MISI

***************** A MAN WHO WANT TO CREATE AN EDEN IN THE WORLD *****************

Selasa, 04 Februari 2014

KORSA KAPITALIS BERPESTA DI ATAS PENDERITAAN

Terlibat langsung di tempat pengngsian korban banjir selama kurang lebih 2 minggu, kita dapat belajar banyak dari para relawan yang hampir satu bulan mendampingi dan melayani korban banjir Jakarta 2014. Kesan kuat yang utama dari karakter para relawan adalah sikap peduli dan melayani para korban. Sikap ini jelas sangat berbeda dari mereka yang sama-sama bekerja di tempat yang sama hanya karena tugas sebagai konsekuensi mereka sebagai pegawai suatu dinas atau instansi.
Sikap peduli dan melayani dengan penuh kerelaan (ketulusan ini) memungkinkan mereka bekerja dengan daya tahan tinngi, sungguh-sungguh, cancut taliwanada (ready to act} dan tetap semangat, sepi ing pamrih rame ing gawe. Bahkan terhadap sorotan massmedia yang kurang memahami permasalahanpun, yang datang, meliput dan menyiarkan yang jelas tidak mungkin mencerminkan situasi yang sesungguhnya terjadi, para relawan ini tidak peduli. Pemberitaan mass media yang cenderung mengungkap sisi kekurangan pelayanan ketimbang nilai totalitas mereka terima dengan biasa saja.
Suatu saat, seorang relawan dari resimen mahasiswa jaya raya sedang kami tangani dengan accupoint. Dari proses terapi sejak awal terindikasikan berbagai gangguan kesehatan akhibat lama terendam di air, mengangkut benda berat, kurang tidur/istirahat, gizi seadanya, namun begitu mendapat informasi bahwa air naik lagi, menwa ini langsung mohon diri untuk terjuan ke lapangan sesuai pembagian kerjanya.
Demikian juga relawan dari adek-adek PII (Pelajar Islam Indonesia) , peserta didik kelas Xi suatu Madrasah aliyah dan SMA lembaga Islam di Depok itu, dengan sigap saling bahu membahu mengoper dan mengangkut barang-barang bantuan dalam bungkusan-bungkusan kardus seberat kurang lebih 35 kilogram itu, dengan penuh kesungguhan dan fokus tinggi.
Petugas-petugas dinas pun yang memiliki jiwa relawan, menunjukan performa kerja yang luar biasa. Sambil memberi terapi tangannya yang “terasa” sulit digerakkan kemi mengobrol banyak. Ibu 50 tahunan itu, selalu sigap bekerja siang malam di dapur umum tanpa banyak bicara tetapi selalu siap memberikan pelayanan terbaik. Jam 1 dini hari sudah mulai aktivitas, hingga jam 22. malam. Banyak yang dipersiapkan dan disajikan oleh dapur umu di bawah koordinasi beliau. Dari air panas, minuman, makan pagi, siang dan malam, juga makanan kecil seperti kolak dll, untuk pengungsi.
Saat ngobrol, tiba-tiba seorang pengungsi menghampiri kami, Ibu setengah baya itu bermaksud mengambil air dengan 2 buah termos. "Bu minta air panasnya ya", boleh, jawab petugas dinas sosial itu. "tapi bagaimana kalau mengambil yang di dandang saja, biar ngisinya cepet" lanjutnya. Ibu pengungsi itu terus melihat ke arah dandang yang sedang mendidih, lalu kembali meminta yang sudah diteremos, "yang di termos itu saja ya bu" pintanya sambil menunjuk ke 3 termos berwarna pink itu. "Ya boleh, silakan" ungkap relawan itu mengalah.
Sesekali diserubut teh tubruknya, "maksud saya, mengambil yang di dandang jadikan mudah dan cepa, sedang yang di termos itu kan untuk yang ngambil pakai gelas-gelas" katanya menjelaskan. Sambil tetap tangannya memotong motong tempe. Ketika salah satu juru masaknya meminta diterapi, ibu itupun langsung menyilahkan kami menangani juru masak itu. Nampak sikapnya mendahulukan orang lain dari hatinya yang tulus. Ketulusan telah membangun kekuatannya untuk melakukan amal mulia sebaik-baiknya.
Sudah barang tentu, waktu yang panjang, bekerja keras dengan berbagai tuntutan tindakan darurat, dan tetap tulus peduli dan melayani, sangat sulit untuk dipahami oleh mereka yang hidup dalam kotak individualistik, oleh mereka yang selalu mengejar profit. Ya, itulah realitasnya. Logika para relawan tidak mungkin dipahami oleh logika individualistik kapitalistik. Relawan senantiasa berlandas pada bagaimana melayani sebaik dan setulus mungkin sedang seorang kapitalis tidak demikian.
Logika kapitalistik akan senantiasa berlandas pada apa yang akan diperolehnya, ROI nya, return of Investmentnya. Meski aktivitas yang dilakukan kelihatannya tergolong dalam aktivitas sosial, sambil memberi bantuan Sang kapitalis akan berhitung berapa luas gemanya, berapa luas liputan mass media untuk menggaungkan namanya, bahkan sampai dengan kalkulasi bersapa suara yang bisa diraih dari aktivitasnya memberikan bantuan. Bagi mereka, gaung adalah tujuan, jumlah suara adalah konsekuansi investasi, bendera, kaos, topi, bahkan stiker bergambar parati atau alirannya adalah indikasi investasinya.
Jiwa rela berkorban, peduli dan melayani, sepi ing pamrih ramai ing gawe, ini sesungguhnya yang diperlukan kita semua ini untuk melepaskan diri dari berbagai belitan masalah bangsa. Mencoba menyelesaikan bangsa ini dengan logika-logika kapitalistik atau neoliberalistik, hanya akan menjatuhkan bangsa ini ke kolam penderitaan jangka panjang. Sayangnya, dunia pendidikan yang semestinya menyemai jiwa-jiwa seperti ini, kini justru semakin terseret ke neraka kapitalistik. Sekat-sekat kelas telah dibangun dalam dunia pendidikan kita. Inilah masalah besar bangsa Ini.
Namun, Indonseia tetaplah Indonesia, negeri yang dibangun para syuhada dengan semangat jihad dan spirit berkah rahmah Allah yang maha Kuasa, jika tetap berjalan di atas Rel ketuhanan yang Maha Esa, maka akan ttap muncul, anak-anak bangsa yang memiliki karakter yang dibutuhkan bangsa ini. Paling tidak, relawan-relawan yang kami sempat bersama di pengungsian itu adalah contoh-contohnya.
Darwono Peduli dan Melayani, siap hadir di RT/RW Saudara.

Tidak ada komentar: