk membaca ulang atau baca tarjamahan sebelum diurai mufrodatnya oleh pak Ustadz mau tidak mau harus selalu stand by, melek !.
Malam Minggu semalam, setalah 35 tahun dari masa itu, kami, penulis dan Prof. Ali Ghufron Mukti, Wamenkes RI, bersama-sama menikmati malam minggu di Rumah dinas Wamenkes Komplek Kemenkes Hang Jebat Jakarta Selatan. Kali ini memang tidak lengkap, sebab Dr. Gunawan Wibisono, tidak hadir diantara kami, karena tugas beliau ada di Nganjuk Jawa Timur. Maka malam minggu kami nikmati dengan acara ngobrol ngalor ngidul.
Awal mula “reuni” mendadak itu adalah kontak kami kepada beliau Wamenkes menanyakan kabar keluarga di Blitar terkait dengan Aktivitas Vulkanik Gunung Kelud. Saat kami jawab balik dialog via Hp itu, bahwa posisi kami sedang berada di BI dalam rangka bersilaturrahmi ke Edi Setijawan, salah seorang santri PP Budi MUlia yang sekarang di OJK BI, Wamenkes langsung menanyakan : Mas Darwono, kapan kita ngobrol ?, Kami jawab Sabtu - Minggu kami bisa. Kebetulan Bandara Adi Sucipto ditutup karena abu vulkanik kelud, maka Prof. Ghufron pun bisa karena tidak pulang ke Yogya, jadilah acara malming mendadak.
Memasuki pintu gerbang komplek kami menanyakan kepada salah seorang yang ada di situ, ternyata pendudiuk sekitar juga sangat mengenal. “Tadi sih lagi main tenis di PLN pak” , Rumahnya terus lurus, belok kanan, ada masjid, nah di depan mesjid itu Pak”. Salam ya Pak dari Santo”. Keakraban masyarakat terhadap sahabat saya yang pejabat ini membuat saya semakin bangga. Wamenkes Prof. Ali Ghufron, pejabat dengan reputasi Internasional di bidangnya, masih tetap memasyarakat seperti yang selama ini kami kenal. Jabatan tidak membuat beliau berubah penampilan. Tetap sederhana merakyat dan masih tetap sempat memberikan pengajian di tingkat musolla jika tidak ada tugas-tugas negara. Dan lebih bahagioa lagi, meminjam istilah Ustadz Prapto (allah yarham) “atine tetep kumantil mantil ing mesjid”, tetap aktif dalam jama’ah dan kegiatan mesjid. Subhanallah !.
Dalam penilaian kami, Sahabatku yang satu ini memang tipikal seorang intelektual muslim (ulul albab) sebagaimana digambarkan tokoh cendikiawan muslim Ali Shariati. Memiliki kemampuan Intelaktual dan tanggung jawab Intelektual luar biasa. Komitmen sosialnya sebagai intelektual dibuktikan dengan karya nyatanya jaminan kesehatan daerah (DIY) yang kemudian diadopsi oleh DKI dan saat ini Nasional. Terlepas dari masih ada kekurangan, karya dari niat baik dan kapabilitas yang baik pada saatnya akan terlihat kebaikannya. Prestasi profesional dan intelektual Prof. Ali Ghufron ini menurut hemat kami layak mengantarkan beliau menjadi orang nomor satu di kementrian kesehatan, bahkan lebih dari itu.
Obrolan pun merambah pada hal-hal muttakhir. Ketika beliau menanyakan Bang Ka’ban, Dr. MS Kaban MSi, Ketum PBB, kami jawab beliau barus SMS kami (kebetulan pas di mesjid seusau sholat Maghrib Bang ka’ban SMS), karena saya memahami arah pertanyaannya kemana, maka kami pun jawab Bahwa Bang kaban hanya sebagai Saksi Kasus Anggoro. Kami pun menjelaskan sebagaimana Pak Yusril menjelaskan melalui twitternya. Lalu kami ceritakan mimpi kami pasca pemilu 1999 yang menjelma menjadi impian yang insya Allah terwujudkan.
Ketika berdiskusi beralih ke Prof. Yusril, kami jelaskan bahwa posisi Prof Yusril sebagai Sri narendra Dyah Belitung Asysayifuddin wa addaulah adalah sangat kuat untuk menuju kursi presiden. Dukungan para Raja, sultan dan pemangku adat seluruh Nusantara itu jika diwujudkan dalam pemilihan nanti maka menjadi kekuatan dahsyat bagi PBB, dan kami berharap Prof. Yusril bisa menjadikan utusan dari forum itu menjadi wapres pasangan beliau, jika hal ini dilakukan, maka PBB dan Prof Yusril menjadi “Seng ada lawan !”. Dan kami yakin Prof. Yusril akan menyusun Zaken Kabinet dari putra-putri terbaik.
Tidak lengkap tentunya kalau ngobrol-ngalor ngidul itu tidak dilengkapi dengan apa yang sering dirindukan sahabat-sahabat kami. prof Ghufron, mengajak kami membaca puisi dengan beliau mengiringi dengan organ. kami pun menuju ke ruang santai dimana ada organ yang di atasnya ada foto aktifitas sosial Istri beliau, Inayati. Ketika intro lagu Tuhan mulai mengalun, tak tahan rasanya tangan ini mengambil mix, lalu kami berdua pun menyanyi Lagu Tuhan bersama dengan penuh penghayatan. Setelah satu lagu utuh dinyanyikan, musik tetap dimainkan lalu kami pun membacakan puisi.
Lalu mengalun beberapa lagu, diantaranya lagu Biarlah Bulan Bicara, wow, jadi ingat pusi monumental : Purnama di Budi Mulia. Jadi Ingat Juga Trio Budi Mulia saat tampil di panggung 17 an Perumahan Banteng 3, Pramono, Kusnan dan penulis menyanyikan Sepasang Mata Bola yang “salah masuk” ha ha ha.

Tidak ada komentar: